Jika terdapat typo, jangan lupa tandai ya.####
Retina dengan iris berwarna caramel itu perlahan terbuka. Semuanya masih nampak begitu kabur dan terang. Beberapa kali ia mengerjakan matanya untuk menyesuaikan cahaya yang masuk di retinanya.
Naira menatap kanan dan kirinya. Tidak ada siapa-siapa di sini. Di mana dia sekarang? Mengapa semuanya nampak putih. Ingin rasanya ia bangun, tetapi tenaganya masih tidak cukup untuk mengangkat beban tubuhnya ini.
Gagang pintu bergeser menandakan seseorang telah membuka pintu ruangan tersebut. "Tenang, Sayang. Naira akan sa ... Nai!" Papa Rivan terkejut ketika melihat Naira yang sudah siuman.
"Dokter, anak saya sudah siuman!" lapornya sebelum memasuki ruangan tersebut. Diikuti Aisyah, Rivan duduk di samping bangsal Naira.
Dengan menggunakan stetoskopnya, dokter mulai menjalankan tugasnya untuk memeriksa Naira. "Sepertinya Naira kehujanan lagi, Pak. Akibatnya daya tahan tubuhnya menurun seketika. Dan juga, sekarang ia sedang banyak pikiran."
Rivan terdiam sejenak. "Baiklah, Dokter. Terima kasih banyak."
"Kalau begitu saya permisi dulu, Pak." Rivan mengangguk. Setelah memastikan bahwa Dokter tersebut sudah keluar. Lelaki paruh banyak tampan itu kembali menatap anaknya.
"Bagaimana bisa kamu kehujanan, Nai?" tanya Papa Rivan. Nada tegas terdengar dengan jelas membuat Naira bingung harus menjawab apa.
"A-anu, Pah. Nai nggak sengaja kehujanan pas di event kampus tapi nggak masalah kok, Pah. Nai baik-baik aja sekarang."
Rivan memegang pelipisnya. Mungkin Naira merasa bahwa dirinya baik-baik saja, tapi tidak untuk seorang Ayah. Rivan tidak ingin melihat anaknya terbaring seperti ini di atas bangsal rumah sakit. Sudah cukup dulu ia melihat Aisyah — istrinya yang terbaring seperti ini. Namun, jangan dengan anaknya.
"Mas?" panggil Aisyah dengan memegang lengan suaminya itu.
"Mungkin ada baiknya kita biarkan Naira sendiri. Dokter mengatakan bahwa ini juga disebabkan Naira yang banyak pikiran. Kita beri dia ruang untuk beberapa saat ya." Mendengar bujukan Aisyah, membuat Rivan menghela nafas dan kemudian mengangguk."Baiklah. Papa dan Mama keluar dulu ya, Sayang." Setelah mengecuk singkat kening putrinya, Rivan dan Aisyah lalu keluar dari ruang inap Naira.
Naira masih terdiam. Pikirannya kini masih berkecamuk. Ia ingin memang kepalanya. Namun, ia merasakan sesuatu menggenggam tangan kanannya dengan erat. Naira menoleh ke samping.
"K-khaira? Dia nungguin aku sampai siuman?" Mata Naira menjadi berkaca-kaca. Ia tidak menyadari bahwa Khaira sudah menggenggam tangannya sedari awal. Bahkan sampai membuat kembarannya itu tertidur begitu pulas.
"Hiks ... Maafin aku, Kak. Hiks ... Aku udah egois ama, Kakak. Aku hanya mementingkan diriku sendiri dan melupakan bahwa aku ini memiliki kembaran. Hiks ... Hiks ... Kakak emang bener, aku itu egois. Aku bahagia maka kakak pun akan bahagia. Kita kembar, di saat kakak bahagia maka aku pasti akan ikut berbahagia kak! Hiks ... Hiks ... Aku udah bersikap nggak adil ama kakak ... Hiks ..." Naira menangis dengan begitu pilu.
Kini ia menyadari satu hal. Mereka mungkin menyukai satu lelaki yang sama, tapi hal itu bukan berarti mereka harus bersaing untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mereka akan bisa bahagia ketika salah satu dari mereka bisa mengalah dan kemudian ikut berbahagia.
Seperti dulu, Naira lah yang akan terus mengalah, dan sekarang pun demikian. Untuk kesekian kalinya, Naira akan kembali mengikhlaskan apa yang ia inginkan demi kebahagiaan Khaira.
KAMU SEDANG MEMBACA
RSS[2]: Mumtaaz of Love [SELESAI]
RomanceNEW COVER! [Sequel Ketika Hati Berucap] (Completed - Belum revisi) [PLAGIAT SILAHKAN MENJAUH🚷] Wajah kita sama, fisik kita sama, bahkan cara kita berbicara juga sama. Itulah kita, saudara kembar yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang dan kecukup...