####
Perpustakaan kini menjadi tempat terfavorit untuk Naira. Tidak ada alasan lain, wanita itu sangat menyukai suasana yang tenang, tanpa adanya suara yang berisik. Demi melupakan kebosanannya, wanita itu sudah hampir menyelesaikan setengah soal dari buku kimia terpadu yang ada di hadapannya saat ini.Naira menutup buku besar itu. Lalu beranjak menuju rak yang di penuhi buku-buku sains, kemudian meletakkan kembali buku Kimia yang sudah ia baca.
Naira kini berpindah menuju rak ysng di penuhi kisah-kisah islami. Hanya ingin menambah wawasannya, selain mendapat pendidikan agama dalam keluarganya, ia juga sering membaca pahlawan-pahlawan pembela islam terdahulu.
Setelah memilih buku yang akan ia pinjam, Naira segera berjalan menuju penjaga perpustakaan.
"Bu, saya ingin meminjam buku ini," ujarnya pada penjaga perpustakaan.
"Tunjukkan kartu keanggotaanmu." Salah satu syarat untuk meminjam buku, yaitu dengan menunjukkan kartu keanggotaan mahasiswa, adanya peraturan ini disebabkan banyak orang lain dari luar kampus yang sengaja datang untuk meminjam buku dan berakhir tidak mengembalikannya. Sebab itu Kampus mewajibkan setiap mahasiswanya harus memiliki kartu keanggotaan.
Naira menunjukkan kartu keanggotaannya, lalu segera menadatangani buku catatan pinjaman.
Namun saat ia ingin berbalik untuk keluar dari perpustakaan, ia di kejutkan dengan kehadiran seseorang yang sama sekali tidak ia duga. Naira memeluk erat buku pinjamannya dan menatap objek di depannya dengan pipi yang memerah.
"Kak Zein! Ngapain dia disini, Ya Allah!!"
Sekilas Zein melirik Naira, namun kemudian ia kembali meluruskan pandangannya menuju meja penjaga perpustakaan. Tepat di samping Naira.
Naira bingung, mengapa ia masih berdiri di sini? Seharusnya ia sudah beranjak keluar dari tadi.
"Oke, Bu. Masalah penyumbangan buku in shaa Allah saya usahakan akan segera terlaksana bulan ini. Jadi, Ibu tidak perlu khawatir."
Naira mengangguk dari belakang. Ternyata Zein memang patut di jadikan sebagai teladan mahasiswa. Lelaki itu sangat baik dalam menjalani tanggung jawabnya dengan baik. Tidak salah mengapa kampus ini me percayakannya sebagai presiden mahasiswa.
Demi menghilangkan rasa canggungnya, Naira melangkahkan kakinya untuk keluar dari perpustakaan.
"Naira, bisa bicara sebentar?"
Naira menegang, ia menoleh dengan kaku, menatap Zein lalu menunduk.
"Eh, boleh bicara sebentar?" Zein mengulangi pertanyaannya.
Naira menganggu, "B-boleh, Kak."
Zein mengangguk, kemudian lelaki itu pergi menuju ruangan membaca, duduk di salah satu bangku yang tersedia dengan menyatukan kedua tangan di atas meja.
Naira mengikut, ia lalu duduk di bangku yang berada di hadapan Zein. Mereka hanya di batasi oleh satu meja panjang.
"Jadi ... Kak Zein mau bicara apa?" Naira memulai percakapan. Mata wanita itu selalu saja menatap meja. Entahlah ia merasa canggung sekali di situasi seperti ini.
"Begini, mengenai musholla, karena kami para senior yang beberapa bulan ke depan akan menjalankan tes akhir semester. Berhubungan dengan itu, mayoritas pengurus musholla berasal dari kalangan senior, jadi saya ingin meminta bantuan agar kamu bisa mengurus pemilihan pengurus musholla baru. Apa kamu mampu?"
Naira mengerjap, tidak juga cakap dalam mengurus organisasi, Zein juga sangat profesional dalam menjalankan tugasnya. Naira di buat takjub.
"Naira?"
KAMU SEDANG MEMBACA
RSS[2]: Mumtaaz of Love [SELESAI]
RomanceNEW COVER! [Sequel Ketika Hati Berucap] (Completed - Belum revisi) [PLAGIAT SILAHKAN MENJAUH🚷] Wajah kita sama, fisik kita sama, bahkan cara kita berbicara juga sama. Itulah kita, saudara kembar yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang dan kecukup...