"Pertemuan"
####
Naira terdiam. Berusaha menerima semua omelan dari Papa tersayang nya itu. Tentu ia tak terkejut lagi saat mengetahui dirinya akan dirawat selama satu minggu di rumah sakit, dan seminggunya lagi harus istirahat dirumah. Tentu ini kedengaran sangat berlebihan, tapi apalah daya Naira. Yang bisa ia lakukan adalah diam, dan menjalankan semua perintah Rivan.
Toh ini juga kesalahannya. Kalau saja waktu itu ia mengerjakan proposal nya dari awal pasti ia akan tepat waktu mengumpul proposal nya. Dan tidak akan begadang seperti kemarin. Sepertinya ini juga termasuk hukuman baginya.
"Kamu tuh keras kepala ya, udah Papa bilangin jangan begadang lagi. Tapi masih aja begadang!" Naira menundukkan kepalanya. Mencoba untuk tidak melihat Papanya.
"Udahlah, Mas. Naira masih sakit tuh. Nggak baik diomelin terus. Lagian keras kepalanya Naira turunan dari kamu juga" Rivan bungkam. Mengapa disaat Aisyah menyinggungnya yang bisa ia lakukan hanyalah terdiam.
Naira mengulum bibirnya, mencoba menahan agar tawanya tidak pecah.
"Emang Mas keras kepala ya, Yang?" Naira tidak habis pikir. Begitu mudahnya Papanya mengganti ekspresi wajahnya ketika berbicara dengan Mamanya.
"Tanya diri sendiri"
Rivan menghela nafas kasar.
"Yaudah, Mama cari minuman dulu ya, Sayang. Siapa tau kamu haus" Naira mengangguk saat Mamanya mengelus puncuk kepalanya yang tertutup khimar.
Tanpa melirik suaminya, Aisyah berjalan keluar dari ruang rawat Naira. Membiarkan Rivan untuk berbicara dengan anaknya secara langsung.
"Maafkan Naira, Pa. Naira janji nggak akan begadang lagi" Sahut Naira pelan, dengan kepala yang tertunduk.
"Kamu memang harus berjanji!" Naira terkejut mendengar teguran Papanya. Sepertinya Papanya benar-benar marah padanya. Namun detik berikutnya ia merasakan dekapan hangat ditubuhnya.
"Kamu itu anak kesayangannya Papa. Jadi jangan sakit-sakit lagi. Papa itu sedih kalau Naira sakit. Papa rasa Papa itu masih belum bisa menjadi Papa yang baik untuk kalian. Jadi Papa mohon jangan pernah begadang lagi" Naira menggeleng dalam dekapan Papanya.
"Papa itu udah paling terbaik buat Nai. Naira bersyukur punya Papa kayak Papa Rivan. Udah ganteng, penyayang lagi ama keluarga. Jadi Papa jangan merasa belum menjadi yang terbaik, karena Papa itu melebihi kata terbaik!" Rivan tersenyum manis. Wajar saja ia merasa belum menjadi yang terbaik untuk keluarganya. Sebab ia rasa waktunya lebih banyak di kantor dari pada di rumah. Kadang ia merasa ia tidak becus menjalankan perannya sebagai kepala keluarga.
Tetapi mendengar pernyataan anak kesayangannya ini membuat hatinya menghangat seketika. Ia sadar, ia tidak boleh terus-terusan menyalahkan dirinya sendiri.
"Tapi, Pa. Boleh nggak Naira kekampus setelah pulang rumah sakit?"
Rivan melepaskan pelukannya, dengan tersenyum menatap anaknya,"Tetap nggak boleh. Kamu harus beristirahat selama satu minggu di rumah. Jangan keluar- keluar dari rumah, kalau mau beli jajan, minta ama Raihan buat beliin kamu. Kalau mau tau informasi dari kampus, entar tanya ama Khaira. Oke!"
Naira tersenyum hambar, Papanya memang tidak berubah. Disamping ganteng dan penyayang, ada satu sikapnya yang begitu membuat Naira muak, yaitu 'keras kepala'. Ya sama seperti dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RSS[2]: Mumtaaz of Love [SELESAI]
RomanceNEW COVER! [Sequel Ketika Hati Berucap] (Completed - Belum revisi) [PLAGIAT SILAHKAN MENJAUH🚷] Wajah kita sama, fisik kita sama, bahkan cara kita berbicara juga sama. Itulah kita, saudara kembar yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang dan kecukup...