####
Masa libur Naira sebagai asisten dosen telah usai, dua hari mendapat libur dari kesibukan memang suatu bonus yang luar biasa untuknya. Setelah menyelesaikan urusannya sebagai panitia musholla, kini ia harus memenuhi kewajibannya sebagai asisten dosen.
Sedikit diulas, kegiatan penggalangan dana yang dilakukan kemarin sungguh membuahkan hasil yang begitu memuaskan. Bahkan saat ini Musholla masih berada dalam tahap renovasi. Dan ia kebagian tugas untuk membeli perlengkapan sholat bagi perempuan dan beberapa Al-Qur'an. Mungkin ia akan memenuhi tugasnya sepulang kuliah nanti.
Kembali dikegiatannya saat ini, sebut saja ia tengah berdiri menunggu pesanan kopinya datang. Ia memang bukanlah pencinta kopi bahkan ia tak pernah sekalipun mencicipi rasa pahit nikmat dari kopi itu, namun sepertinya dosennya ini berbanding terbalik dengannya. Sebab baru saja Naira keluar dari kelasnya spesies dosen bernama Hariz itu langsung memberikannya maklumat.
"Pesankan kopi hitam tanpa gula!" ya kurang lebih seperti itu yang tertangkap di indera pendengar gadis itu. Naira tidak habis pikir dengan dosennya ini.
Ia jadi berpikir, bagaimana sikap Pak Hariz masa jadi mahasiswa dulu, apakah ia juga sering dingin seperti ini saat menghadap dosen? Naira menggelengkan kepalanya kuat.
Mengapa ia harus memikirkan masa lalu dosennya itu, sungguh kurang kerjaan.
"Ini kopinya, Neng!" ujar Bu Surti selaku ibu kantin.
"Makasih, Bu Surti yang cantik!" goda Naira.
"Nggak usah main puji. Hari ini tak ada minum gratis!" sindir Bu Surti. Tentu saja ia sudah hafal dengan niat pelanggan tersayangnya ini.
"Yah elah, Ibu mah nggak asik," sepertinya niatnya untuk minum gratis harus tertunda dulu. Mungkin belum rezeki. Naira lalu beranjak pergi dengan cemberut.
"Nai!" panggil Bu Surti.
Naira menoleh, "Bu Surti berubah pikiran?!"
"Enggak, Ibu cuma mau ngasih ini sebagai sumbangan untuk Musholla, kemarin Ibu lupa untuk menyumbang. Nggak papa kan?"
"Enggak kok, Bu. Makasih ya, nanti Nai bawa ke Musholla deh!"
"Oke, Neng!"
Naira mulai melanjutkan langkahnya menuju ruangan dosen. Kali ini ia tak pergi di ruangan milik Pak Hariz, sebab dosen itu menyuruhnya untuk membawakan kopi ini ke ruang dosen.
Sampai disini semua berjalan baik, Naira masih berjalan menuju ruang dosen, sambil tersenyum hangat pada junior-juniornya yang menyapanya. Naira tersenyum kembali saat melihat Khaira dan beberapa kakak seniornya yang nampak berbincang disalah satu gazebo kampus yang lumayan luas. Ia memang tak meragukan kelebihan Khaira yang mudah sekali bergaul dengan orang baru.
Jika boleh memilih, mungkin Naira akan memilih sebagai penjawab pertanyaan dari pada pemberi pertanyaan. Sebab Naira bukanlah tipe orang yang memulai percakapan lebih dulu. Begitu berbeda dengan kepribadian Khaira. Betul kata Papanya, hanya orang yang benar-benar mengenal dan sayang pada mereka yang bisa membedakan antara Khaira dan Naira.
Tapi tunggu dulu! Naira memicinkan matanya mencoba melihat lebih jelas, bukannya itu Kak Zein?!
Dengan cepat Naira memalingkan wajahnya dan memilih untuk melanjutkan langkahnya dengan cepat menuju ruang dosen. Sungguh ia belum ingin bertemu dengan kakak seniornya itu. Bukannya tidak mau, namun setiap bertemu pasti Naira akan merasa canggung dan tidak tau harus berbuat apa! Bukankah itu terdengar membosankan?
"Naira!" panggil Khaira. Membuat Naira berdecak, "Untuk apa kau memanggilku, Ra!!" batinnya.
Naira menoleh sambil tersenyum canggung lalu melambaikan tangannya dengan kaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
RSS[2]: Mumtaaz of Love [SELESAI]
RomanceNEW COVER! [Sequel Ketika Hati Berucap] (Completed - Belum revisi) [PLAGIAT SILAHKAN MENJAUH🚷] Wajah kita sama, fisik kita sama, bahkan cara kita berbicara juga sama. Itulah kita, saudara kembar yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang dan kecukup...