####Waktu itu Pak Hariz tidak membawa Naira pulang ke rumah. Entah apa yang akan dipikirkan orang tua Naira ketika melihat anak gadisnya yang dibawa pulang oleh lelaki asing dalam keadaan basah kuyup. Berakhirlah, Pak Hariz membawa Naira pada Khaira.
Akan lebih baik jika kita kembali di mana Pak Hariz membawa Naira pulang dari hutan itu. Suasana mobil saat itu yang canggung sedangkan di luar tengah hujan dengan deras.
Naira mengeratkan genggamannya pada jas milik Pak Hariz yang melekat di tubuhnya. Ia bersyukur karena Pak Hariz tidak menyalakan AC mobil, karena kalau itu terjadi ia mungkin akan demam parah. Sekarang saja, ia sudah merasa sangat lemah.
"Mengapa kau pergi di hutan itu?" tanya Pak Hariz. Naira melirik sekilas lalu menatap kaca mobil.
Naira terdiam sesaat, mungkin ia juga masih kesal dengan kata-kata yang sebelumnya pernah Pak Hariz lontarkan padanya.
"Bu Salsa bilang dia kecelakaan di tempat itu. Dia mengirim alamat, tapi aku baru tau kalau alamat itu di tengah hutan."
"Kecelakaan? Saya melihatnya di kampus sebelum mengikuti kamu di sini." Pak Hariz nampak tidak percaya. Naira menghela napas, wajar saja ia tidak mempercayai Naira. Secara Naira bukanlah siapa-siapanya dan Bu Salsa adalah tunangannya.
"Jadi Pak Hariz ngikutin aku sampai di hutan ini?"
"Jangan salah paham. Karena kamu sudah pernah ikut campur urusan saya, jadi saya akan melakukan hal yang sama. Sekarang kita impas dan saya harap setelah ini tidak ada lagi yang saling ikut campur," ujar Pak Hariz dengan serius.
Dengan wajah yang tanpa ekspresi, Naira mengangguk pelan. "Bawa aku ke Kampus, Pak."
"Itu tidak akan terjadi, saya akan mengantarmu sampai di rumah!" elaknya.
"Bukankah Pak Hariz yang bilang sendiri untuk tidak ikut campur lagi? Jangan menambah buruk keadaan dengan membawaku pulang ke rumah." Naira mencoba menjelaskan.
"Menambah buruk keadaan?"
"Coba Pak Hariz pikir, apa yang akan mereka pikirkan ketika melihatku pulang ke rumah diantar oleh orang asing dalam keadaan seperti ini? Akan lebih baik jika Pak Hariz membawaku pada Khaira!"
Pak Hariz menghela nafas. Mengapa ia harus terlibat dengan hal rumit ini?! Terkadang ia merasa heran dengan dirinya sendiri, pikiran dan tubuhnya selalu bertolak belakang. Contohnya waktu ia melihat Naira yang berlari keluar kampus. Otaknya mengatakan ia tidak ingin ikut campur urusan orang lain. Namun, tubuhnya justru ikut berlari mengikuti Naira. Sepertinya ia harus melakukan konsultasi pada dokter psikis.
"Aku mohon," pinta Naira kembali. Tidak ada pilihan lain selain mengiyakan.
"Huhh ... Baiklah. Saya tidak akan bisa menolak itu." Naira tersenyum pelan mendengar itu.
"Makasih, Pak Hariz." Naira membatin.
"Mengenai Bu Salsa ...."
"Sebenarnya saya sudah tau dari awal mengenai Salsa dan kekasihnya," sergah Pak Hariz. Naira melotot, lalu menoleh pada dosennya itu.
"Hah?! L-lalu kenapa Pak Hariz bilang kalau dia sepupunya Bu Salsa? Dan kenapa Pak Hariz malah bilang kalau aku terlalu ikut campur? Lalu kenapa Pak Hariz masih mau menikahi Bu Salsa?!" tanya Naira berturut. Kesal? Tentu saja. Ia merasa bukan Bu Salsa yang salah di sini, tapi Pak Hariz. Sudah tau di sakiti, kok malah diam saja.
"Lalu mengapa kau harus memusingkan hal itu? Apa untungnya bagimu jika saya tidak jadi menikah dengan Salsa?" Bukannya menjawab, lelaki itu malah balik bertanya. Ini membuat Naira semakin kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
RSS[2]: Mumtaaz of Love [SELESAI]
RomanceNEW COVER! [Sequel Ketika Hati Berucap] (Completed - Belum revisi) [PLAGIAT SILAHKAN MENJAUH🚷] Wajah kita sama, fisik kita sama, bahkan cara kita berbicara juga sama. Itulah kita, saudara kembar yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang dan kecukup...