Chap. 19

1K 116 6
                                    

####


"Papa beneran nggak bakal kasih tau Mama kan soal ini?" tanya Naira sedikit menginterogasi Rivan, Papanya.

"Lah emang kenapa kalau Papa kasih tau Mama?" Bukannya menjawab, Rivan justru malah bertanya balik. Lelaki paruh baya dengan ketampanan yang masih terlestarikan itu hanya terkekeh melihat ekspresi kedua anak kembarnya ini.

Mereka tengah berada di dalam perjalanan menuju rumah Kakak Iparnya. Hanya butuh perjalanan selama 30 menit dan mereka akan segera sampai di kediaman Dokter itu. 

"Entar kalau Papa kasih tau, Mama jadi marah ama kita," sahut Khaira dengan terdengar memelas.  Yang langsung membuat Rivan tertawa.

"Yaudah, apapun keinginan anak Papa."

Dua wanita kembar langsung melakukan tos tinju. Rasanya senang jika mengajak Papanya berkompromi. Berbeda halnya ketika ia berkompromi dengan Mamanya. Butuh mental dan jawaban yang kuat untuk bisa berhasil.

"Nah kita udah hampir sampai!"

Naira menatap rumah yang besarnya tidak jauh dari rumahnya. Dengan halaman yang luas dengan berbagai macam bunga-bunga indah seperti halaman rumah Eyang Maryam. Begitu asri dan hidup.

"Wah! Rumah Om Yusuf gede banget ya!" puji Khaira.

"Hemmmm, Papa bisa bangun rumah yang lebih besar lagi dari rumah Om Yusuf. Mau?" tawar Papanya ketika baru selesai memarkirkan mobilnya. Emangnya Yusuf saja yang biss bangun rumah besar? Rivan juga bisa kali.

Naira langsung menggeleng. "Enggak usah Pah, hehehe ... Rumah kita sama-sama besar gitu maksudnya."

"Mungkin Papa butuh beli tanaman deh. Buat hiasan rumah belakang," usul Khaira. Gadis itu lalu melihat Papanya yang sedang membuka ponselnya.

"Jam 4 nanti beberapa tanaman akan tiba di rumah," ujar Rivan dengan mematikan ponselnya. Khaira dan Naira melongo, semudah itu kah?

"Eh! Khaira ama Naira. Pak Rivan?! Wah kalian berkunjung di sini? Aisyah mana?" sahut Tante Nisa yang saja keluar dari kebun kecilnya. Nampak jelas tanah hitam yang memenuhi tangan Tante Nisa, menandakan bahwa wanita itu baru menanam sesuatu.

"Aisyah lagi di rumah orang tuanya. Saya nganterin anak-anak nih, katanya mau ketemu ama Om mereka," ujar Papa Rivan. Dua wanita kembar itu tersenyum lalu mengangguk.

"Rezky ada, Tante?"

Nisa mengangguk. "Ada tuh lagi main game." Khaira mengangguk. Mereka bertiga lalu berjalan memasuki rumah Om Yusuf.

"Ya Tembak bro! Eh bantu gue cepetan! Nih musuh ada dua yang kepung gue woe!" Anak lelaki yang baru memasuki SMA itu nampak begitu fokus dengan layar ponselnya.

"Ya ya! Tembak! Booyah!!" Naira terheran melihat Rezky yang berteriak. Kini Naira paham mengapa Papanya melarang keras agar Raihan tidak ikut bermain game.

"Udah berapa kali menang, Bang?" tanya Khaira yang langsung duduk di samping Rezky. Mereka nampak begitu akrab satu sama lain. Padahal ini pertama setelah sekian lama.

"Heh, kemarin gue mecahin rekor booyah 5 kali dalam sehari lho!" sahut Rezky dengan bangga. Khaira melongo, sepupunya ini mengalahkan rekor teman sekelasnya.

"Hem, game mah cepet, pas waktu salat telat mulu. Kan Bang?" sindir Nisa yang baru kembali dari dapur membawa nampan berisi 5 cangkir teh hangat.

Mendengar itu membuat Rezky hanya menggaruk tengkuknya. "Yang pasti kan tetep salat, Mah. Beda kalau nggak salat."

Naira menghela nafas. "Sayang banget lho, Bang. Padahal salat tepat waktu itu banyak keutamaannya lho. Bener nggak Ra?" Khaira mengangguk, membenarkan perkataan kembarannya.

RSS[2]: Mumtaaz of Love [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang