"Jika Ibu nanti tidak disini lagi. Boruto bisa kan mengurus semuanya sendiri?"
"Apa Ibu akan berlayar juga, seperti Ayah?"
"Ya, tapi dengan arah dan tujuan yang berbeda. Bagaimana denganmu Boruto?"
"Aku akan menunggu disini, seperti biasanya."
....
Langkah kaki mungil anak lelaki bersurai pirang itu menyepat, menyisahkan jejak kaki kecil di sepanjang jalan yang tertutup salju tebal di kota dengan populasi minim yang begitu sepi namun juga begitu nyaman untuk ditinggali, udara dingin menusuk, menembus jaket tebal yang dikenakannya. Sebuah buku raport besar berwarna hitam dipeluknya rapat-rapat.
Salju, menutupi seluruh permukaan lantai kayu rouka kediamannya. "Ibu.."
Suara pintu geser kayu yang di buka cepat oleh bocah lelaki tersebut memecah keheningan. "Ibu, aku pulang." Ia berkeliling dan membuka satu persatu pintu geser di kediamannya, mencari sosok Ibu yang tadi pagi sedang merajut di ruang tengah.
Rumah dengan dinding kayu kokoh tersebut terasa dingin, gelap, dan sepi. Hanya ada suara lonceng besi yang tertiup angin mengisi keheningan. Boruto tidak menyukai suasana sepi ini, terasa menyeramkan dan juga menyedihkan. Ia lebih senang mendengar suara parabot di dapur yang bersenggolan saat Ibu sedang memasak memenuhi seisi rumah, atau aroma harum masakan dan tungku api yang menyala di ruang tengah ia juga menyukainya, apa saja asal jangan keheningan menyebalkan ini.
"Um?" Keningnya berkerut lucu, ia duduk bersimpuh dan meletakan buku raportnya di atas meja yang ada di tengah ruangan. "Oh, syalnya sudah selesai." Ia tersenyum dan mengambil syal merah yang tergulung rapi di atas meja kemudian memakainya.
Waktu itu Ibu bilang akan merajut syal hangat untuk hadiah kelulusannya dari taman kanak-kanak.
Hangat dan wangi, itulah yang Boruto rasakan saat mengenakan syal merah tebal itu. Ia kemudian kembali berdiri dan mencari keberadaan sang Ibu, nyaris ia lupa bahwa dirinya tengah mencari sosok anggun tersebut di seluruh penjuru rumah.
...
Napas Boruto terengah, ia telah berlari mengelilingi kediamannya beserta kebun kentang di belakang rumah, namun ia tidak menemukan keberadaan sang Ibu dimanapun!
"Ibu.." panggilnya dengan cukup keras, namun tak satupun suara menyahut panggilannya.
Ada perasaan yang kurang nyaman di dalam dadanya. Ia merasa sesak, dimana Ibu?
"Ibu, aku lapar." Gumamnya sedih, ia terduduk di rouka belakang. Untuk kali pertama ia tidak menemukan keberadaan sang Ibu di rumah meski ia berteriak keras barusan.
Tetesan airmata menuruni pipi gembil Boruto. Dimana Ibu? Apa Ibu pergi?
Bocah laki-laki itu kembali berlari, menuju rumah yang berlokasi lima puluh meter dari kediamannya.
"Bibi!" Ia berlari dengan susah payah diantara hamparan salju tebal yang menutupi tanah.
BRUK
Tubuh mungilnya tersungkur di atas tanah berlapis salju. Ia menangis pelan, namun mencoba menahan isakannya. Apa Ibu ada disana? Bagaimana jika Ibu tidak ada juga?
"Bibi!" Begitu tiba di depan pintu, Boruto buru-buru melepaskan sepatunya dan mengetuk pintu kayu tersebut dengan tidak sabar.
"Ya, tunggu sebentar." Kurenai berjalan cepat keluar saat mendengar suara nyaring seorang anak tetangga memanggilnya. "ada apa Boruto?"
Boruto mendongak dan menatap mata sang Bibi "Apa Ibu, ada disini? Kenapa Ibu tidak ada di rumah." Ujarnya terengah-engah, tenggorokannya tercekat dan air matanya menggenang di pelupuk mata.
Kurenai terbelalak, ia menoleh ke arah rumah beraksen kayu tua milik keluarga Uzumaki. Tak ada asap dari cerobong seperti biasanya. Siang tadi Hinata datang kemari dan mengatakan hal-hal aneh yang ia tak mengerti. "Ibumu tidak ada?"
Boruto menggeleng "Ibu kemana hiks?" Setetes air mata jatuh ke pipi. Perasaan gelisah tersebut bergumul dalam dada.
Kurenai memeluk bocah lelaki tersebut, kini ia memahami permintaan aneh dan racauan melantur wanita muda itu.
'Bi, kalau boleh aku ingin menitipkan Boruto. Naruto-kun akan mengirimkan uang yang cukup melalui pos setiap bulan, jadi tidak perlu khawatir. Pastikan saja dia makan dengan benar, dia cukup pintar mengurus sisanya sendiri, terima kasih ya Bi.'
Isakan bocah pirang tersebut tertahan dalam dekapannya. "Ibumu akan segera kembali, tunggu saja di rumah. Pasti dia akan kembali." Ujar Kurenai sambil mengusap punggung mungil yang bergetar tersebut. Ia yakin Hinata akan kembali, mana mungkin dia meninggalkan putranya sendirian di rumah begitu saja?
...
Boruto terduduk sendirian di depan rouka kediamannya, menunggu kepulangan sang Ibu. Angin kencang menerpa tubuh mungilnya, Bibi Kurenai bilang, Ibu mungkin akan segera kembali, namun hingga nyaris tengah malam sang Ibu belum juga kembali.
"Ibu, dimana?" Gumamnya pelan, air matanya kembali menetes. Sudut bibirnya turun ke bawah. Ia kemudian buru-buru menghapusnya. Jika Ibu pulang nanti, mungkin Ibu akan tertawa jika melihatnya menangis seperti ini.
Ia membuka buku raport yang ada di pangkuannya. Pagi tadi, sebelum berangkat ibu berjanji padanya. Jika ia mendapat ranking satu, malam ini mereka akan makan sup daging kesukaannya. Namun ini sudah lewat dari jam makan malam. Tapi Ibu tidak memasak untuknya, tidak kembali ke rumah, dan juga meninggalkannya sendirian.
"Ibu, berbohong sama seperti Ayah." Gumamnya pelan, ia menatap sedih pada buku raportnya yang dipenuhi stiker bintang-bintang kecil berwarna emas. Ia ranking satu lagi, tapi Ibu tidak akan pernah melihatnya.
Air matanya merembes turun ke pipi dengan begitu deras dan tak mampu lagi ditahannya. Entah kenapa ia merasa bahwa rasa sepi ini akan berlangsung lama. Ia tidak tahu sampai kapan ia harus duduk di rouka dan menunggu Ibunya kembali ke rumah?
....
NEXT?
KAMU SEDANG MEMBACA
Lie
RomanceSatu kebohongan untuk menutupi kebohongan lainnya, hingga tanpa sadar mereka berada di titik buntu. Di penghujung segala kebohongan itu mereka harus menghadapi sebuah pertanggung jawaban atas apa yang telah mereka lakukan. Meski harus berpisah, mesk...