Hinata melangkah menuruni tangga, tepat pada dini hari ia terjaga. Semalam ia ikut jatuh terlelap sambil memeluk putranya. Dirinya bahkan belum sempat kembali keluar dari kamar untuk memeriksa apa yang terjadi antara Ayah dengan Naruto.
Namun langkahnya terhenti di anak tangga terakhir saat mendapati Naruto tertidur dalam posisi duduk di sofa ruang tengah. Badai salju di luar memang belum mereda sejak semalam, mungkin Ayah membiarkan Naruto berada disini hingga badainya berakhir. Tatapannya berubah sendu, bahkan setetes air mata mengalir ke pipinya tanpa disadari. Entah apa yang merasuki pria itu hingga mencarinya kemari?
Bukankah pria itu juga ingin berpisah, ia sudah memberikan Boruto meski dengan berat hati. Namun kenapa sekarang pria itu datang membawa Boruto kemari? Apa pria itu akan pergi berlayar lagi dan ingin menitipkan Boruto? Ah, terlalu banyak dibohongi membuatnya menjadi selalu berpikiran buruk pada pria itu. Entahlah, separuh jiwanya sudah lelah namun separuh lagi masih mencintai pria itu.
Hinata beranjak turun dan melangkah dengan begitu ringan agar tak membangunkan pria itu, bibir tegasnya nampak pucat malam ini. Apa dia kedinginan? Pakaian Boruto basah kuyup semalam, pasti pria itu juga mengalami hal yang sama, namun pria itu masih mengenakan pakaiannya yang semalam.
Wanita bersurai indigo itu berlutut di depan perapian yang telah padam. Ruang tengah memang tak memiliki penghangat ruangan karena ada perapian besar di tengahnya. Lengan seputih salju itu dengan telaten menumpuk kayu bakar di dalam perapian dan menyalakan kembali apinya. Ia tak menyadari bahwa kelopak mata tan pria itu perlahan membuka dan sepasang netra saphire tajam tengah menatap lekat ke arahnya
Hinata melangkah mendekat ke arah pria itu dan menyentuh bahunya dengan pelan hanya untuk memastikan pakaiannya masih basah atau tidak.
"Pakaiannya lembab." Hinata bergumam pelan, wanita itu kemudian masuk ke sebuah ruangan di lantai satu dan keluar membawa selimut tebal ditangannya.
Hinata menyelimuti tubuh tegap pria itu. Namun saat ia sedang menunduk untuk menarik sisi kiri selimut itu, Naruto menyentuh lengannya dan menggenggamnya dengan lembut.
Hinata sangat terkejut, dirinya menoleh dan mendapati pria itu telah terjaga. Untuk sepersekian detik mata mereka bersitatap, keduanya tak mengatakan apapun hanya saling menatap sambil terhanyut dalam isi kepala masing-masing. "Ehm." Ia berdehem pelan lalu melepaskan tangan Naruto dari lengannya.
"Hinata." Ujar Naruto dengan suara berat.
Hinata mengalihkan pandangannya "ganti pakaianmu dan beristirahatlah di kamar tamu. Jika badainya sudah berakhir kau bisa kembali ke Sapporo."
Naruto hanya tersenyum kecut saat mendengar ucapan istrinya barusan, jelas wanita itu tak mengharapkan kehadirannya disini. "Bagaimana dengan Bolt?"
Hinata memejamkan matanya sekilas lalu kembali menatap Naruto. "Aku mohon biarkan dia tinggal disini denganku." Suaranya terdengar begitu parau.
"Tak bisakah kita memperbaiki semuanya?" Naruto berujar serius, matanya terus menyorot ke arah wanita cantik itu dengan penuh harap.
"Apa masih ada hal yang bisa diperbaiki?" Tanya Hinata dengan putus asa. "Aku pernah begitu percaya padamu, tapi kau selalu saja berbohong." Hinata bernapas tersengal, dadanya terasa begitu berat dan sesak.
"Aku minta maaf." Bisik Naruto, lagi-lagi yang bisa ia lakukan hanyalah meminta maaf.
Wanita dengan mata amethyst itu hanya memalingkan wajahnya. "Aku hanya begitu lelah, tak bisakah kau mengerti?"
"Aku hanya sedang berusaha memberikan kehidupan yang lebih baik untuk kita, maaf jika jalan yang ku ambil begitu egois dan menyakitimu." Naruto meraih kembali tangan Hinata dan menangkupnya. "Aku mencintaimu dan Boruto lebih dari apapun, aku mohon jangan seperti ini." Ia tak tahu harus bagaimana meluluhkan hati wanita itu untuk kedua kalinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lie
Lãng mạnSatu kebohongan untuk menutupi kebohongan lainnya, hingga tanpa sadar mereka berada di titik buntu. Di penghujung segala kebohongan itu mereka harus menghadapi sebuah pertanggung jawaban atas apa yang telah mereka lakukan. Meski harus berpisah, mesk...