Denial

1.5K 253 18
                                    

SIX MONTHS LATER

"Hoek." Naruto memegang kedua sisi westafel dengan begitu erat. Tubuhnya membungkuk nyaris sembilan puluh derajat untuk memuntahkan isi perutnya.

"Hmph." Pria bertubuh tegap itu memukul dadanya pelan. Sial, kondisi tubuhnya belakangan ini benar-benar mengkhawatirkan. Tiap menjelang pagi, tubuhnya lemas setengah mati dan perutnya mual. Meski tidak makan apapun saat malam, ia akan merasa begitu ingin memuntahkan isi perutnya.

Ia mengambil handuk kecil yang tergantung di samping kaca lalu mengusap wajahnya yang di banjiri keringat dingin. Belakangan ini ia merasa begitu gelisah, entah karena apa.

"Kau baik-baik saja, Kapten?" Tanya seorang awak begitu Naruto melangkah keluar dari kamar mandi.

Naruto tak menyahut, ia berlalu begitu saja dan kembali ke ruang kemudi kapal. Pelayarannya sudah lebih dari setengah jalan dan sebentar lagi ia akan memasuki perairan Jepang. Entah kenapa pelayarannya kali ini terasa berjalan dengan begitu lambat, ada perasaan gelisah yang membuatnya ingin segera kembali.

Pria bersurai pirang itu membongkar seisi tasnya untuk mengambil sebuah syal berwarna marun yang ada disana. Menghirup aroma lembut yang menguar dari syal itu selalu mampu meredakan rasa mualnya sekaligus mengingatkannya pada Hinata.

Matanya terpejam, ia duduk di kursi sambil termenung. Matanya menatap ke arah helaian benang wol yang bertaut membentuk syal tersebut. Rajutannya nampak sempurna,  tersusun dengan indah. Ia baru menyadarinya belakangan ini saat sering kali membutuhkannya.

'Kau pasti berusaha keras membuatnya.'
Ia bergumam pelan, kemudian senyum kecut terpatri di bibirnya.

Entah kenapa, ia selalu terbayang sosok Hinata yang tengah menangis di dermaga saat terakhir kali mereka bertemu. Setelah mengingatnya kembali, ia baru menyadari bahwa Hinata nampak begitu rapuh saat itu. Apa dia merasa sakit setelah proses aborsi itu?

Terkadang ia menyesal karena pergi dengan tidak baik-baik saja tapi ia rasa, tak ada alasan untuk mereka terus mempertahankan hubungan itu. Ia terus menyakiti Hinata, dan Hinata terus menyakiti dirinya sendiri jika mereka terus bersama-sama. Wanita itu mungkin akan mendapatkan yang lebih baik darinya nanti. Meski menyakitkan, melepaskannya sekarang adalah pilihan yang tepat sebelum semuanya menjadi lebih terlambat lagi.

...

Hinata berbaring miring di atas ranjang, ia meremat sehelai sapu tangan dalam genggamannya. Matanya terpejam rapat dan giginya bergemelatuk. Isakan pelan lolos dari bibir wanita itu.

Malamnya selalu terasa menyiksa dan siangnya selalu terasa menyedihkan. Ia benci hidupnya yang begitu kacau ini, rasanya ingin selalu mengakhirinya setiap saat.

Hinata ketakutan sekali. Kandungannya sudah semakin membesar. Jangakan untuk pergi ke kampus, membuka pintu kamarnya saja terasa begitu berat. Ia tahu ayahnya pasti akan kecewa, namun ia tak siap menerima penolakan sekaligus kemarahan ayahnya jika tahu nanti. Jadi disinlah dirinya berada, mendekam di dalam flat ini dan bertahan selama yang ia mampu.

Ibarat berdiri di jalan buntu, hidupnya berakhir disini, kesepian dan menyedihkan. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan. Bagaimana ia akan melanjutkan hidupnya? Semuanya sudah hancur berantakan. Masa depannya, mimpinya, dan semua harapannya.

Wanita hamil itu berbaring meringukuk di atas ranjang seolah tengah memeluk tubuhnya sendiri. Ia harap semua ini hanya satu dari sekian banyak mimpi buruk yang menghantuinya.

Hinata membuka matanya yang terasa berat. Ia menatap kosong pada figura kecil di atas nakas. Foto pria itu bersamanya beberapa tahun lalu, cerita yang awalnya indah itu, kini berubah menjadi begitu kelam.

Pria itu bilang akan bertanggung jawab, dia bilang jangan khawatir, dan dia bilang akan kembali kan?

Bahu Hinata bergetar hebat, ia telah berada di penghujung rasa lelahnya. Dirinya hanya jatuh cinta, lalu kenapa semesta menghukumnya sekeji ini?  Namun ia tak ingin kehilangan harapan saat semuanya sudah terlambat seperti ini.

...

Mentari pagi menyusup melalui celah jendela yang terbuka dan membayangi kelopak mata seputih salju milik wanita itu. Perlahan matanya mengerjap dan membuka, amethyst indah yang nampak sayu itu menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong.

Lagi-lagi ia disini menghadapi kenyataan yang begitu menyiksanya. Perlahan ia bangkit duduk di tepi ranjang. Pergerakan lembut di dalam perutnya membuatnya tersenyum pahit. "Kau bergerak lagi." Gumamnya pelan, bayi dalam kandungannya sepertinya tumbuh dengan baik meski tak mendapatkan perhatian seperti yang seharusnya.

Ia meraih kalender yang ada diatas nakas. Entah kenapa belakangan ini semuanya terasa lebih berat dari biasanya. Hatinya semakin gelisah dan ketakutan. Meski berhasil bertahan selama enam bulan pada kondisi menyedihkan ini, ia tak pernah terbiasa.

"Sebentar lagi ayahmu selesai berlayar, apa dia akan kembali kesini?" Hinata mencoret satu lagi jajaran angka diatas kalender untuk menghitung mundur kepulangan pria itu. Berdasarkan informasi yang ia dapatkan dari kantor pusat pelayaran itu, Naruto akan kembali dalam waktu sepuluh hari.

Bayinya kembali bergerak dengan cukup agresif di dalam perutnya seakan menanggapi ucapannya barusan.

Hinata mengusap air mata di sudut matanya "tentu saja, dia akan kembali seperti biasanya." Ia mencoba meyakini dirinya sendiri, meski terkadang keputusasaan itu menghinggapi batinnya.

Terkadang separuh akal sehatnya berteriak untuk berhenti berharap. Jelas pria itu telah memutuskan hubungan dan minta berpisah, tapi jauh dalam lubuk hatinya ia percaya Naruto akan kembali padanya, dia mungkin hanya sedang kalut saja saat mengatakan itu.

Ia mengusap lembut perutnya yang telah membuncit. "Bertahanlah, sampai ayahmu kembali."

Hinata beringsut turun dari ranjang dan duduk di atas karpet, ia menarik sebuah tas besar yang ada di bawah ranjangnya. Tangan seputih salju itu mengeluarkan baju-baju yang ada di dalam tas. Ia harus merapikannya sekarang, pria itu akan segera kembali dan dia pasti akan mengambil barang-barangnya yang tertinggal disini.

'Kembalilah, aku mohon'

Hatinya berbisik lirih, ia memeluk erat pakaian milik pria itu yang ada di tangannya, menghirup aroma menenangkan yang menguar dari sana, rasanya seakan memeluk pria itu lagi dan ia tidak sabar untuk melakukannya.

Ia percaya pada pria itu lebih dari apapun di dunia ini. Meski kepercayaannya itu terasa begitu menyiksa. Hinata yakin, hanya butuh waktu yang tepat untuk mereka bicara serius soal semuanya.

Kejadian di pelabuhan itu terjadi hanya karena pria itu ketakutan jika ia menghalanginya untuk pergi. Maka pria itu bersikap begitu dingin dan gegabah. Dia pasti tak bermaksud begitu, toh semua baik-baik saja sebelumnya.

Soal pria itu membohonginya soal pelayaran itu, dia pasti memiliki alasannya sendiri.

Penolakan-penolakan dalam batinnya terus bergejolak. Ia tak bisa menerima apa yang terjadi pada hari itu. Kenyataan bahwa pria yang sangat ia cintai dan percayai meninggalkannya disaat rapuh, ia tak bisa menerima kenyataan itu sampai kapanpun.

...

NEXT?

LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang