Hinata berjalan pelan menyusuri jalan besar di dekat pemukiman, saat ini sudah lewat tengah malam. Angin berhembus dengan cukup kencang, membuat langkahnya gontai. Ia memeluk perutnya yang kian membesar. Kepalanya tertunduk menatap aspal hitam di bawah kakinya.
'Maaf membiarkanmu kelaparan seharian ini.' gumamnya sambil mengusap lembut perutnya, mata amethystnya nampak sayu dan tak ada lagi binar hangat yang terpancar seperti dulu, tak pernah lagi tampak senyum malu-malu di bibirnya, yang ada hanyalah keputusasaan.
Hinata tak memasang ekspresi apapun. Rasanya terlalu lelah untuk mengeluh atau menangis, setiap hari ia sudah melakukannya. Air matanya bahkan sudah terasa kering sekarang. Raganya hidup tapi jiwanya telah mati pada hari pria itu meninggalkannya disini. Tapi ia yakin semua akan baik-baik saja saat pria itu kembali, nanti. Hanya perlu bersabar dan menunggu.
Wanita berkulit seputih salju itu mendorong pintu minimarket dengan pelan lalu melangkah masuk. Ia mengambil dua mangkuk nasi teriyaki beserta sebotol air mineral dan membayarnya di kasir. Seperti inilah ia bertahan hidup selama enam bulan terakhir. Dirinya tak lagi keluar rumah di siang hari, sesungguhnya ia begitu ketakutan orang-orang akan tahu soal kehamilannya ini.
Hidupnya begitu kacau, ia tak lagi berangkat ke kampus, ataupun kembali ke Toyama untuk menemui ayahnya. Ia tak tahu bagaiamana akan melahirkan bayi ini nanti, dirinya tak pernah datang ke klinik atau dokter kandungan untuk memeriksakan kehamilannya, ia benar-benar ketakutan dan hanya mencoba bertahan hidup menggunakan uang yang ayahnya kirimkan dari Toyama.
"Ini, kembaliannya." Seorang penjaga kasir memberikan beberapa butir uang koin. Ia menatap kasihan pada wanita hamil itu. Tiap kali dirinya bekerja shift malam, ia selalu mendapati wanita hamil itu menyantap makanan instan sendirian di pojok minimarket.
"Terima kasih." Hinata kembali melangkah ke sudut minimarket membawa makanannya setelah membayar dan menghangatkannya.
Ia terduduk di sebuah kursi besi favoritnya yang terletak di sudut terpojok minimarket itu, hampir tiap malam ia makan disini sambil menatap ke luar jendela. Naruto-lah yang memberitahunya soal tempat ini.
Flash Back
Naruto meletakan semangkuk nasi teriyaki di atas meja tepat di hadapan kekasihnya. Sedangkan dirinya sendiri menyeduh satu cup ramen instan. Di luar salju turun dengan begitu lebat, mengacaukan kencannya dengan Hinata. Karena melihat gadis itu sangat kedinginan, ia membawanya kemari untuk menghangatkan diri.
"Ramen lagi?" Hinata menatap pria itu sambil mengangkat alis. Bukankah kemarin Naruto sudah makan ramen?
Naruto hanya mengangkat bahu dengan ringan seraya membuka tutup botol ocha hangat untuk kekasihnya. "Dulu aku sering datang kemari untuk makan ramen instan, nyaris setiap hari." Naruto tertawa pelan. Ia ingat hari-hari menyedihkan seperti itu pernah dilaluinya.
"Setiap hari?" Hinata terbelalak "kau bisa sakit."
Naruto tersenyum simpul "hm, saat awal masuk ke sekolah pelayaran." Ia tak punya cukup uang untuk membeli makanan selain ramen instan dan tempat ini memiliki penghangat ruangan yang cukup bagus jadi ia biasa menghangatkan diri disini saat musim dingin.
"Itu sangat buruk untuk kesehatanmu." Hinata masih menatap kekasihnya itu dengan tatapan khawatir.
Naruto mengangkat sebelah alisnya. "Buktinya aku masih hidup, lagipula tempat ini tak begitu buruk kan?" Ia menoleh keluar kaca minimarket itu yang mengarah tepat ke area pelabuhan. Lampu-lampu orens membentang di sepanjang bibir pantai, pasir berselimut salju dan deburan ombak kencang terlihat begitu indah dari sini. "Sesekali datanglah kemari tanpa aku, kau pasti akan menyukainya." Ia rasa berada disini sendiri, menikmati makanan hangat sambil menatap bibir pantai terasa begitu menenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lie
RomanceSatu kebohongan untuk menutupi kebohongan lainnya, hingga tanpa sadar mereka berada di titik buntu. Di penghujung segala kebohongan itu mereka harus menghadapi sebuah pertanggung jawaban atas apa yang telah mereka lakukan. Meski harus berpisah, mesk...