"Kau lelah hm?" Naruto merangkul pinggul Hinata. Mereka harus berjalan cukup jauh menyusuri jalan setapak menuju desa.
Hinata hanya bisa mengusap perutnya dengan lembut. Kakinya sudah mati rasa dan pinggangnya terasa sakit sekali. Ia tidak tahu kalau Naruto akan membawanya ke sebuah desa yang berlokasi di pelosok kota Sapporo.
"Itu rumahnya." Naruto menunjuk ke sebuah rumah yang terbangun dari kayu kokoh tepat di ujung jalan setapak yang tengah mereka pijak.
Rumah itu nampak besar, halaman depannya cukup berantakan di penuhi daun-daun kering. Ada beberapa rumah lain di dekat sana namun letaknya berjauhan.
Naruto meletakkan tas yang dibawanya di atas rouka sambil merogoh saku celananya, mencari sebuah anak kunci yang telah lama ia simpan.
KRAK
Pintu kayu itu terbuka, aroma lembab langsung menguar, pertanda rumah itu telah kosong selama beberapa waktu. "Aku akan membersihkan kamarnya lebih dulu, agar kau bisa beristirahat." Ia membawa Hinata untuk duduk di kursi kayu yang ada di ruang tengah.
Hinata mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru rumah. Naruto dulu pernah mengatakan, bahwa dia memang memiliki rumah di Sapporo bahkan pria itu beberapa kali kembali kemari untuk merawat rumah peninggalan orangtuanya.
Rumah ini cukup besar, nyaris seluruh bagian bangunan terbuat dari kayu yang begitu kokoh, atap tinggi dan beberapa barang yang nampak berdebu. Beberapa lampu yang tergantung di langit-langit tidak berfungsi dengan baik dan menampakan cahaya temaram. Lantai kayu yang mereka pijak terasa begitu lembab dan berdebu.
Naruto sibuk memasukan barang-barang mereka ke dalam rumah kemudian mulai membersihkan kamar. Ia akan menata beberapa barang nanti yang terpenting Hinata bisa beristirahat dulu.
"Maaf tempat ini sedikit berdebu, aku tidak datang kemari sejak setahun lalu." Ujar Naruto, biasanya ia selalu datang setahun dua atau tiga kali untuk sekedar membersihkan rumput liar di luar serta merawat rumah ini. Rumah ini sangat berharga untuknya karena di tempat inilah ia menghabiskan masa kecil, sebelum kedua orangtuanya wafat, dan ia pergi merantau ke Hokkaido untuk mengikuti jejak ayahnya menjadi seorang pelaut.
Hinata menatap ke arah lemari kayu panjang yang ada di belakang tubuhnya. Beberapa pigura foto keluarga beserta gelas gelas kaca yang cantik terpajang di sana. Menandakan pernah ada kehangatan di rumah ini dan untuk pertama kalinya, ia melihat foto sosok ayah dan ibu Naruto. Ternyata Naruto begitu mirip dengan ayahnya, surai pirang dan mata birunya nampak mencolok dan menawan sejak kecil.
"Sayang, apa kau lapar?" Naruto bertanya pada sang istri yang tengah beristirahat di ruang tengah.
Hinata hanya menggeleng, ia kemudian bangkit berdiri dan melihat apa yang pria itu kerjakan di kamar.
Naruto tersenyum simpul saat mendapati istrinya masuk ke kamar. "Hanya ada futton di sini, haruskah aku membeli ranjang? Ini mungkin tidak terasa nyaman untukmu." Ia baru saja mendapatkan uang dari pelayarannya ke China selama enam bulan beberapa waktu lalu. Tak ia sangka bonus yang di dapatkannya cukup fantastis. Ini lebih dari cukup untuk biaya persalinan Hinata nanti.
"Tidak perlu." Hinata mengambil tasnya dan mulai merapikan pakaian. Tadi ia melihat Naruto membuka sebuah lemari pakaian besar yang kosong.
Sikap dingin Hinata masih membuat Naruto begitu resah, sampai kapan wanita itu akan mengabaikannya? Sampai bayinya lahir? Atau sampai seumur hidupnya?
Hinata terdiam, ia sibuk memasukan pakaiannya ke dalam lemari. Diam-diam di dalam hatinya ia tengah berharap semua akan baik-baik saja setelah pindah kemari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lie
RomanceSatu kebohongan untuk menutupi kebohongan lainnya, hingga tanpa sadar mereka berada di titik buntu. Di penghujung segala kebohongan itu mereka harus menghadapi sebuah pertanggung jawaban atas apa yang telah mereka lakukan. Meski harus berpisah, mesk...