Seperti sebuah rutinitas, setelah berbagai hal dilakukan hari ini. Naruto membaringkan tubuhnya di samping Hinata. Wanita itu belum terlelap, belakangan ini kebiasaan mereka mulai kembali seperti dulu. Hinata akan menunggunya kembali ke kamar untuk bicara berdua sebelum tidur.
"Haruskah kita mulai memutuskan apa yang akan kita tanam di lahan belakang?" Naruto menghela napas berat, ia baru saja selesai membereskan lahan yang berada tepat di belakang kediamannya untuk ditanami sesuatu. Tentu mereka harus mulai membuat sesuatu jika memang berencana tinggal disini selamanya.
Hinata menatap langit-langit kamar sambil termenung. "Lakukan saja apapun yang tak membuatmu kesusahan nanti, Naruto-kun."
Naruto ikut menatap lurus ke langit-langit kamar mereka. "Uangku akan habis pada akhirnya, kita harus memulai sesuatu disini." Ia memang masih memiliki cukup uang dari hasil pelayarannya waktu itu. Tapi itu saja tak cukup untuk hidup selamanya. Tempat ini hanyalah sebuah desa kecil di pelosok kota Sapporo, pastinya akan sangat sulit menghasilkan uang di sini, ia harus memutar otak untuk itu.
Ternyata pertanggung jawaban yang selalu ia elu-elukan itu begitu luas cakupannya. Banyak hal yang harus ia pikirkan, dulu ia bisa pergi ke minimarket untuk makan ramen instan setiap hari, tapi bagaimana dengan Hinata? Bagaimana dengan putranya nanti? Memiliki bayi pasti tak akan mudah kan? Semua hal yang tak pernah terlintas dalam benaknya akan segera jadi kenyataan. Dirinya akan menjadi ayah, dalam waktu dekat. Apa yang harus ia lakukan?
"Kau menyesal ya?" Tanya Hinata, ia ingin memastikan apakah pria itu sudah mulai berpikir rasional seperti biasa? Apa dia baru menyadari bahwa syarat yang ia ucapkan waktu itu terlalu berat untuk dipenuhi.
Naruto memejamkan mata sambil menghembuskan napas pelan, ia sedang mencoba menyingkirkan pemikiran itu jauh-jauh, mengikis sedikit demi sedikit egonya untuk Hinata. "Tidak akan pernah."
"Kau sangat suka berlayar, kau ingin memiliki banyak uang dan hidup bebas, aku tahu." Lagi-lagi Hinata ketakutan, pria itu akan meninggalkannya lagi. Rasanya memang ia tak pernah tenang, hal ini menandakan bahwa dirinya belum sepenuhnya percaya pada keputusan Naruto malam itu. "Tapi aku malah menahanmu disini.."
"Bukankah ini menjadi adil untuk kita berdua? Akhirnya kita berdua berakhir disini." Bukan hanya dirinya yang tertahan di tempat ini, tapi juga Hinata. Wanita itu memiliki hidupnya sendiri di Hokkaido, pendidikannya, harapan ayahnya, mimpinya, semua sudah hancur berantakan dan ia tak ingin Hinata merasa hancur sendirian.
Hanya ada dua pilihan sekarang, berdiam sambil meratap atau mulai bangkit dan berpikir. Hidup akan terus berjalan sedangkan mereka berdua masih saja belum bisa menerima semua ini. Ya, jauh dalam hati keduanya masih belum bisa menerima begitu saja, semua mimpi besar mereka tertahan di desa kecil ini. Sekarang siapa yang harus disalahkan? Kebodohan mereka dulu? Hasrat yang menggebu-gebu? Cinta? Atau apa? Keduanya hanya tersenyum kecut setelah itu.
"Berat sekali ya."
"Hm, tentu saja."
"Naruto-kun, tolong jangan berikan putraku kehidupan yang menyedihkan." Hinata menarik napas dalam, ia harus segera bangkit, jika memang dirinya tak bisa hidup sesuai seperti apa yang ia selalu impi-impikan setidaknya ia tak ingin mengacaukan hidup putranya nanti.
"Aku ayahnya, tak akan aku biarakan dia hidup dengan menyedihkan." Jawab Naruto dengan yakin.
Hinata mengangguk, biarkan dirinya percaya satu kali lagi pada pria itu. Ia tak lagi berharap pria itu menyelamatkan hidupnya dari kehancuran, yang terpenting sekarang adalah Naruto ingin bertanggung jawab penuh untuk bayi ini, itu saja cukup. Rasa kecewa yang dulu ia rasakan begitu dalam karena ia selalu berpikir bahwa Naruto akan menyelamatkannya. Sekarang ia sadar, Naruto tak menyelamatkannya, pria itu justru ikut hancur bersamanya di sini. Tapi tak apa, selama mereka bisa menciptakan dunia kecil untuk putra mereka hidup dalam kubangan kebahagiaan. Meski harus mengorbakan segalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lie
RomanceSatu kebohongan untuk menutupi kebohongan lainnya, hingga tanpa sadar mereka berada di titik buntu. Di penghujung segala kebohongan itu mereka harus menghadapi sebuah pertanggung jawaban atas apa yang telah mereka lakukan. Meski harus berpisah, mesk...