Upset

1.5K 237 12
                                    

Hinata meremas kertas hasil ujiannya, nilainya turun drastis. Bahkan tak ada nilai A dalam lembar hasil belajarnya. Bisa ia pastikan bahwa semester berikutnya ia tidak akan mendapatkan beasiswa lagi. Pasalnya beasiswa itu hanya diperuntukan pada satu orang yang memiliki nilai tertinggi di angakatannya.

"Hinata, ada apa dengan nilaimu?" Ino tidak mengerti, ia terkejut sekali saat mendapati nama orang lain di urutan pertama karena selama tiga tahun berkuliah disini, selalu nama Hinata yang ada diurutan pertama.

Hinata hanya menggeleng, ia terududuk lemas di kursi. Tak ada yang bisa ia lakukan lagi sekarang, semuanya kacau.

"Kau bisa cerita jika ada masalah." Ino duduk di samping Hinata sambil mengusap pundak sahabatnya itu.

Hinata menatap kosong ke depan. Ini sudah dua minggu, ia selalu berusaha menghubungi Naruto untuk mendapatkan sebuah jawban, namun nihil. Ponsel pria itu bahkan tidak aktif sama sekali, ia kebingungan sekarang. Apa yang harus ia lakukan?

Ino terkejut saat tiba-tiba saja Hinata meneteskan air matanya. "Hey, hey ada apa?" Ia meraih tissu di dalam tasnya dan memberikannya pada Hinata.

Hinata tak sanggup menahan diri, ia menangkup wajahnya dengan kedua tangan lalu menangis terisak di kursi taman. Beberapa mahasiswa yang melintas menatapnya dengan aneh.

Ino menjadi kebingungan. Apa yang terjadi pada Hinata? Ia hanya bisa menepuk pundak Hinata yang bergetar karena menangis. Ia tebak, Hinata mungkin tengah bertengkar dengan ayah atau kekasihnya.

...

"Hinata, ujianmu sudah selesai kan?" Hiashi menelepon putrinya lagi. Ia dengar Hinata sudah mendapatkan hasil ujiannya.

"Hm." Hinata hanya bergumam, ia merebahkan kepalanya di atas meja makan. Tubuhnya terasa begitu lemas belakangan ini dan ketakutan yang bergumul dalam kepalanya seakan mengacaukan tatanan hidupnya.

"Kembalilah ke Toyama." Ujar Hiashi, sudah lama sekali tak bertemu dengan putrinya itu.

Hinata hanya terdiam, bagaiamana jika ayahnya tahu soal ini? Soal dirinya yang tengah hamil.

"Hinata?" Tak mendapat jawaban dari putrinya, Hiashi menjauhkan ponselnya dari telinga dan menatap layarnya, memastikan bahwa panggilannya masih terhubung.

"A-ah, baiklah ayah." Hinata menjawab sekenanya. Ia tak bisa fokus sama sekali, terlalu banyak menangis membuatnya benar-benar hilang arah dan lupa keadaan.

"Kau sakit nak?" Tanya Hiashi khawatir, ia tak pernah mendengar Hinata mengadu soal kehidupannya di Hokkaido, apa semua baik-baik saja?

Hinata memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak. Ia tak sanggup menjawab semua pertanyaan ayahnya atau ia akan semakin kalut. Ia bisa membayangkan sekecewa dan semarah apa ayahnya jika tahu hal ini.

Air matanya terasa kering, hidupnya tak pernah terasa sama lagi. Sekarang ia ketakutan dan kebingungan. Merutuki diri sendiri pun tak akan ada gunanya.

...

Naruto menatap halte bus di seberang jalan dengan tatapan sulit diartikan. Belakangan ini ia tidak bisa fokus sama sekali, ia tahu Hinata terus menghubunginya dan ia memutuskan untuk menonaktifkan ponsel. Mungkinkah Hinata sudah menyadari kehamilannya?

LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang