Naruto tersentak dari tidurnya, entahlah belakangan ini ia sering kali bermimpi buruk soal kematian ibu yang seakan menghantuinya kembali. Melihat Hinata sebagai sosok Ibu yang mengurus putra mereka membuatnya begitu terenyuh. Rasa bersalah yang berkecamuk dalam batinnya begitu besar hingga membuatnya tersiksa.
"Kau terjaga?" Hinata tersentak kaget saat suaminya tiba-tiba bangkit duduk sambil bernapas terengah.
"Hinata?" Naruto hanya bisa mengusap wajahnya sambil menghela napas berat. Ia mendapati istrinya duduk bersandar tepat di sampingnya. Wanita itu tengah menggoyangkan ayunan bayi yang ada di samping futton mereka.
Hinata meletakan telunjuknya di depan bibir, mengisyaratkan pada Naruto untuk tak bicara dengan keras karena Boruto baru saja terlelap setelah disusui barusan.
Naruto menoleh ke arah ayunan bayi yang tertutup kelambu putih itu. Bayinya tengah terlelap dengan selimut tebal menyelimuti tubuh mungilnya.
"Dia baru saja tidur." Hinata berujar pelan, ia berhenti menggoyangkan ayunan itu lalu menatap suaminya.
"Bolt terjaga lagi?" Naruto kemudian membaringkan kepalanya di atas pangkuan Hinata. Ia rindu bermanja pada wanita itu. Saat Hinata hamil ia tak mampu melakukannya dan setelah melahirkan, wanita itu terlalu sibuk mengurus bayinya.
"Hm." Hinata mengangguk, ia mengusap lembut helaian pirang sang suami.
"Terima kasih, sayang." Naruto memeluk pinggang ramping wanita itu. Sekarang ia sudah dapat memeluknya dengan erat seperti dulu.
"Kenapa berterima kasih?" Hinata menyentuh rahang tegas suaminya dengan sentuhan ringan.
"Kau telah memberikan semuanya untukku." Naruto berujar pelan. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana perubahan Hinata selama hidup bersamanya. Dimulai dari gadis lugu yang begitu manis, hingga menjadi seorang ibu yang begitu anggun luar biasa.
Hinata tersenyum kecut, keadaan yang menekannya untuk siap menjalani semua itu. "apa kau akan memberikan hal yang sama untukku?"
"Apapun yang kau inginkan, aku akan memberikannya." Naruto melingkarkan lengannya di pinggul Hinata dengan erat.
"Tak banyak yang aku inginkan." Hinata membiarkan pria itu menenggelamkan wajah di atas pangkuannya. Ia masih mengusap lembut helaian pirang Naruto. "Aku hanya ingin kau menemani aku disini, merawat Bolt sampai dia besar nanti."
"Tentu saja aku akan melakukannya." Naruto bergumam pelan. Ia bangkit dari pangkuan istrinya lalu menarik pinggul Hinata dengan lembut untuk berbaring di sampingnya. "Tidurlah, sayang kau lelah."
Hinata membaringkan dirinya di samping Naruto. Menatap pria itu saat sedang tertidur selalu terasa menenangkan. "Kau juga."
Keduanya berbaring berhadapan, Naruto meraih tangan kanan Hinata dan menggenggamnya erat. "Aku beruntung karena memilikimu." Bisik Naruto.
"Kenapa begitu?" Hinata berbisik pelan
"Kau melengkapi hidupku yang selalu hampa dan begitu kacau, menjadi rumah untukku saat aku tak memiliki apapun di dunia ini. Maaf karena aku sering membuatmu kecewa."
Hinata terenyuh, ia hanya bisa tersenyum sendu sambil memejamkan matanya. Ia tak butuh apapun di dunia ini. Ia hanya butuh pria itu menepati ucapannya karena entah sejak kapan ia menjadikan pria itu sebagai tumpuan hidupnya. Jatuh cinta sedalam ini terkadang juga membuatnya begitu serba salah, akan terasa indah jika semua itu berbalas tapi juga akan terasa begitu menyakitkan jika dikecewakan. "Aku mencintaimu."
Naruto mengecup bibir Hinata "aku lebih mencintaimu, sayang." Hatinya terasa penuh, ia jatuh cinta sekali lagi pada wanita itu.
....
Naruto dan Hinata melangkah menapaki undakan tangga kecil berjumlah ratusan untuk sampai di puncak kuil. "Hinata, biar aku yang menggendongnya." Ia menghentikan langkah sang istri dan mengambil alih tubuh bayinya.
Hinata memberikan buntalan bayinya pada Naruto "hati-hatilah." Ia meletakan tubuh Bolt dalam dekapan pria itu.
Naruto mengusap lembut tubuh bayi mungil itu sambil kembali melangkah di undakan tangga. Hari ini tepat seratus hari usia bayi mereka. Warga desa memberitahu mereka soal tradisi Miyamairi yang diperuntukan untuk bayi berusia seratus hari. Tujuannya untuk memanjatkan syukur atas kelahirannya dan juga meminta pendeta Shinto untuk mendoakan kesehatan serta kebahagiaan putra mereka kelak.
Begitu tiba diundakan terakhir, seorang penjaga kuil menyambut mereka, tentu Naruto sudah datang kemari seminggu yang lalu untuk mendaftarkan bayinya dalam Miyamairi ini.
"Uzumaki Boruto?" Seorang penjaga kuil Shinto menghampiri mereka dan mengusap sekilas kepala bayi tersebut.
"Ya." Naruto dan Hinata mengangguk bersamaan
"Kita mulai acaranya sekarang." Ujar pendeta itu seraya mengantar sepasang ayah dan ibu muda itu ke altar doa di kuil.
Keduanya duduk bersimpuh di depan altar sambil menarik napas dalam. Entahlah ini membuat mereka berdua sedikit gugup.
"Berikan bayinya pada sang Ibu." Titah sang pendeta sambil menyiapkan Tamagushi.
Naruto memberikan kembali tubuh Bolt pada Hinata lalu mengusap pipi gembilnya dengan lembut sedangkan sang bayi hanya membuka mata lebar-lebar sambil menatap ayahnya dengan bingung. Mata birunya nampak begitu menawan dengan pipi gembil yang memerah dan wajah bulat, dia nampak begitu sempurna serta menggemaskan.
Pendeta mengangguk sekilas kepada ayah dan ibu bayi tersebut sambil mengangkat tangan untuk memulai doanya.
Naruto dan Hinata memejamkan mata sambil duduk bersimpuh saat pendeta itu mulai berdoa sambil mengayunkan Tamagushi ke kanan dan ke kiri. Pendeta itu menyebut nama bayi, nama orang tua, alamat keluarga, dan juga hari ulang tahun bayi.
Semilir angin serta suasana sunyi membuat doa yang dilantunkan oleh sang pendeta menjadi begitu khidmat.
Hinata mendekap tubuh bayinya, entahlah ia merasa begitu emosional karena bisa melahirkan bayinya dengan selamat. Setelah semua hal yang telah ia lalui akhirnya mereka tiba di hari ini.
Naruto menarik napas dalam, mengenyahkan rasa sesak di dadanya. Seiring dengan lantunan doa yang diucapkan oleh pendeta tersebut, ia kembali merasa bersalah karena sempat keluar dari bibirnya kalimat yang ia sesali sampai hari ini. Pernah sekali ia mengatakan bahwa bayi itu bukan putranya.
Setelah pendeta menyelesaikan doanya, Naruto dan Hinata mendekat satu demi satu, membungkuk ke altar dan menempatkan tamagushi di atas altar.
Pendeta memegang kepala bayi itu sambil melantunkan doa singkatnya.
Kini Naruto dan Hinata sepenuhnya tersadar bahwa kelahiran bayi itu adalah sebuah berkah. Kenapa harus selalu menyalahkannya karena lahir di tengah kehidupan mereka? Dia bahkan tak pernah minta untuk dilahirkan. Tapi ternyata kehadirannya terasa begitu luar biasa, membayar semua pengorbanan yang telah ayah dan ibunya berikan hingga hari ini.
...
"Lebih dekat." Arah seorang pria yang memegang kamera.
Naruto merangkul bahu Hinata yang tengah menggendong Bolt. Mereka berdiri bersisian di bawah kaki kuil sambil mendekap putra mereka. Ini akan jadi foto keluarga pertama yang mereka miliki.
CKRIK
"Sudah selesai." Ujar sang photographer sambil mengangkat lensa kameranya. Seraya mengeluarkan hasil foto dari kamera analog miliknya.
Naruto bergegas menghampiri photographer tersebut dan mengambil foto itu. Ia tersenyum tipis saat melihat hasilnya begitu bagus. "Tolong satu foto lagi, aku akan membayarnya." Ujar Naruto dengan cepat. Ia ingin menyimpannya sendiri.
"Baiklah." Sang phographer kembali menyiapkan kamera.
"Naru, belum selesai?" Hinata terkesiap saat Naruto kembali merangkul pinggangnya dengan mesra.
"Satu kali lagi." Naruto hanya memasang senyuman tipis di bibirnya. Ini akan jadi kenangan yang begitu luar biasa.
...
NEXT?
KAMU SEDANG MEMBACA
Lie
RomanceSatu kebohongan untuk menutupi kebohongan lainnya, hingga tanpa sadar mereka berada di titik buntu. Di penghujung segala kebohongan itu mereka harus menghadapi sebuah pertanggung jawaban atas apa yang telah mereka lakukan. Meski harus berpisah, mesk...