Masih di malam yang sama, setelah ia menemani putranya untuk kembali tidur. Pria bertubuh tegap itu mencoba mencari jejak kepergian Hinata dari rumah ini. Naruto membuka lemari pakaian dan merasa begitu tertohok mendapati sisi lemari pakaian sebelah kanan sudah kosong. Jadi benar apa yang Hinata katakan malam itu? Dia ingin berpisah?
Bodohnya ia menyetujui permintaan itu begitu saja, harusnya ia menahan wanita itu. Sekarang ia harus bagaiamana? Dirinya tak tahu kemana wanita itu pergi, bahkan ponselnya sudah tidak dapat dihubungi lagi.
Ia membuka laci lemari pakaian dan mendapati kotak perhiasan kayu itu masih berada disana. Dadanya terasa berdenyut sakit saat mendapati cincin pernikahan yang dulu ia sematkan di jari manis Hinata berada di dalam kotak perhiasan itu beserta selembar kertas yang terlipat rapi dibawahnya.
Naruto hanya bisa terdiam, dirinya terduduk di lantai sambil memegang kotak perhiasan itu. Surat yang terlipat rapi tersebut ternyata berisi surat pengajuan perceraian ke pengadilan.
Kali ini, ia rasa Hinata sudah benar-benar tak lagi ingin mempertahankan hubungan ini. Pria bersurai pirang itu hanya bisa mengusap wajahnya dengan begitu frustasi. Kenapa semua harus berakhir saat ia sedang berusaha memperbaiki semuanya?
Apa ini yang Hinata rasakan di malam saat ia memutuskan untuk pergi dua tahun lalu? Kecewa dan amarah menjadi satu di kepala, tapi satu yang jelas, ia sadar sepenuhnya bahwa Hinata mengambil keputusan seperti ini karena begitu kecewa.
Dirinya masih terngiang jelas saat wanita itu mengatakan bahwa dirinya telah merenggut semua yang wanita itu miliki. Apa yang Hinata katakan itu benar, dirinya yang menghancurkan masa depan Hinata, menggagalkan pendidikannya, membuat wanita itu nyaris mengakhiri hidupnya, menikahinya secara paksa, memutuskan hubungan dengan ayahnya, membawanya tinggal di desa dengan segala kesulitan ini, meninggalkannya tanpa mengatakan apapun, dan sekarang wanita itu merasa lelah.
Sesungguhnya tak ada yang salah dari keputusan wanita itu, ia yakin tak akan ada orang lain yang sanggup berada pada posisi Hinata. Memaafkan pria brengsek yang telah mengacaukan hidupnya begitu saja. Ah, wanita mana yang memiliki hati sebesar itu?
Mungkin ini yang Hinata rasakan saat ia tinggalkan begitu saja. Ternyata rasanya sakit sekali. "Maafkan aku, sayang."
Tanpa terasa buliran air mata sudah menggumpal di pelupuk matanya. Apa keputusannya dua tahun lalu memang begitu egois? Padahal ia hanya ingin membawa keluarganya hidup dengan lebih baik, obsesinya terlalu besar saat itu hingga tak menyadari bahwa Hinata terluka lagi karenanya.
Tak bisakah kita bicara satu kali lagi untuk melurusakan segala hal yang salah dalam hubungan ini? Apa kita memang harus berakhir seperti ini, Hinata?
...
Hinata berdiri di balkon kamarnya sambil menatap kosong ke arah depan. Tubuh dan hatinya telah mati rasa sekarang. Dirinya hanya berdiri disana, membiarkan angin musim dingin menerpa tubuhnya.
"Nona, apa yang kau lakukan di luar?" Tanya seorang pelayan dengan begitu khawatir. Sejak sang Nona kembali ke rumah beberapa waktu lalu, wanita itu nampak tak baik-baik saja, dirinya bahkan tak bisa mengenali Hinata yang dikenalnya dulu. Wujudnya sama, hanya saja dia telah menjelma layaknya orang lain. Tak ada lagi senyum manis di bibirnya, sikap lembutnya tergantikan dengan diam seribu bahasa.
"Aku rindu pada putraku." Hinata mengusap air matanya sambil berujar parau, air matanya merembes turun ke pipi. Apa Bolt baik-baik saja di Sapporo? Apa Naruto sudah kembali?
"Nona..." Pelayan itu hanya bisa mengusap punggung sang Nona muda untuk menenangkannya. Tentu saja, berita cepat sekali beredar, seisi rumah ini sudah tahu bahwa sang Nona telah menikah dan memiliki anak yang entah dimana sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lie
RomanceSatu kebohongan untuk menutupi kebohongan lainnya, hingga tanpa sadar mereka berada di titik buntu. Di penghujung segala kebohongan itu mereka harus menghadapi sebuah pertanggung jawaban atas apa yang telah mereka lakukan. Meski harus berpisah, mesk...