Naruto membawa Hinata turun dari taksi, hari ini wanita itu keluar dari rumah sakit. Kondisinya sudah cukup membaik, jahitan di lututnya mulai mengering dan emosinya mulai stabil, bahkan dia sudah mau makan dengan sebagaimana mestinya. Hanya satu yang belum pulih, yaitu hubungan mereka berdua.
"Ada apa?" Naruto menghentikan langkahnya saat Hinata bergeming di depan gerbang. Ia merangkul pinggul Hinata dengan lembut sambil menatapnya, dan mendapati sebuah keraguan yang nampak nyata di amethyst wanita itu.
Hinata menundukan kepala sambil menyentuh perutnya. Ini adalah kali pertama sejak sekian lama ia berada di luar rumah saat siang hari.
"Hinata? Kau sudah keluar dari rumah sakit?" Pertanyaan dengan nada penasaran itu terujar cukup lantang dari arah dalam gedung flat tua itu.
Keduanya menoleh dengan cepat dan mendapati seorang tetangga Hinata berdiri di sana.
Hinata hanya bisa menunduk sambil menyembunyikan diri di belakang Naruto.
Naruto menatap sinis ke arah tetangga itu dan meraih lengan Hinata, menariknya untuk bergegas masuk.
"Bukankah itu Hinata?"
"Jadi benar, dia hamil."
"Berapa usia kandungannya?"
"Memangnya dia sudah menikah?"
"Apa dia mengandung anak haram."
Semua ujaran menyakitkan itu sempat mereka dengar saat melintas di koridor lantai empat. Tak ada yang bisa keduanya lakukan untuk membantah hal itu. Mereka berdua memang melakukan kesalahan besar, tapi ada rasa sakit saat mendengar seseorang menggunjing bayinya dan mengatakannya sebagai anak haram. Sesungguhnya orang lain tak pantas menghakimi mereka berdua karena keadaan saat ini saja sudah begitu buruk bagi mereka.
Hinata berdiri mematung begitu menginjakan kakinya di dalam flat. Sedangkan Naruto mengunci pintu rapat-rapat.
"Istirahatlah di kamar." Naruto menggiring wanita hamil itu ke kamarnya, agar dia bisa beristirahat.
Hinata duduk di tepi ranjang dan menghapus air mata yang jatuh ke pipinya. Lagi-lagi kenyataan menamparnya dengan keras, ucapan semua orang terus terngiang di telinganya. Rasanya begitu menyakitkan terus digunjing dan dihina seperti itu.
"Apa kau ingin pindah dari sini?" Naruto tidak tahan melihat air mata Hinata lagi, keadaannya sudah membaik beberapa hari belakangan tapi lagi-lagi dia menangis hari ini karena para tetangga sialan itu.
Hinata memalingkan wajahnya ke arah jendela dan menatap langit biru di luar sana dengan kesedihan yang berkecamuk. Ia tak mengatakan apapun, kembali lagi ke tempat ini memang terasa berat untuknya.
.
.Karena hubungannya dengan Hinata yang tak kunjung membaik. Naruto memutuskan untuk mulai mengambil langkah. Tak ada waktu untuk berpikir, bayinya akan segera lahir dan ia tak ingin membiarkan bayinya lahir tanpa status orangtua yang jelas.
Dengan perasaan yang berkecamuk, Naruto menyiapkan sendiri berkas pernikahannya dengan Hinata dan mendaftarkannya di kantor catatan sipil. Wanita itu tak memberikan reaksi apapun tiap kali ia membahas soal pernikahan. Jadi ia membulatkan tekad dan benar-benar menikahi Hinata.
"Hinata berkas pernikahannya sudah rampung." Naruto melangkah ke area balkon dan mendapati wanita itu sedang menatap kosong ke arah pantai. Suasana sore di musim panas memang terasa begitu menenangkan.
Seperti biasanya yang ia dapatkan hanyalah sebuah pengabaian. Wanita itu nampaknya tak peduli pada apapun yang ia lakukan disini dan bahkan menganggapnya tidak ada.
"Kau istriku sekarang." Naruto berdiri di samping Hinata seraya ikut menatap ke arah pesisir. Tak ia sangka akhirnya akan menikahi Hinata dengan cara seperti ini.
Hinata hanya menatap ke depan, meski ia mendengar apa yang Naruto katakan. Rasanya ia sudah begitu lelah dan ingin hidup dengan tenang seolah semua baik-baik saja. "Untuk apa kau melakukannya?" Suaranya pelan sekali, seperti sebuah bisikan, namun ia yakin Naruto mendengarnya.
Naruto terkejut saat Hinata akhirnya bicara. Meski ucapannya terdengar cukup menyakitkan. "Karena aku ingin memperbaiki semuanya dan bertanggung jawab."
Hinata tetap merasa sesak di dadanya saat pria itu menjawab pertanyaannya. Tentu saja, itu adalah alasannya. Pria itu sudah tidak mencintainya lagi seperti dulu jadi alasan yang masuk akal hanyalah keberadaan bayi ini.
"Apa kita harus pergi ke Toyama untuk bicara dengan ayahmu, aku akan terima semua konsekuensinya." Naruto dengar, ayah Hinata adalah orang yang cukup keras. Mungkin Hinata sangat takut jika membicarakan hal ini pada ayahnya.
Hinata bertumpu di besi balkon sambil meletakan dagunya di atas lengan. Ia memejamkan mata sambil membuang napas. Kenapa semuanya jadi serumit ini? Ia tahu tak mungkin menyembunyikan kehamilan ini selamanya dari ayah. Tapi ia sungguh tidak sanggup memberitahunya. Dirinya begitu takut, takut ayah kecewa dan marah.
Helaan napas pelan keluar dari bibir Naruto, ia mengusap puncak kepala Hinata dengan lembut. Dirinya sudah benar-benar tidak tahu harus bagaimana lagi. Permasalahan ini bukan hanya soal hubungan mereka berdua, tapi juga menyangkut masa depan mereka, hubungan Hinata dengan ayahnya, lalu nasib bayinya setelah lahir nanti. "Hinata."
Wanita bersurai panjang itu lagi-lagi hanya bisa bergeming. Dirinya tengah berada di masa transisi untuk menerima semua situasinya saat ini, menerima bayi dalam kandungannya dan juga menata kembali kehidupannya yang berantakan.
"Sayang jika kau memang belum siap untuk krmbali ke Toyama, bagaimana jika kita pergi ke Sapporo. Kita mulai semuanya dari awal dan memperbaiki semuanya." Selintas rencana gila muncul dalam benak Naruto. Ia bisa membawa Hinata kembali ke tanah kelahirannya untuk sejenak melarikan diri, setidaknya hingga bayinya lahir dan mereka berdua bisa berpikir dengan tenang tanpa rasa tertekan.
Hinata menutup wajahnya dengan kedua tangan, lagi-lagi air matanya tumpah. Kenapa hidupnya menjadi seperti ini? Kapan semua penderitaan ini akan berakhir?
...
Pria dengan netra safir itu terus menggenggam erat tangan Hinata. Mereka berjalam bersisian menuju halte bus, beberapa hari setelah pembicaraan mereka sore itu, Naruto benar-benar memboyong Hinata untuk pergi dari Hokkaido.
Naruto telah mengirim semua barang miliknya dan Hinata ke Sapporo lebih awal, tepatnya ke alamat rumah mendiang orangtuanya melalui jasa pengiriman. Jadi sore ini mereka berdua hanya tinggal berangkat menggunakan bus. Perjalanan akan memakan waktu sekitar empat sampai lima jam. Besok pagi mereka mungkin sudah tiba di Sapporo.
"Sayang, berhati-hatilah." Naruto menjaga kedua sisi tubuh Hinata saat mereka naik ke atas bus.
Hinata memegang perutnya yang terasa begitu berat seraya mencari kursinya. Tepat di jajaran kursi tengah ia menemukan nomor kursi sesuai dengan apa yang Naruto katakan tadi. Ia duduk perlahan di kursi pojok sambil memegangi perutnya. Entah kenapa ia merasa mual sejak semalam.
Naruto meletakan dua tas besar yang mereka bawa di bagasi atas lalu duduk di samping Hinata. Ia mengambil sebuah bantal duduk yang ada di kursi bus dan meletakannya di belakang pinggul Hinata untuk menyangga tubuhnya. Ia selalu memperhatikan gerak gerik wanita itu dan ia menyadari bahwa belakangan ini Hinata sering memijat pinggulnya. Kehamilannya semakin membesar, jadi tubuhnya mudah lelah dan pegal belakangan ini.
Hinata menyamankan duduknya dan menatap keluar kaca bus. Akhirnya ia setuju untuk ikut dengan Naruto, mungkin ada baiknya mereka memang pergi sejenak untuk berpikir dengan tenang sekaligus menunggu kelahiran bayinya. Meski ia tak tahu apa yang akan terjadi kedepannya.
"Jangan memikirkan apapun, sayang. Semua akan baik-baik saja." Naruto terus mencoba membuat Hinata percaya kembali padanya. Meski wanita itu selalu mengabaikannya, ia tak akan berhenti. Semoga pelarian singkat ini bisa menjadi jalan keluar untuk masalah pelik yang tengah mereka hadapi.
...
NEXT?

KAMU SEDANG MEMBACA
Lie
RomanceSatu kebohongan untuk menutupi kebohongan lainnya, hingga tanpa sadar mereka berada di titik buntu. Di penghujung segala kebohongan itu mereka harus menghadapi sebuah pertanggung jawaban atas apa yang telah mereka lakukan. Meski harus berpisah, mesk...