Seorang pria paruh baya bangkit duduk di ranjang kayu besar miliknya. Suara batuk keras memenuhi seisi kamar gelap tersebut. Tangan keriputnya meraih sebuah ponsel di atas nakas. Jam menunjukan pukul satu dini hari. Ia menekan tombol-tombol di ponsel tua itu. Nomor yang sudah ia hapal betul di luar kepalanya.
Namun lagi-lagi yang terdengar di seberang telepon hanyalah sahutan dari operator yang mengatakan bshwa nomor ponsel yang dituju tidak aktif. Setiap hari ia harus menelepon, berjaga-jaga jika saja putrinya nanti mengaktifkan ponsel.
Netra amethystnya yang mulai meredup hanya menatap nanar keluar jendela kamarnya, bulan purnama penuh di musim semi nampak jelas dari ini.
'Kau dimana nak?' batin Hiashi berbisik lirih, putri satu-satunya menghilang bak di telan bumi sejak tiga tahun lalu. Ia sudah melakukan berbagai cara untuk mencari putrinya itu. Ia bahkan beberapa kali pergi ke Hokkaido untuk mencari keberadaan putrinya namun hingga sekarang tak mendapatkan titik terang.
Ia pergi ke kampus dimana putrinya berkuliah dan mendapati bahwa putrinya itu sudah berhenti kuliah sejak lama, lalu ia mencari flat yang dulu sempat ditinggali putrinya dan hanya mendapatkan kabar simpang siur yang membuat hatinya hancur.
Mereka bilang, Hinata di bawa kabur oleh kekasihnya dalam keadaan hamil, namun ia tak percaya sama sekali soal kabar itu. Putrinya tak mungkin seperti itu, dia anak baik yang selalu menuruti apa kata ayahnya, kecuali satu kali dia membantah karena sangat ingin berkuliah di Hokkaido. Lalu kenapa sekarang semuanya jadi seperti ini?
'Apa kau sangat membenci Ayah karena selalu melarangmu melakukan apapun?'
Hiashi hanya bisa meratapi semua yang terjadi. Kemana Hinata? Apa dia baik-baik saja di luar sana? Harusnya dia sudah lulus kuliah sekarang.
Hal terakhir yang ia ingat saat berkomunikasi dengan putrinya adalah Hinata bilang bahwa dirinya merasa lelah. Tapi lelah karena apa? Semua pertanyaan itu bergumul dalam benak pria paruh baya tersebut selama tiga tahun terakhir. Tak ada yang bisa dilakukan sekarang. Tubuh rentanya sudah tak mungkin lagi pergi ke Hokkaido untuk mencari putrinya. Tapi Hiashi tak pernah kehilangan harapan, ia harap putri semata wayangnya itu akan kembali ke rumah suatu hari nanti.
...
"Ayah, lihat cacingnya ada di sepatuku." Bolt tersenyum geli. Sepatu bot kuning yang ia kenakan sudah kotor oleh tanah, sejak pagi tadi ia bermain di taman belakang rumahnya sambil membantu Ayah menanam kentang.
Naruto hanya tertawa pelan, ia menatap balita mungil itu sambil melepaskan sarung tangannya dan mengusap keringat di pelipis dengan handuk. Ia mengangkat tubuh mungil putranya ke dalam dekapan "sudah cukup membantu Ayah hari ini." Matahari mulai terik, ia tidak ingin putranya terbakar matahari.
"Sudah selesai?" Tanya Boruto sambil menatap kebun luas di belakang rumahnya.
"Hm." Naruto mendudukan tubuh putranya di rouka belakang lalu ia berjongkok di depan balita itu untuk melepaskan sepatu bot kuning yang dikenakan putranya. "Cuci tanganmu sekarang."
Boruto mengangguk patuh lalu berlari ke dapur. "Ibu.." Ia menunjukan tangannya kotor dengan tanah.
Hinata mencuci tangannya yang lengket karena baru saja memotong seperempat buah semangka matang di counter dapur. "Bolt sudah selesai ya?" Ia mengangkat tubuh putranya lalu memintanya mencuci tangan sendiri. "Gosok punggung tanganmu dengan sabun."
Boruto mengikut arahan sang Ibu untuk mencuci tangannya sampai bersih lalu meraih handuk kering yang Ibu berikan.
Hinata mengusap lembut surai putranya, lalu memberikan sepotong semangka yang sudah ia potong. "Terima kasih sudah membantu Ayah hari ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lie
RomanceSatu kebohongan untuk menutupi kebohongan lainnya, hingga tanpa sadar mereka berada di titik buntu. Di penghujung segala kebohongan itu mereka harus menghadapi sebuah pertanggung jawaban atas apa yang telah mereka lakukan. Meski harus berpisah, mesk...