Untold

1.7K 262 32
                                    

Naruto menyelimuti tubuh Hinata, ia mengusap lembut pipi Hinata yang memerah karena demam tinggi. Ia akhirnya membawa wanita itu ke rumah sakit  di pagi buta karena demamnya tak kunjung menurun dan tubuhnya lemas sekali.

"Selamat pagi." Dokter melangkah masuk sambil membawa hasil pemeriksaan. Hinata sudah diperiksa setibanya di rumah sakit pagi tadi dan hasilnya sepertinya baru saja keluar.

"Selamat pagi." Naruto melangkah mundur dari tepi ranjang pasien dan membiarkan Dokter itu memeriksa kembali selang infus yang tertancap di punggung tangan kekasihnya.

"Keadaannya mulai membaik, dia hanya kelelahan saja hingga demam tinggi." Jelas Dokter, ia memeriksa detak jantung wanita muda yang tengah terlelap itu.

"Ah begitu, syukurlah." Naruto mengangguk, ia bisa berangkat dengan tenang jika Hinata baik-baik saja. Namun belum selesai perasaan leganya itu, tiba-tiba saja Dokter melanjutkan ucapannya dan membuatnya benar-benar terkejut.

"Selain itu, Nona Hinata juga positif hamil. Usia kandungannya masih sangat muda, jadi  perhatikan gizinya ya." Dokter itu memberikan hasil pemeriksaannya pada pria dihadapannya. "Ini sudah tertera resep obat yang nantinya bisa ditebus di apotek. Ah, jangan lupa membeli vitamin juga. Dia butuh banyak asupan makanan bergizi dan vitamin. Usia kehamilannya masih sangat rentan."

Naruto membisu, dengan tangan gemetar ia mengambil surat itu. Kepalanya terasa kosong untuk beberapa saat, apa yang baru saja ia dengar bagaikan petir di siang hari.

Hinata hamil? Tapi bukankah ia sudah berhati-hati dan Hinata juga selalu memberitahu masa suburnya sebelum mereka bercinta.

...

Hinata mengerjapkan matanya pelan, bebauan obat memenuhi indra penciumannya. Ia ingat, sebelum tidur tadi Naruto membawanya ke rumah sakit. "Naruto-kun?" Ia menoleh ke sisi kanan ranjangnya dan mendapati pria itu sedang termenung menatap keluar jendela ruang rawat.

"Naruto-kun." Panggilnya sekali lagi, apa pria itu tak mendengarnya?

Naruto menoleh dengan cepat begitu tersadar dari lamunannya, ia mengusap sudut matanya yang berair. Rasanya seperti ada beban berat di bahunya begitu mendengar kabar itu. "ah, kau sudah bangun?" Ia memutar tubuhnya menghadap Hinata.

Hinata mengangguk, ia meraih lengan Naruto "Naru, aku ingin pulang." Sesungguhnya ia tidak suka berada di rumah sakit. Suasana dan aroma obat-obatan membuatnya mual.

Naruto mendongak dan menatap botol infus yang tergantung di tiang. "Dokter bilang, kau boleh pulang begitu cairan infusnya habis."

Hinata mengangguk mengerti, ia memiringkan tubuhnya seraya memejamkan mata. "Aku mual."

Naruto terdiam, bagaimana reaksi Hinata jika ia beritahu soal kabar kehamilan itu? Dia pasti tidak bisa menerimanya, kekasihnya itu tidak akan siap untuk ini, begitu pula dengan dirinya yang masih tidak siap bertanggung jawab.

Jika Hinata tahu, situasi akan sangat kacau. Lusa adalah hari keberangkatannya ke Kumejima lalu bagaimana bisa ia meninggalkan Hinata dalam keadaan hamil seperti ini? Ia akan menjadi pria brengsek yang sangat pengecut.

Tapi bagaimana dengan mimpinya yang hanya tinggal selangkah lagi?

Pada akhirnya Naruto memilih bungkam, segala pemikiran berkecamuk dalam benaknya. Ia tidak pernah membayangkan bahwa dirinya dan Hinata akan memiliki anak dalam waktu dekat.

Keduanya masih begitu muda, Hinata bahkan belum menyelesaikan pendidikannya. Sebagai pria, Naruto merasa belum mampu mengemban tanggung jawab sebesar itu. Ia terbiasa memberi makan dirinya sendiri, menanggung beban hidupnya sendiri, mana bisa ia menjadi ayah dalam waktu dekat?

"Kau melamun." Tegur Hinata, ia menatap teduh ke arah pria itu.

Naruto menggeleng dan mengusap lembut surai Hinata "tidak." Tatapannya berubah sendu, ia merasa tak akan mampu memberi Hinata sebuah pertanggung jawaban atas apa yang telah terjadi diantara mereka. Maaf jika kali ini ia harus egois, tapi mimpinya sudah menunggu di depan mata. Hinata mungkin akan membencinya nanti, jika sudah mengetahui hal ini.

...

"Ayah, aku baik-baik saja. Tidak perlu khawatir ya." Hinata duduk di tepi ranjangnya, di bantu oleh Naruto. Tangan kanannya memegang ponsel seraya menelepon sang ayah

"Bagaimana bisa baik-baik saja, kau masuk rumah sakit." Hiashi berujar panik, ia berdiri di depan rumah sederhananya.

"Aku baik-baik saja, hanya menghabiskan satu botol infus lalu kembali ke flat." Hinata menenangkan sang ayah, seharusnya ia tidak perlu memberitahu ayahnya soal dirinya jatuh sakit.

"Apa kau butuh uang, Hinata? Ayah akan kirimkan ya hari ini. Makanlah dengan benar, jangan sampai sakit." Hiashi tak bisa tenang, Hinata putri satu-satunya yang tengah merantau untuk menempuh pendidikan di Hokkaido. Selama ini putrinya itu tidak pernah mengadu, tentang apa saja yang terjadi di perantauan dan hari ini putrinya memberi kabar bahwa dia tengah sakit, membuatnya benar-benar khawatir.

"T-tidak perlu Ayah, aku masih punya uang." Hinata berujar cepat, ia tahu penjualan hasil panen biji kopi milik sang ayah pasti menurun di musim dingin.

Hinata sendirilah yang memilih pergi merantau ke Hokkaido untuk berkuliah dan sangat bersikukuh dulu, meski Ayah telah melarangnya. Maka ia ingin membuktikan pada ayahnya bahwa ia mampu bertahan hidup dengan baik di Hokkaido tanpa bantuan ayahnya.

"Liburan ini, kembalilah ke Toyama. Ayah ingin bertemu denganmu." Sudah hanpir setahun ia tidak bertemu dengan putrinya.

"Em, aku akan kembali begitu semester ini berakhir, dua bulan lagi." Ujar Hinata.

Naruto membatu, Hinata akan kembali ke Toyama dalam keadaan hamil?

"Ayah tunggu kau pulang." Hiashi menghela napas berat. "Jaga kesehatan disana, jangan bekerja paruh waktu lagi. Ayah akan kirimkan uang bulanan mulai sekarang." Ia memang sempat tak mengirimkan uang sama sekali pada putrinya itu karena terus membantah dan memaksa untuk merantau.

Jadi ia memperbolehkannya, dengan syarat untuk bertahan hidup sendiri tanpa sepeserpun uang yang ia berikan. Awalnya ia pikir, putrinya tidak akan bertahan dan akan segera kembali ke Toyama, namun Hinata justru bertahan. Bahkan ini sudah memasuki tahun ke tiganya di perantauan. Sekarang sudah waktunya menurunkan ego dan memenuhi kewajibannya sebagai seorang ayah.

"Ayah, tidak perlu." Hinata berujar pelan, ia ingin membuktikan bahwa dirinya bisa bertahan hingga akhir.

"Jangan membangkang lagi, sudah cukup pembuktian dirinya." Hiashi berujar tegas.

Hinata menarik napas dalam "baiklah."

"Apa yang ayahmu katakan?" Tanya Naruto begitu Hinata memutuskan panggilan dengan sang ayah.

"Ayah memintaku berhenti bekerja paruh waktu." Hinata meletakan ponselnya di atas meja.

Naruto mengusap punggung tangan Hinata "hm berhentilah, kau kelelahan."

Ia menatap wajah cantik kekasihnya itu, bagaimana ia akan meninggalkan Hinata dalam kondisi seperti ini? Wanita itu belum tahu soal kehamilannya sendiri karena ia sengaja dan bergegas membawanya pulang dari rumah sakit.

Hinata menyandarkan kepalanya di bahu Naruto "kedai itu, tempat dimana kita pertama bertemu."

Naruto tersenyum kecut "aku terlihat sangat menyedihkan hari itu."

Hinata menggeleng, meski pertemuan pertama mereka tidak bisa dikatakan baik, Hinata selalu bersyukur bahwa malam itu mereka bertemu.

"Kau akan berangkat, lusa?" Tanya Hinata, mengalihkan pembicaraan.

Naruto tak menjawab, sekarang ia ragu untuk pergi. Namun yang pasti, ia tak akan memberitahu Hinata soal kehamilannya itu karena dirinya tidak siap bertanggung jawab sekarang.

Ia akan memberitahu Hinata nanti, atau sebaiknya ia membiarkan Hinata menyadarinya sendiri. Itu tubuhnya, cepat atau lambat dia akan segera menyadarinya.

...

NEXT?

LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang