Hinata berdiri di bawah pohon besar yang ada di depan Taman Kanak-kanak dimana putranya belajar.
"Ibu.." Seorang bocah laki-laki, berlari keluar dari gerbang.
Hinata tersenyum tipis sambil menunggu putranya. "Bolt."
Boruto tersenyum lebar sambil membawa kertas berisi hasil tes baca miliknya. "Ibu, lihat Bu."
Hinata berjongkok menyamai tinggi putranya lalu meraih kertas itu. Ia tersenyum simpul saat mendapati tiga stiker bintang berwarna emas disana, lagi-lagi nilai sempurna. "Anak Ibu, pintar sekali." Ia mengecup pipi gembil putranya sambil menatap netra saphire itu. Bolt memang sudah pandai membaca sejak tahun lalu karena dirinya sudah mengajari alfabet sejak usia empat tahun.
"Kita simpan ya, Bu kertasnya. Nanti kita tunjukan pada Ayah." Ujar Boruto dengan lugunya.
Hinata mengangguk "Ibu akan simpan ya." Ia memasukan kertas itu ke dalam tas tangan yang dibawanya. "Karena hari ini Bolt pintar sekali, Ibu akan masak sup daging kesukaan Bolt."
Netra biru itu berbinar menatap sang Ibu? "Yeay.."
"Sekarang kita ke pasar sebelum kembali ke rumah oke?" Hinata bangkit berdiri dan menggandeng tangan putranya dengan erat. Ia akui, sejak Naruto pergi dan selalu mengirim uang. Dirinya bisa memberikan Bolt makanan yang jauh lebih bergizi, dia bisa sekolah dengan nyaman, bahkan bisa menabung untuk keperluan lainnya, singkatnya Naruto sudah memenuhi kewajibannya sebagai Ayah dengan sangat baik.
Tapi Hinata belum bisa menerima, jika memang tujuan pria itu pergi untuk ini, maka dia berhasil. Perannya sekarang hanyalah menyalurkan jerih payah pria itu untuk putranya. Sehingga saat pria itu kembali nanti, dia tak menyesali keputusannya. Bolt harus hidup dengan baik, seperti apa yang Naruto inginkan.
"Ibu, aku pernah melewati jalan ini bersama Ayah." Boruto menunjuk ke arah jalan setapak yang dipenuhi bebatuan.
Hinata mengusap surai putranya dengan lembut. "Oh ya, kapan?" Ia tahu Naruto memang selalu membawa Bolt pergi ke pasar, untuk menjual kentang atau untuk berbelanja.
"Aku lupa." Boruto mengerucutkan bibirnya. Dalam memorinya, yang teringat adalah Ayah selalu menggendongnya tiap pergi ke pasar karena Ayah bilang agar cepat sampai tujuan. "Ayah selalu menggendongku Bu tiap kali ke pasar."
"Kenapa begitu?" Hinata selalu mendengarkan celoteh Bolt tentang ayahnya, ia tahu putranya itu sangat dekat dengan sang Ayah. Semua hal yang dia ingat selalu soal ayahnya.
"Kaki Ayah sangat panjang kan Bu? Jadi langkahnya selebar ini." Bocah bersurai pirang itu mencontoh langkah-langkah lebar sang Ayah. "Jadi aku selalu tertinggal, Bu."
Hinata terkekeh pelan, sepanjang perjalanan mereka hanya tertawa bersama. Boruto yang selalu bersemangat membicarakan Ayahnya dan Hinata yang selalu merasa rindunya terobati tiap kali mendengar cerita Boruto. Disaat seperti inilah ia sadar seberapa besar pengaruh eksistensi pria itu dalam hidupnya dan juga Boruto.
...
"Titik kordinat kami di enam puluh tujuh koma delapan Lintang Selatan." Naruto berujar melalui telepon satelit. Pandangannya lurus ke depan, menatap laut luas yang membentang di hadapannya.
"Tercatat, terus lakukan komunikasi dan pantau mercusuar." Balas seseorang dari seberang telepon satelit.
Mereka akan menghindari perairan dangkal karena kejadian tersangkut karang beberapa waktu lalu. Jalur memutar ini akan mengakibatkan kapalnya lebih lama sampai ke Hokkaido.
"Bagaimana Kapten?" Tanya seorang awak sambil membawa peta digital.
"Laporan diterima pusat, kita bisa mencari jalur lain." Ujar Naruto seraya bersandar di kursi. Ah, harusnya ia bisa segera kembali ke rumah.
![](https://img.wattpad.com/cover/254488143-288-k267540.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Lie
RomanceSatu kebohongan untuk menutupi kebohongan lainnya, hingga tanpa sadar mereka berada di titik buntu. Di penghujung segala kebohongan itu mereka harus menghadapi sebuah pertanggung jawaban atas apa yang telah mereka lakukan. Meski harus berpisah, mesk...