Missed

1.7K 247 13
                                    

Two Years Later

.
.

"Ibu, kapan Ayah pulang?" Suara pelan seorang bocah laki-laki memecah keheningan malam.

Hinata hanya memeluk tubuh mungil putranya dan mendekapnya lebih dekat untuk melindunginya dari hawa dingin. Ia tak mengatakan apapun, waktu terus berlalu. Tapi tak pernah ada kabar apapun soal pria itu. Hanya tukang pos yang selalu datang di setiap pertengahan bulan mengantarkan sebuah amplop berisi uang dari Naruto.

"Bu.." Boruto kembali bergumam sedih, ia rindu sekali pada Ayahnya. Di malam musim seperti ini, biasanya Ayah akan memeluknya sambil menggosok punggung tangannya di depan perapian.

"Maaf sayang." Hinata mengusap helaian pirang putranya dengan lembut "Ibu juga tidak tahu kapan Ayah akan pulang."

Boruto terisak pelan dalam dekapan Ibunya, air matanya merembes turun ke pipi bergurat yang serupa dengan sang ayah. "Ayah..."

"Sudah..." Hinata menelan kesedihannya sendiri sambil mengusap punggung mungil putranya yang bergetar. Dirinya sendiri sudah letih menangis dan menyesalkan keputusan pria itu. Dirinya justru tengah mencoba lepas dari bayang-bayang pria itu, pria yang telah merenggut semua mimpi indahnya.

Bolt sedang demam tinggi sejak kemarin, dia terus menanyakan ayahnya. Mungkin dia sangat rindu pada sang Ayah setelah hampir dua tahun tak bertemu.

"Hikss.. Bu, aku ingin bertemu Ayah." Boruto berujar dengan tersengal "aku ingin menanam kentang bersama, diantar pergi ke sekolah, dan menjual persimmon di pasar dengan Ayah." Tangis Boruto tak kunjung berhenti, justru semakin terdengar pilu.

Hinata ikut mengusap air matanya sambil menenangkan balita itu. "Ibu ada disini, Bolt bisa lakukan semua itu dengan Ibu ya?"

Boruto menggeleng lemah, "aku mau dengan Ayah."

Hinata mengusap kepala belakang putranya sambil menghela napas berat. Rasanya begitu menyedihkan.

...

Hinata mengecek suhu tubuh putranya dengan termometer lalu menghela napas lega kala mendapati demamnya sudah menurun. Semalaman ia tak bisa tidur sama sekali karena putranya terus menangis. Tak biasanya Boruto seperti ini saat demam.

Ia mengecup lembut kening putranya lalu beranjak dari futton dan melangkah ke luar kamar. Entah kenapa, suasana pagi di rumah ini selalu mengingatkannya pada pria itu. Eksistensinya seakan masih begitu nyata di sini, namun Hinata tahu itu hanya angannya belaka.

Hinata melangkah masuk ke dalam gudang gelap di dekat dapur dan mengambil barang miliknya yang tersimpan selama bertahun-tahun disana dan membawanya ke meja lesehan di ruang tengah.

Matanya menatap sendu pada kotak berisi buku-buku, ponsel, dan beberapa barang lainnya. Ah, ia rindu pada Hokkaido. Namun lebih dari itu semua, ia rindu dengan kehadiran pria itu disini.

...

Flash Back

"Hinata." Naruto merebahkan kepalanya di atas pangkuan sang istri.

"Hm, ya?" Hinata mengusap helaian pirang suaminya sambil mengulas senyum tipis di bibir.

"Punggungku terasa sakit." Gumam Naruto sambil melenguh pelan.

"Aku akan memijat punggungmu." Sahut Hinata, ia meletakan benang rajutnya di samping futton.

Naruto melepaskan kaus yang dikenakannya kemudian berbaring telungkup di atas futton sambil memejamkan mata, menunggu sang istri memijat punggungnya seperti biasa.

LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang