Finding

1.8K 269 14
                                    

Naruto mengambil sebuah map di dalam laci lemari yang ia simpan sejak bertahun-tahun lalu. Itu berkas pernikahannya dengan Hinata.

Mata birunya membaca dengan teliti setiap kalimat yang tertulis dalam berkas itu, disana tertera jelas alamat rumah Hinata di Toyama.

Ia berharap Hinata benar-benar berada di Toyama bersama ayahnya. Itu jauh lebih baik daripada wanita itu pergi ke tempat lain yang ia tak tahu dimana.

Sejujurnya ia tak bisa tenang sama sekali, ia teringat kembali pada masa dimana, hidup Hinata benar-benar kacau karenanya.

"Ayah sedang apa?" Boruto menarik kaus yang dikenakan ayahnya sambil mendongak.

Naruto tersadar dari lamunannya dan berjongkok di hadapan putranya. "Ayah ingin mencari Ibu. Bolt ikut dengan Ayah ya?"

"Mencari Ibu?" Boruto membeo, ia menatap wajah ayahnya.

"Hm, kita akan mencari Ibu dan membawanya pulang kesini." Ia menatap putranya dengan tatapan serius.

"B-benarkah?" Boruto membolakan matanya.

"Ayah bersungguh-sungguh, semoga kita bisa menemukannya." Ujar Naruto dengan tatapan sendu.

Boruto mengangguk cepat "iya Ayah, aku mau mencari Ibu."

Naruto memeluk tubuh mungil putranya. "Ayah janji akan membawa Ibu pulang." Ia mengusap lembut helaian pirang Boruto.

...

"Hinata, dimana putramu itu sekarang?" Hiashi bertanya dengan suara berat.

"A-aku, meninggalkannya di Sapporo." Setetes air mata Hinata kembali jatuh.

"Kenapa kau meninggalkannya?" Tanya Hiashi seraya memalingkan pandangannya, ia juga terkadang tak mengerti dengan jalan pikiran putrinya itu.

"Karena Naruto yang menginginkannya dan aku takut Ayah tak bisa menerimanya disini." Jawab Hinata sekenanya.

Hiashi hanya bergeming untuk beberapa saat. "bagaimanapun juga dia cucuku." Tubuh rentanya sedikit bergetar saat mengatakan itu, sesungguhnya ia masih mencoba menerima semua situasi ini.

Hinata terkesiap saat mendengar ucapan sang Ayah. "A-apa Ayah akan menerimanya disini?"

"Ayah akan belajar untuk menerimanya dan menerima semua situasi ini." Hiashi memejamkan kelopak matanya. Merasakan kehilangan putri semata wayangnya selama enam tahun, membuatnya menyadari semua sikap kerasnya dulu, dirinya yang selalu mengekang, memaksakan kehendak pada putrinya itu justru membuat semuanya menjadi kacau.

Lebih dari itu, ia tak ingin kesepian di masa tuanya ini. Untuk apa memiliki banyak uang dan beberapa hektar kebun kopi jika hidupnya akan berakhir kesepian dan sendirian. Dirinya menyadari bahwa yang ia butuhkan di masa tua hanyalah keluarganya.

"A-ayah.." Hinata tak mampu berkata-kata, tapi sekarang sudah terlambat. Naruto tak akan membiarkan putranya tinggal disini.

"Kau ingin menjemputnya?" Tanya Hiashi dengan lembut, ia tak ingin lagi membuat putrinya terluka. Dirinya bisa melihat pancaran sendu dari amethyst indah Hinata. Dia terlihat tersiksa dari dalam.

Hinata tak menjawab, ia yakin Naruto tidak akan menerima hal itu. Tapi sikap egoisnya terkadang masih begitu menggebu, bagaimanapun juga dirinya adalah Ibu yang melahirkan Boruto. Selama dua tahun terakhir ia selalu berpikir, tak apa jika tak bisa terus bersama dengan Naruto asal Boruto ada disisinya. Tapi ia tahu itu hanyalah keegoisannya semata dan ia tak ingin memaksakan segalanya.

...

Naruto mengemasi sedikit barangnya dan Boruto ke dalam tas, jam di dinding menunjukan pukul empat dini hari. Ia tak peduli jika nanti akan sulit menemukan Hinata disana, setidaknya ia harus mencoba.

Ia melirik ke arah futton, disana putranya masih terlelap. Dia begitu senang saat tahu mereka akan pergi mencari Ibunya. Bahkan semalam Boruto berceloteh tentang Ibunya, dia bilang sangat ingin bertemu dan merindukannya.

Hatinya selalu tersentuh tiap kali mendengar Bolt berceloteh tentang sosok Ibu yang sangat menyayanginya, menemaninya, memberikan segalanya yang ia butuhkan, dan menjaganya dengan begitu tulus.

Apa dirinya telah begitu egois karena memisahkan anak dari Ibunya. Ia juga sepenuhnya menyadari bahwa Boruto mungkin bisa hidup tanpanya tapi tak bisa hidup tanpa Hinata.

Senyum kecut terpatri di bibirnya, ia tak akan pernah lupa. Bagaimana Boruto selalu mencari Ibunya, dia juga selalu terpaku pada sang Ibu, ia yakin sampai sepuluh tahun pun ia mencoba menggantikan posisi Hinata, ia tak akan mampu.

Jika memang nanti tak ada jalan keluar dari permasalahan ini dan mereka berakhir dengan perceraian, haruskah ia mengalah dan membiarkan Bolt tinggal dengan Ibunya?

Pria itu melangkah mendekat ke sisi futton dan mengusap kening Boruto dengan lembut. "Bolt, bangunlah." Ia menepuk bokong putranya dengan pelan sambil berbisik ditelinganya. Seperti inilah Hinata selalu membangunkan Boruto, wanita itu selalu mengatakan, jangan membuat Boruto terkejut saat bangun atau dia akan menangis  lalu cemberut sepanjang hari.

"Ayah..." Boruto meregangkan tubuh mungilnya dan mengusap matanya dengan punggung tangan.

"Bangung Bolt, hari ini kita akan mencari Ibu kan?" Ia mengusap pipi gembil putranya yang masih separuh terlelap.

Boruto mengangguk ia kemudian tersadar sepenuhnya dan menatap sang Ayah. "Um, kita harus bergegas." Ujarnya dengan suara pelan.

Naruto membantu putranya untuk bangkit duduk "Ayah bantu Bolt bersiap."

Boruto mengangguk dan memeluk leher ayahnya, kemudian sang Ayah bangkit berdiri sambil menggendongnya. Ia sudah tak sabar untuk bertemu Ibu.

...

Naruto memutar anak kunci lalu memastikan pintu kediamannya tertutup rapat. "Sudah siap?" Ia menggandeng lengan putranya erat.

"Sudah." Bocah pirang itu mengangguk, tubuhnya dibalut jaket padding tebal dan scraft merah buatan sang Ibu melingkar di lehernya.

"Kita berangkat sekarang." Ujar Naruto dengan segala kerisauan di dalam hatinya. Dengan berbekal sebuah alamat, ia memantapkan hatinya untuk mencari Hinatanya.

Mereka akan berangkat menggunakan kereta api menuju Toyama, perjalanan mungkin akan memakan waktu selama tiga belas jam. Ini akan jadi perjalanan panjang, tapi tak apa. Asal ia bisa menemui wanita itu lagi dan meluruskan segalanya atau jika semua tak berjalan lancar dan Hinata tetap ingin berpisah, ia hanya akan mengantarkan Boruto untuk tinggal bersama Ibunya.

Ia hanya bisa menghembuskan napas kasar, dirinya akan sendirian lagi, seperti saat dirinya belum mengenal Hinata. Ah, itu pasti akan sangat menyiksa.

"Jika nanti Ibu tak ingin pulang kesini, apakah Bolt mau tinggal bersama Ibu disana?" Tanya Naruto seraya menatap putranya.

"Mau! Tapi Ayah juga harus ada disana." Boruto tersenyum senang, mungkin mereka akan pindah rumah bersama-sama.

"Kalau Ibu tak ingin Ayah ada disana, Ayah tak bisa memaksa." Ujar Naruto dengan pelan, ia akan mulai bicara pada Boruto. Jika saja nanti benar Hinata tetap ingin berpisah, ia tak ingin Bolt terkejut.

Senyum yang tadi terulas di bibir Boruto menghilang seketika. "Kenapa Ibu tak mau?"

"Karena Ayah sudah membuat Ibu marah." Naruto mengusap surai pirang putranya.

Boruto menggeleng "jika Ibu marah, biasanya aku akan minta maaf dan Ibu langsung memaafkanku dan memelukku, Ayah."

Naruto menundukan tubuhnya dan mengangkat tubuh mungil putranya ke dalam gendongan, udara begitu dingin pagi ini. Ia tersenyum getir, ya andai semua semudah itu. "Baiklah, Ayah akan coba kalau begitu."

...

NEXT?

LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang