Choice

1.7K 240 35
                                    

"Bolt, jangan nakal saat menginap. Ikuti apa kata Bibi Kurenai oke?" Hinata memasukan kotak bekal berisi makanan ke dalam tas punggung berbentuk kepala beruang.

"Um." Bocah berusia tiga tahun itu mengangguk patuh. Ia memakai tas punggung itu di bantu sang Ibu. Malam ini dirinya akan ikut berkemah di halaman belakang kediaman keluarga Sarutobi. Jaraknya hanya lima puluh meter dari rumah. Beberapa sepupu dari keluarga Sarutobi memang biasa datang berkunjung ke desa ini tiap tahunnya dan mereka akan membuat acara kemah kecil-kecilan di belakang rumah.

Karena Boruto sejak kecil sudah begitu akrab dengan keluarga Sarutobi, mereka selalu mengajak Boruto turut serta dalam acara kemah tersebut namun tahun lalu Bolt masih terlalu kecil untuk turut serta menginap, jadi tahun ini akan jadi kemah pertamanya.

"Ingat, jangan terlalu dekat dengan api unggun, dan jangan mengompol di dalam tenda." Hinata mengecup kedua pipi gembil putranya sambil menatap netra saphirenya yang begitu menawan.

"Iya, Ibu." Boruto kemudian mengambil tas kecil berisi selimut yang ada di atas meja lalu melangkah keluar rumah. Ia mendapati Bibi Kurenai sedang berbincang dengan Ayahnya di rouka depan.

"Bi, aku sudah siap." Ujar Boruto sambil memakai sandalnya.

Naruto mengusap surai Boruto dengan lembut. Ini pertama kali putranya itu akan tidur di luar rumah mereka. "Jangan merepotkan Bibi Kurenai ya." Ia menangkup pipi gembil putranya.  "Bi, kami titip Boruto." Tambahnya pada Bibi Kurenai.

"Jangan khawatir, Konohamaru dan Mirai sudah menunggu di rumah." Kurenai menggandeng tangan balita gemuk itu.

"Dah Ayah." Boruto melambaikan tangannya pada sang Ayah sambil melangkah dengan bersemangat menuju kemah pertamanya.

Naruto hanya tersenyum sambil menggeleng, sejak kapan bayi yang dulu tiap malam menangis dalam dekapannya itu tumbuh menjadi sebesar ini? Waktu berjalan dengan begitu cepat, tiba-tiba saja putranya sudah nyaris menginjak usia empat tahun dan hal itu selalu menamparnya kembali ke kenyataan.

Bayi itu akan bertumbuh menjadi seorang anak yang luar biasa nantinya, ia harus bersiap sebagai ornag tua. Bersiap secara mental dan finansial. Secuil harapannya pada Boruto, ia ingin putra semata wayangnya itu tumbuh dengan baik dan berkecukupan, itu saja.

...

Sejak perdebatan mereka di dapur beberapa waktu lalu, tak ada yang bicara satu sama lain. Rasanya ego masing-masing masih terlalu tinggi untuk sekedar meluruskan masalah.

Naruto berdiri di depan pintu kamar, ia mendapati istrinya tengah duduk sendirian di ruang tengah sambil termangu. Malam menunjukan pukul sepuluh, rumah ini terasa begitu hening karena Bolt sedang tidak di rumah. Membuat ketegangan di antara dirinya dan Hinata kian terasa nyata.

Helaan napas berat meluncur mulus dari bibir tegasnya. Naruto melangkah ke dapur, ia membuka laci atas paling kiri, mengambil sebuah botol kaca berisi arak beras buatan sang istri beserta dua cangkir mungil. Mungkin malam ini ia harus mencoba meluruskan masalah dengan Hinata.

"Rumah terasa sepi jika Bolt tidak ada disini." Naruto duduk bersebrangan dengan istrinya sambil meletakan dua cangkir dan sebotol arak di atas meja.

Hinata hanya bergumam sambil menatap heran ke arah suaminya yang meletakkan minuman keras tradisional itu dihadapannya.

"Temani aku minum malam ini." Naruto menuangkan sedikit cairan berwarna putih pekat itu ke dalam gelas. Aroma arak menguar kuat dari dalam botol.

Hinata menatap suaminya dengan tatapan sulit diartikan, ini tentu bukan kali pertama pria itu meminta untuk ditemani minum. Namun biasanya, acara minum di antara mereka akan berakhir dengan malam panjang pergulatan di atas futton. Jadi ini seperti undangan terbuka untuk bercinta?

LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang