Liam tidak langsung menyahut. Lagi pula dirinya terlampau kaget saat mendengar pertanyaan tidak masuk akal yang keluar dari bibir sang istri. Akan tetapi, dirinya juga tidak bisa mempertanyakan maksud wanita itu. Runa tampak dalam kondisi sangat tidak baik, dengan kata lain mungkin saja pertanyaannya itu di luar batas kesadarannya.
"Lo nggak mau cerita sama gue, Na?" Liam kembali mencoba, barangkali wanita itu sudah dapat diajak berbicara secara dua arah.
Tiba-tiba saja wanita itu menghela napas begitu panjang, kemudian menolehkan kepalanya ke arah lantai yang tentu saja dipenuhi dengan barang-barang yang berserakan akibat ulah impulsifnya tadi.
"Berantakan ..." ucapnya pelan.
Dia tidak pernah semarah ini. Segalanya selalu wanita itu simpan sendiri hingga menumpuk menjadi bom hati. Dan ternyata, hari inilah bom tersebut meledak tak terkontrol. Sialnya, Liam menjadi salah satu sasaran tak bersalahnya. Mungkin, besok tubuh pria itu akan memunculkan kebiru-biruan di kulitnya.
Liam mengamati sang istri sejenak. Sepertinya kesadaran Runa sudah kembali. Wanita itu mulai mawas dengan keadaan sekitarnya.
"Nggak papa, besok gue yang beresin. Sekarang istirahat, ya?"
Runa menoleh ke arah sang pria, mendapati raut khawatir dari suaminya tersebut.
Suami, ya? Bisakah dirinya mempercayai pria ini?
"Lo belum jawab pertanyaan gue tadi," ucapnya kelewat datar.
"Na ..."
"No, no. jawab yang ini aja," sela wanita itu sembari kembali terduduk, seakan sudah sejak lama dirinya mempersiapkan pertanyaan ini. "Kenapa laki-laki selalu serakah? Lo laki-laki, 'kan? Harusnya lo bisa jawab pertanyaan gue."
Liam tidak menyahut. Pikirannya kosong. Dibanding menyiapkan jawaban, dirinya justru memikirkan apa yang menyebabkan sang istri menjadi seperti ini?
Dirinya pikir, sampai sekarang, kendati mereka berdua memang sering berselisih, sepertinya tidak ada hal yang bisa memuncakkan amarah hingga harus mengatakan perpisahan yang sangat dibenci oleh Tuhan itu.
Tiba-tiba Runa terkekeh, menyandarkan dahi pada lututnya yang baru saja ditekuk dan dipeluk itu.
"Menurut lo, apa yang ngebuat sepasang manusia nggak mau berpisah? Padahal, kenyataannya, udah nggak ada yang bisa diharapkan dari hubungan itu," ucapnya dengan nada datar.
"...."
Liam mencoba untuk mengartikan kalimat tersebut. Apakah wanita itu sedang membicarakan hubungan antara mereka berdua .... atau hubungan orang lain?
"Gue lagi ngomongin orang tua gue, hehehe," kekehnya kembali, menjawab pertanyaan yang berputar di kepala Liam. "Gue jealous sama keluarga lo, 'A. Gue iri sama keluarga lo yang kelihatan sempurna itu."
***
Banyak yang bilang, bila cinta pertama seorang anak perempuan adalah sang ayah. Namun, dalam kehidupannya, sosok itu sudah mati sejak lama. Hatinya sebagai seorang putri sudah dihancurkan tanpa pria tua itu sadari.
Marah? Tentu saja. Siapa yang tidak akan marah bila ternyata diam-diam manusia yang disebut ayah tersebut memiliki putri selain dari ibunya? Belum lagi, dirinya menemukan fakta itu pada saat hari lahirnya berlangsung; itulah mengapa Runa sangat membenci untuk merayakan ulang tahun. Sebab, hari itu mengingatkan dirinya akan memori busuk yang sangat sulit dimusnahkan dalam pikirannya.
Tidak heran bila dirinya sudah mengenal rokok sejak remaja, sebab hanya dengan batang nikotin itulah pikirannya menjadi lebih tenang, seakan setiap semburan asap yang dirinya embuskan dapat menghilangkan sosok pria paruh baya yang telah menyakiti hati ibunya itu.
Apakah dirinya diam saja? Tentu tidak.
Kendati butuh waktu lama untuk mengatakan kebenaran akan keberengsekan ayahnya, pada akhirnya Runa berani mengungkapkan hal tersebut pada sang ibu. Namun yang paling menyakitkan adalah respons sang ibu kala itu.
"Mama udah tau. Kamu diem aja, nggak usah kasih tau kakak sama adekmu."
Jadi, selama ini sia-sia saja dirinya menahan rasa sakit hati sendirian? Mamanya sudah tahu? Sejak kapan? Setelah dirinya ... atau ternyata lebih lama dari itu?
Dan kenapa tak ada raut kekesalan mau pun amarah dari wajah sang ibu? Mengapa terlihat amat pias? Berarti ... memang benar bahwa ayahnya telah bermain belakang sejak lama?
"Kenapa Mama nggak minta cerai aja, Ma?"
Remaja tanggung seperti dirinya saat itu tentulah mengerti dengan konsep perpisahan. Bahkan, Runa juga tidak peduli bila akan dikata-katai sebagai anak broken home. Dia hanya ingin melindungi sang ibu, hanya itu.
"Mama bertahan demi kalian," balas sang ibu dengan senyum tipis. Namun, torehan senyum itu justru menyayat relung hatinya.
Tapi dirinya tak mengerti dengan alasan sang ibu. Bertahan demi kalian? Alasan macam apa itu?
Apanya yang demi kalian ketika melihat wajah sang ayah, dirinya selalu merasa begitu muak? Bahkan untuk membayangkan memiliki adik tiri saja dirinya benar-benar tidak sudi.
"Aku mau pindah ke apartemen, Mama nggak bisa ngelarang. Aku nggak betah ngeliat dia terus," katanya kala itu, sebab memang hanya selain rumahlah dirinya merasa lebih tenang. Tidak heran bila Runa lebih banyak menghabiskan waktu di luar dibanding hunian yang baginya sudah tidak layak dijadikan tempat untuk berpulang.
"Nak ... jangan gitu ..."
"Mama maunya aku gimana?" tanyanya dengan nada frustasi. "Aku yang keluar atau aku tetep di sini tapi Kak Arin sama Deni harus tau tentang ayah."
Sudah tahu 'kan apa jawaban yang diberikan sang ibu?
Sebenarnya, kala itu mamanya tidak menjawab apa pun. Namun, Runa mengambil kesimpulan sendiri bila wanita paruh baya itu tidak ingin menyakiti hati dua anak kesayangannya itu.
Dan tanpa wanita paruh baya itu sadari, dirinya turut menambah luka sang anak.
Jadi, siapa yang salah di sini? Apakah hanya karena alasan hubungan orang tuanya yang sudah lama hancur, dirinya salah untuk tidak bisa menaruh kepercayaan pada pria mana pun bahkan termasuk Liam?
Bukan. Bahkan, jika Runa memang tidak memiliki kepercayaan pada Liam, dirinya tidak akan menyetujui untuk menikah dengan pria itu. Hanya saja, Runa selalu digentayangi oleh rasa takut; takut suatu saat dirinya akan ditinggalkan dan bernasib sama dengan sang ibu.
Maka dari itulah, dirinya selalu banting tulang bahkan hingga terjatuh sakit, hanya ingin memastikan jika di masa depan Liam tidak lagi berjalan di sisinya, Runa pun dapat tetap berdiri tegak dan bahkan dapat berlari tanpa harus melihat ke belakang saat pria itu memilih untuk berbelok arah.
Sebab itu juga, sejak awal Runa selalu membentengi diri untuk tidak jatuh terlalu dalam. Dia tidak ingin menjadi pihak yang bodoh dalam percintaan; yang ujung-ujungnya hanya bisa menyakiti diri sendiri.
***
Jujur gue lupa nama kakaknya runa 😭😭😭 nyari-nyari di part sebelum-sebelumnya nggak nemu, nggak tau apa emang udah pernah munculin nama dia apa beloms 😭😭😭