Runa sudah pulas dalam keadaan; kalian tahu bagaimana kondisi yang dimaksud. Pakaian yang sudah dibawakan oleh Liam pun teronggok begitu saja di ranjang. Ya dia pun juga nggak bisa melakukan apa-apa. Membantu Runa untuk memakai pakaian milik wanita itu sepertinya bukan pilihan yang bagus, walaupun Runa nggak akan terbangun sebab efek obat yang dikonsumsinya. Liam juga tidak mau dibilang mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Saat dirinya hendak memesan makanan via aplikasi, tiba-tiba ponselnya pun bergetar panjang; ada panggilan dari mertuanya. Tanpa menunda, Liam oun mengangkat panggilan tersebut.
"Assalamu'alaikum, Ma."
"Wa'alaikumsalam. Lim, Runa di rumah? Apa lagi kerja?"
Pria itu pun mengernyit, lalu sekilas melirik ke arah sang istri yang bahkan sejak tadi sama sekali tidak melakukan pergerakan dalam tidurnya.
"Di rumah, Ma. Kenapa, Ma?"
Liam berusaha untuk menjawab dengan nada yang santai; seakan tidak terjadi sesuatu.
Akan tetapi, dia tidak tahu saja bagaimana kekuatan batin seorang ibu terhadap anaknya.
"Hapenya mati, Mama telpon nggak bisa-bisa terus. Anak itu lagi ngapain, Lim? Perasaan Mama nggak enak terus dari kemarin-kemarin."
Liam menghela napas. Mau berkilah pun, dia juga takut kena karma; masalahnya ini berhubungan dengan orang tua yang karmanya terasa instan untuk langsung didapatkan.
"Sebenernya Runa sakit, Ma, sejak dia pulang dari luar negeri. Vertigonya kambuh. Udah mulai membaik, tapi tadi baru aja kepleset di kamar mandi, pusingnya balik lagi. Tapi sekarang dia lagi tidur, udah Liam kasih obat juga."
"Tuh, kan, firasat Mama bener!" Sang mertua menghela napas pendek. "Sejak kapan, Lim? Kenapa baru ngabarin? Runa kena vertigo? Kambuh? Berarti bukan baru kali ini aja?"
Liam malah mengernyit. Jika dirinya baru tahu riwayat penyakit Runa kala itu sih wajar-wajar saja. Tapi, mamanya? Bahkan sepertinya sang ibu juga baru tahu kalau anaknya memiliki riwayat penyakit tersebut. Berarti, selama ini, Runa tidak pernah memberitahukan kalau dirinya sering diserang vertigo?
"Maaf, Ma. Kami cuma nggak mau kalian khawatir. Untuk vertigonya yang kambuh, Liam juga baru tau dari temennya dia, Ma. Maaf, Ma, baru ngasih tau," balas Liam jujur.
"Anak itu ..." sang ibu sedikit menggeram. "Ya udah, Mama mau masak dulu, nanti Mama mampir ke sana. Jangan pesen makanan dulu, Lim, nanti Mama yang bawain sekalian buat kamu. Tolong jagain anak Mama ya, Lim."
"Iya, Ma. Hati-hati, Ma."
Setelahnya, sambungan telepon terputus. Lagi-lagi, Liam menatap ke arah ranjang di mana Runa masih menetap dalam posisinya. Liam tidak begitu mengetahui bagaimana hubungan antara anak dan ibu tersebut. Namun, yang dirinya pahami, Mamanya menyayangi sang anak. Ikatan tersebut dibuktikan dengan adanya firasat dari sang ibu, padahal Liam sama sekali tidak memberi kabar apalagi Runa yang sejak awal ogah untuk memberitahu siapa pun.
Maka dari itulah dia kesal saat mengetahui sikap Runa terhadap mamanya. Semenyebalkannya orang tua, seharusnya dia masih bisa bersikap hormat, kan?
Seharusnya hal tersebut tidak berimbas terhadap rumah tangganya yang sempat mengalami perang dingin; sebab mau dilihat dari mana pun masalah tersebut bukan berasal dari inti rumah tangganya. Tapi, Runa juga perlu dibimbing untuk bersikap lebih baik kepada orang tuanya, terutama sang ibu; bukankah ini memang tugas seorang suami?
Kalau diingat-ingat pun, masalah tersebut tidak memiliki penyelesaian. Terakhir, mereka kan masih perang dingin walaupun Runa sudah mulai bersikap lunak padanya dengan membelikan sarapan kala itu.
Sudahlah. Yang penting saat ini adalah kesembuhan Runa.
***
Mertuanya datang bersama si adik ipar, bahkan si Juli juga ikut. Langsung saja Liam menyambut dengan menyalami mertuanya, menyuruh mereka untuk masuk ke dalam rumah.
"Macet Ma, tadi?"
Mertuanya mengangguk. "Runa masih tidur, Lim?"
"Masih, Ma. Bedrest terus, Ma, aku suruh rawat inap nggak mau. Mama mau ke kamar?"
"Iya, Lim."
Sang mertua pun mengikuti langkah Liam menuju lantai dua. Sesaat sampai di kamar pun, Runa masih dalam keadaan terlelap; posisinya masih sama pula.
"Ehm anu, Ma," Liam menggaruk pelipisnya. "Runa belum pakai baju, bisa minta tolong pakein Runa baju, Ma?"
Si mertua pun menoleh ke arah Liam dengan dahi mengernyitnya. Dia hendak menyela, namun akhirnya mengangguk-angguk saja sembari mengusap kepala anaknya.
"Mama mau minum apa? Liam bikinin."
"Nggak usah, Lim."
"Teh manis anget mau, ya?"
"Ya udah terserah kamu. Tapi kamu makan aja dulu, itu kotak makannya dibukain semua. Mama juga bawain nasi kalau kamu belum masak."
"Iya, Ma. Makasih," Liam pun mengangguk lalu mengundurkan diri keluar dari kamar. Kembali turun ke lantai satu ke arah pantri, di mana terdapat si adik ipar bersama anaknya yang sedang berada dalam pangkuan.
"Lo mau minum apa, Den? Es atau yang anget-anget?"
"Apa aja gua mah, 'A. Si Runa sakit sejak kapan, 'A?"
Liam mengingat-ingat sejak kapan Runa jatuh sakit. "Tiga harian. Dia nggak ada lapor atau bilang ke elo gitu, Den?"
Deni berdecih. "Boro-boro, 'A. Ini aja gue juga kaget pas dikasih tau sama Mama. Dia nggak pernah sakit soalnya."
"Nggak pernah sakit atau emang nggak pernah bilang kalau lagi sakit?"
Deni terlihat menimang-nimang. "Pas masih tinggal di rumah sih nggak pernah sakit, nggak tau ya kalau pas tinggal di apartemen. Anaknya adem-ayem aja. Di keluarga, emang cuma dia yang nggak pernah sakit sampai dirawat inap. Paling batuk pilek meriang doang."
Liam mengangguk-angguk sambil mengaduk cangkir berisi teh hangat. "Lagi apes banget itu kakak lo. Padahal tadi pagi udah mendingan, eh malah kepleset di kamar mandi. Kebentur pula kepalanya."
"Eh buset, jackpot amat. Nggak mau ke rumah sakit?"
"Udah, cuma nggak mau rawat inap. Batu orangnya, susah banget dibujuk."
"Emang," balas Deni dengan nada nyinyir. "Lo kudu sabar ya 'A ngehadepin Nyai. Dia tuh, apa ya? Ngeselin iya. Banget. Tapi sebenernya tuh dia orangnya peduli, tapi dia nggak mau kelihatan peduli. Lo keren sih, 'A, bisa naklukin si Runa."
Sebenarnya Liam juga sudah terbiasa mendengar Deni memanggil tanpa embel-embel kakak, padahal usia mereka terpaut hampir lima tahun. Runa juga sepertinya tampak tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut. Yang penting jangan beneran kurang ajar.
"Dia manja nggak, 'A, kalau lagi sakit?"
"Gimana, ya? Orang sakit kan pasti begitu semua."
Deni menghela napas pendek. "Tolong jagain kakak gue ya, 'A. Sejujurnya, gue nggak seneng ngeliat dia terlalu mandiri, apa-apa maunya sendiri. Mama yang ngelahirin dia aja kadang nggak ngerti gimana jalan pikirannya dia, gimana gue yang dimusuhin mulu di rumah? Soalnya, entah kenapa," Deni agak meragu untuk mengatakan hal selanjutnya.
"Apa, Den?"
"Dia keliatan makin jauh, apalagi semenjak tinggal di apartemen."
***