empat puluh empat

377 34 18
                                    

Liam tidak bisa berpura-pura tidak tahu mengenai alasan puncak kemarahan yang dikeluarkan oleh sang istri. Kendati dirinya tidak tahu secara mendetail, setidaknya dia dapat menyimpulkan satu hal.

Rasa percaya yang wanita itu pupuskan untuk kaum pria berasal dari ayahnya sendiri.

Pria itu meraih telapak tangan Runa, menggenggamnya begitu erat. "Bukan nggak bisa, tapi lo yang nggak mau. Lo terlalu keras nutup hati buat orang lain, termasuk gue."

Runa memilih untuk terdiam, bahkan dirinya berusaha untuk menghindari tatapan Liam yang seakan tengah menelanjanginya.

"Gue nggak minta lo percaya sama gue secepat itu. Gue tau lo butuh waktu dan banyak bukti. I'll do it," tambahnya lagi. "Untuk sekarang, yang gue mau, kalau ada apa-apa, lean on me, Na. Gue nggak mau ngeliat lo mendem rasa sakit sendiri dan akhirnya ngebom amarah kayak kemarin."

"Bukan apa-apa, gue cuma capek aja ..." cicit Runa yang masih saja menyangkal sembari menarik tangannya yang digenggam oleh Liam.

"Capek bohongin diri sendiri?" balas pria itu bak tamparan keras bagi Runa. "Na, jujur gue lebih takut liat lo yang selalu pasang muka sok kuat. Gue juga nggak bisa pura-pura nggak tau soal alesan kenapa lo bisa tantrum kayak kemarin. Lo takut dikasihanin sama orang lain? Sama gue?" Liam terdiam sejenak, berusaha membuat Runa menjawa pertanyaannya. Namun nihil, wanita itu masih memilih untuk terdiam dan tidak menatap balik ke arahnya. "Dibanding rasa kasihan, gue malah ngerasa bersalah. Lo tau kenapa? Karena di saat lo lagi di titik terendah, gue malah nggak ada di samping lo. Artinya, gue ini nggak berguna jadi suami lo."

Liam baru paham. Mungkin selama ini Runa melampiaskan amarahnya dengan cara merokok. Liam akui bahwa merokok memang menjadi salah satu cara untuk melepas stres yang melanda. Namun, tentunya dia juga paham bila menghabiskan batang rokok secara berlebihan pun tidak baik untuk kesehatan; alias dapat mempercepat kematian.

Dan selama ini, bahkan dirinya sering memergoki istrinya itu menghabiskan berbatang-batang rokok. Tapi kenapa baru sekarang dirinya sadar bila dibalik asbak yang penuh dengan abu itu tersimpan kisah yang amat pelik?

"I am full. Makanannya enak. Thank you," ucap Runa yang kemudian beranjak dari bangku, langsung memutar daksa menuju kitchen sink untuk mencuci piring.

Liam hanya bisa menghela napas. Dia tahu bahwa tadi Runa bukan sedang mengapresiasi masakan buatannya, namun wanita itu sedang berusaha menutup telinga dan kabur dari masalah.

***

"Mau sampai kapan ngeliatin gue terus? Mata lo udah mau copot tuh," sindir Runa yang merasa tidak nyaman saat mendapati sang suami tengah menatapnya begitu intens. Tadinya, Runa pikir dia hanya kegeeran saja, tapi saat menoleh ke arah pria itu, Liam bahkan tak sedikit pun goyah atau sekadar memalingkan pandangannya.

"Suka-suka gue, lah, ini mata gue kok, fungsinya 'kan untuk melihat," balas Liam dengan nada seperti abege puber.

"Y-ya liatnya ke arah lain, kek! Kayak nggak ada objek lain aja," cicit wanita itu tanpa mau menatap balik ke arah suaminya, membuat Liam mengulas senyum tipis.

"Na. Main layangan yuk?"

Runa langsung mendelik. Dia tidak bisa menebak isi pikiran Liam. "Malem-malem begini lo mau main layangan, 'A? Sehat lo?"

"Ya nggak malem ini juga. Akhir-akhir ini 'kan cuaca lagi bagus, banyak angin juga. Seru tuh kayaknya kalau main layangan, sekalian gue mau ngitemin kulit."

Mendengar hal itu membuat Runa kesal. Bukan, bukan perihal bermain layangan.

"Orang mah kepengen kulit putih, lo malah pengen ngitemin kulit. Susah tau ngilangin belang di kulit!"

Warna kulit yang dimiliki oleh Liam itu memang banyak membuat wanita insecure, termasuk Runa sendiri. Apalagi di Indonesia notabene warna kulit putih bersih merupakan dambaan para wanita.

"Ya nggak ngitemin juga, biar keliatan coklat-coklat seksi dikit gitulah."

"Dih, mau tebar pesona sama siapa lo?"

"Siapa lagi lah kalau bukan bini gue sendiri?"

Runa terdiam sejenak, lalu memeragakan gerakan mual setelah mendengar kejayusan dari pria tersebut.

"Situ hamil yaaa? Kok mual-mual?" goda Liam.

"Ngaco banget mulut lo, 'A!" balas wanita tersebut sambil mencubit perut Liam, yang jelas saja pria itu langsung mengaduh. Sejak kapan Runa pernah berlembut-lembut dengannya jika itu perihal cubit-mencubit?

"Sakit tau dicubit," keluh Liam sembari mengelus-ekus perutnya; bekas tempat perkara kekerasan yang dilakukan oleh istrinya tersebut. "Sini lo gue cubit balik. Mau nggak?" ancam pria itu.

Sebelum Runa bisa menghindar, Liam berusaha meraih pinggang wanita tersebut; menahannya agar tidak kabur dari daerah kasur. Seketika Runa langsung memberontak dan berteriak geli, sebab yang dilakukan Liam justru menggelitik daerah pinggang istrinya itu.

"AMPUN! AMPUN! AHAHAHAHAHAH! AWAS, IHH! AAAARGH!"

Siapa bilang Liam hanya menggelitik saja?

"Kok lo nyubit beneran sih, 'A?!" protes wanita itu setelah mendapat cubitan yang lumayan menyakitkan di perutnya. Tapi, sebenarnya tidak dimenyakitkan saat Runa melakukannya di perut Liam.

"Biar impas," balas Liam dengan nada ngos-ngosan, karena menahan tubuh Runa yang sedang memberontak itu sangat menguras energi.

"Gue aduin ke Bunda! Awas aja lo!"

"Eh, lo lupa ya? Lo bahkan pernah nendang rumahnya calon anak-anak kita. Pura-pura lupa ingatan lo?"

Runa terdiam sejenak, berusaha memproses maksud dari ucapan Liam. Pria itu pun berdecak, lantas langsung menunjuk ke arah selatan tubuhnya sebagai jawaban yang pasti sangat dipahami oleh istrinya tersebut.

"Ngerti sekarang? Ngerti dong, masa nggak ngerti?"

"....."

"Diem lo, hah?"

"Ih, lo mah dendaman, 'A," cicit pelan wanita itu.

***

Hi, guys. Sehat?

Maaf ya absen berbulan-bulan. Selain nggak ada ide, aku minim waktu. Have no weekends juga. Kerja dari pagi, pulang malem terus, langsung tepar. Begitulah nasib barudak.

Btw, whelve ada versi chat-nya, ya! Ada di twitter-ku, linknya udah kutaruh di bio. Yang mau baca mangga atuh.

whelve [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang