tiga

589 65 6
                                    

Langkahnya terhenti; kali ini otaknya mulai memimpin untuk berpikiran secara logis. Semakin banyaknya laju langkah yang ia buat untuk mencapai pintu rumah, itu berarti dirinya sudah menyetujui omong kosong si pria itu; yang bahkan hal tersebut sama sekali tidak menguntungkan dirinya.

Yah, walaupun dirinya akan mendapatkan aliran pahala bila memang berniat untuk membantu pria itu.

Tapi, baginya, tak ada keuntungan secara duniawi.

Memang terkesan jahat, akan tetapi dirinya juga tak mau diseret dalam permasalahan klise tersebut. Lebih baik; jujur dan mundur di awal.

"Ada apa lagi?"

Pria itu menyadari bahwa Runa tak lagi membuntuti langkahnya. Padahal, jelas-jelas pemilik rumah ini adalah calon mertuanya, tetapi, dirinyalah yang justru memimpin langkah untuk masuk ke dalam rumah tersebut.

"Pacar lo, pacar lo!" kata Runa sembari menarik lengan pria itu agar kembali menjauh dari pintu rumah.

"Kenapa sama pacar saya?" Dirinya risih, tapi, manut saja saat wanita tersebut menarik langkahnya menuju tempat awal keduanya berdebat tadi.

"Katanya lo punya pacar. Gunain pacar lo sekarang!"

Dahinya mengerut kesal. Sumpah. Kenapa saat ini mulut Runa terasa begitu menyebalkan?

Gunain?

Memangnya pacarnya itu benda mati yang bisa dipergunakan sana-sini?!

"Kamu kalau ngomong bisa lebih alusan dikit, nggak?"

Walau pria itu menyampaikan kalimat tanya tanpa mengeluarkan angkara, namun vokal dalam miliknya cukup membuat Runa paham bila Liam sedang kesal.

"Lo pikir itu penting sekarang? Nggak!"

Tanya sendiri, jawab sendiri. Bahkan Liam sudah dapat meramal bila wanita itu tak akan gentar sedikit pun dengan gertakan halusnya.

"Gue nggak mau ikut campur drama keluarga lo. Stop sampai di sini. Lo udah punya pacar, kenapa jadi gue yang harus gantiin posisi pacar lo, hah?"

Kalau saja mencium bisa menjadi opsi pertama, Liam akan melakukannya untuk mengunci bibir wanita ini, sebab sepertinya tak akan mempan bila mulut cerewet Runa hanya disumpal menggunakan telapak tangannya saja.

Liam pun mendengus. Sebenarnya, apa yang dikatakan wanita itu sepenuhnya benar.

"Kalau bunda saya kasih restu ke pacar saya, saya dan kamu nggak akan ketemuan kemarin malam. Paham?"

Wanita itu hendak kembali menyela, namun apa daya tenggorokannya justru tercekat sendiri.

"Jadi, saya minta tolong, untuk kali ini aja. Cuma ketemu sama Bunda, selebihnya, nanti saya yang urus biar semuanya batal."

"Kenapa percintaan lo ikut-ikutan ngedrama juga, sih?"

Kelopak matanya menyipit dengan kerutan kesal. "Emangnya saya mau? Kan enggak!"

"Haaah!" Runa menggeram, mengacak surainya yang bahkan belum ia sisir setelah semalam berkeramas. "Ribet deh lo ah!"

"Saya tau kamu pasti mau bantu saya," ucapnya penuh akan rasa percaya diri.

"Atas dasar apa lo punya pikiran kayak gitu?!"

Padahal, Runa sudah berusaha untuk memperlihatkan bagaimana sikap dirinya dalam keseharian, tak perlulah menjaga image; di hadapan seseorang yang bahkan semalam sudah dapat dirinya yakini tak akan lagi kembali berjumpa.

Nyatanya, takdir yang menghampirinya begitu sialan.

"Intuisi saya selalu kuat. Jadi, ayo masuk ke rumah."

whelve [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang