"Ngomongin masalah tentang anak," sambung Runa saat beberapa detik yang lalu hanya terdapat keheningan di antara keduanya, "lo sendiri gimana, 'A?"
Liam sempat terdiam. Memangnya siapa yang tidak ingin memiliki anak? Mungkin Runa perlu dikecualikan, walau dia sendiri tidak tahu akar penyebab wanita itu tidak ingin memiliki anak. Memangnya, alasan 'tidak sanggup menjadi seorang ibu' bisa digunakan saat wanita itu bahkan belum pernah mengandung dan memiliki anak?
Atau ternyata ...
"Your body is yours, not mine. Yang ngandung elo, yang ngelahirin elo, yang ngerasain sakit elo, berarti keputusan di elo juga. As long as I know what the reason is, bakalan gue coba hargai keputusan yang lo mau."
Saat mendengar bagaimana jawaban yang diberikan oleh Liam, Runa merasa bahwa keputusannya untuk memilih pria itu sebagai suami adalah keputusan yang sangat tepat. Padahal, kala itu dirinya merasa fifty-fifty, alias setengah pasrah dan setengahnya berharap Liam membatalkan perjodohan mereka. Nyatanya, sekarang dia beruntung saat Liam memutuskan untuk meminangnya untuk menjadi seorang istri.
"Gila," Runa menutup mulut dengan telapak tangannya, "Pasti mantan lo nyesel karena nggak mau lo kawinin."
Liam berdecak lalu mendorong pipi wanita itu. "Mulutmu, Na."
"Serius gue, 'A! Gue bingung, deh, kenapa dia nggak mau nikah sama lo, ya? Padahal lo husband material banget. Apa ternyata lo nggak pernah nunjukin hal-hal kayak gini ke mantan lo, 'A?"
Mendengar bagaimana secara gamblang Runa menyebutnya sebagai husband material, agaknya Liam tersipu. Namun, hal itu dirinya tutupi dengan menggaruk daun telinganya; hal yang sebenarnya Liam sendiri juga tidak sadar saat melakukannya jika dirinya sedang merasa malu.
"Namanya juga lagi di quarter life, lagi menggebu-gebunya buat ngejar passion and money. Soalnya dulu gue juga gitu."
Ya itulah mengapa Liam masih belum berstatus menikah saat usianya sudah hampir pertengahan kepala empat.
Gue masih tiga-empat, anying! keluh Liam.
"Ngomong-ngomong soal mantan, pasti lo juga punya, kan?" Liam bertanya balik, Runa pun langsung mengangguk tanpa ragu. "Lo ngundang mantan ke nikahan kita nggak, sih?"
"Ngapain?" tanya Runa sewot.
"Ya siapa tauuu ternyata lo ngundang."
Runa pun berdecak. "Gue sih nggak kayak elo ya, 'A, yang masih bisa peduli sama mantan."
Sebenarnya, kalimat tersebut benar-benar spontan keluar dari mulutnya. Habis, dia kesal sih tiba-tiba Liam menanyakan tentang mantannya; walaupun juga sebenarnya yang paling duluan membahas mantan ya Runa sendiri.
"Eh, sumpah," Runa sempat panik dengan spontanitas mulutnya tersebut, hingga dirinya meraih lengan Liam dengan kedua tangannya. "Gue nggak bermaksud, i'm not annoyed that you still care about your ex, cuma, ih lo paham nggak sih maksud gue?"
"Apaan?"
Sebenarnya, nada menyahut Liam biasa saja, tapi menurut Runa itu terdengar jutek banget.
Wanita itu pun berdecak. "Intinya, gue nggak ngundang mantan, karena gue nggak bisa balikan jadi temen sama mantan."
"Ya masa mantan mau dimusuhin selamanya?"
Runa pun memutar bola matanya. "Ya nggak selamanya juga, tapi kan bukan berarti bisa jadi list undangan pernikahan. Kan nggak penting. Lo sendiri, kenapa nggak ngundang mantan lo, 'A?"
Padahal, Runa sendiri nggak tahu berapa jumlah mantannya Liam. Tapi, pertanyaannya barusan memang hanya menjurus pada satu mantannya Liam. Siapa lagi kalau bukan Lisa? Kan memang cuma perempuan itu yang Runa kenal.