Nggak ada yang tahu Runa di mana. Disambangi ke apartemennya pun, wanita itu sama sekali tak membukakan pintu kendati Liam sudah menunggunya lebih dari satu jam. Keluarganya saja bahkan tak tahu sandi pintu apartemen Runa, sehingga dirinya juga tak bisa memaksa menerobos masuk untuk menemui wanita tersebut. Pesan singkat hanya bercentang satu, ditelepon pun juga nggak nyambung sama sekali; seperti sengaja diblokir atau memang tidak aktif. Media sosial Runa pun tak dapat diandalkan, sebab wanita itu memang jarang membuat status kesehariannya.
Yah, berkat Runa, dirinya perang hebat bersama sang kekasih. Liam sendiri turut pusing sebab Lisa yang kesulitan untuk mengontrol emosi, sedangkan si pelaku justru menghilang begitu saja tanpa jejak.
Sejujurnya, Liam juga merasa bersalah, sih. Harusnya, hal-hal seperti ini sudah diberitahukan pada sang kekasih. Tapi, kalau cara memberitahunya macam Runa yang bar-bar seperti kemarin, habislah dirinya. Sudah begitu, Lisa mudah ngambek; dan dirinya mengakui inilah kesulitannya berpacaran dengan rentang usia yang cukup jauh. Dirinya harus lebih banyak mengalah dan; tentu saja bersabar.
Namun, sebenarnya, bukan itu tujuan Liam yang saat ini yang masih saja mencari keberadaan Runa. Urusannya dengan Lisa tentu saja belum selesai. Apalagi, sang kekasih terus saja mendiaminya. Bukan hal yang bagus bila Liam mencoba untuk melunakkan hati Lisa. Lebih baik, gadis itu menenangkan pikirannya terlebih dahulu, baru kemudian diajak berbicara kembali.
Liam bingung harus mencari Runa ke mana lagi. Mau menunggu di sini pun rasanya percuma, sebab mungkin saja Runa sedang melakukan pekerjaannya yang kebanyakan berada di luar negeri. Hanya itu saja yang dirinya tahu.
Pada akhirnya, Liam memilih untuk menyerah; mengantongi kabar untuk sang bunda bila calon menantunya tersebut tak dapat hadir di acara keluarganya. Ya bilang saja sedang sibuk bekerja, pasti akan dimaklumi.
Berbagai alasan lain juga tengah disiapkan dalam kepala Liam bila dirinya akan ditanya-tanya perihal Runa. Apa... nanti dirinya membawa Lisa saja, ya? Tetapi, mereka berdua kan sedang tidak saling kontak saat ini; alias Lisa yang berkata untuk tidak menghubunginya lebih dahulu. Jadi, rasanya percuma bila mengajak pacarnya tersebut. Padahal, itu merupakan salah satu kesempatan yang bagus untuk mengakhiri perjodohan ini.
Saat kedua tungkainya belum mencapai depan lift, seseorang baru saja keluar dan berjalan di lorong menuju ke arahnya. Dengan mata yang sejak lahir sudah sipit, Liam pun mengenali sosok tersebut.
"Runa."
Wanita itu mendongak, menghentikan langkah lelahnya sejenak hanya untuk melihat siapa yang baru saja memanggilnya. Begitu tahu rupa si pemanggil, wajahnya langsung saja berubah datar.
"Ngapain lo ke sini?"
Ah, bahkan tanpa perlu repot menunggu jawaban sang pria, Runa langsung saja melengos; kembali berjalan menuju unit apartemennya. Tak memedulikan alasan Liam yang mendatanginya.
Si pria tentu saja mengejar pelan. "Lo baru balik kerja? Kenapa nggak ngasih kabar?"
"Emang lo siapanya gue?" balas Runa dengan nada sarkas, tanpa sedikit pun menoleh kendati keduanya sudah berjalan sejajar. "Pamit ke orang tua aja nggak pernah, ngapain juga bilang-bilang ke elo."
Ah, benar juga. Mereka berdua kan tidak memiliki status apa-apa, bahkan yang satunya masih punya hubungan dengan kekasihnya pula. Jadi, mau bagaimana pun, Runa tak memiliki kewajiban untuk memberitahu jadwal kesehariannya pada Liam.
"Malam ini lo harus ikut 'Aa. Oma nyuruh 'Aa buat ngundang elo."
"Ngundang atas dasar apa?"
"Ulang taun."
Runa berdecak, pula saat itu dirinya berhenti melangkah sebab sudah mencapai pintu unit apartemennya. "Kenapa ngundang gue? Ajaklah pacar lo itu. Sekalian kesempatan buat ngenalin juga, kan? Kenapa jadinya gue?"
Sang wanita menekan digit kode pintu apartemen. Setelah berhasil, dirinya masuk tanpa menghiraukan Liam yang membuntutinya.
"Oh, atau jangan-jangan, usaha gue kemarin nggak berhasil?" Runa terus saja berceloteh sebab sejak tadi si pria tidak menyahut. "Eh? Siapa yang ngizinin 'Aa masuk? Gue nggak terima tamu. Itu pintu masih kebuka. Tolong tutup dari arah luar."
Sang pria masih saja bergeming. Permintaan itu jelas sekali merupakan sebuah usiran yang cukup sopan. Padahal, bila dalam kondisi saat ini yang seharusnya marah adalah Liam; sebab sudah membuat dirinya dan sang pacar jadi perang dingin.
Cuma, ya, kalau mau dilihat-lihat lagi, keduanya sama-sama salah, sih. Hanya saja, karena Runa tampak kelelahan, sepertinya wanita itu jadi lebih sensitif.
"Masih nggak mau keluar juga?" Runa berdecak, mendapati Liam yang masih saja berdiri dekat ambang pintu. "Tutup pintunya. Kayak anak ilang aja sih lo, 'A."
Liam sempat bingung. Sebenarnya, Runa ini sedang marah atau tidak, sih? Namun, pada akhirnya, dia menurut untuk menutup pintu; dari arah dalam; yang artinya kali ini dirinya tak lagi diusir oleh sang pemilik hunian.
"Hape lo nggak aktif apa gimana, dah?" Liam membuntuti Runa yang berjalan menuju kulkas, mengambil air mineral dingin dan langsung meneguknya dari botol--tanpa menawarkan pada sang tamu.
Sudah dijelaskan, dirinya sedang tak menerima tamu, kan? Jadi, dia tak ingin menjamu apalagi berbaik hati pada orang-orang yang datang ke huniannya.
"Gue matiin. Banyak gangguan. Acaranya jam berapa? Gue harus banget ikut?"
"Oma sama Bunda yang minta. Kayaknya gue nggak bakal nyamperin lo ke sini kalau nggak urgent banget, kan?"
Yap, oma dan bundanyalah yang nemaksa dirinya untuk mengajak Runa, sekaligus memperkenalkan wanita tersebut ke saudara lainnya.
"Faedahnya ulang taun apaan sih emangnya?" Runa pun berdecih. "Kenapa harus dirayain kalau kenyataannya usia justru semakin berkurang?"
Liam memilih untuk tak menjawab. Sebetulnya, dia tak begitu paham, sebab mendapat dua cabang pengertian dari pertanyaan wanita tersebut, yaitu; Runa yang menganggap remeh acara keluarganya, atau dirinya yang memang tak menyukai perayaan ulang tahun; siapapun.
"Emang ulang taun lo kapan?"
Bukannya bertanya alasan, dirinya malah bertanya hari lahir wanita tersebut.
Runa pun mengedikkan bahu. "Nggak inget."
"Ya kali nggak inget?"
"Ya mana gue inget? Kan gue baru lahir waktu itu. Pas lahir yang gue liat muka dokternya, bukan ngeliat kalender."
Awalnya, Liam tak mengerti apa yang dimaksud oleh wanita tersebut. Baru setelah beberapa menit kemudian, dirinya paham; bila Runa baru saja melempar sarkas padanya.
"Tapi lo bisa ikut, kan?"
"Imbalannya apa?" Liam menukikkan alisnya. "Gini-gini saya sibuk ya, Bapak Liam yang terhormat. Untuk ikut acara-acara kayak gitu termasuk wasting my time lho, apalagi harus akting di depan kerabat-kerabat situ, kan? Seharusnya, makin besarlah imbalannya."
"Dih? Gue nggak pernah tuh minta imbalan kalau pergi-pergi ke acara keluarga lo?"
"Emang gue pernah minta? Kan situ sendiri yang ujug-ujug dateng ke rumah gue," Runa terkekeh penuh ejekan. "Pokoknya nggak gratis ya, Pak. Waktu saya sangat berharga, nih, cuma buat Bapak doang."
Memang, ya, berurusan dengan wanita jenis Runa tidaklah mudah.
😈😈😈