Ini hari minggu dan terlalu pagi baginya yang sudah melakukan ritual mandi setelah adzan berkumandang. Ya walaupun biasanya Runa bangun untuk melaksanakan solat subuh, setelahnya dia akan kembali melelapkan diri karena terbebas dari hari kerja.
Mandi? Di hari libur seperti ini?
Hah. Dia bahkan lebih senang menunda mandi hingga sore hari.
Tapi, yah, tahu sendiri kan kenapa Runa melakukan ritual pembersihan diri saat suhu udara masih dingin-dinginnya?
Apalagi, Runa nggak bisa tidur kembali karena kepalanya mendadak segar setelah keramas tadi. Jadi, dia memutuskan untuk keluar rumah.
"Mau ke mana?" tanya Liam saat melihat Runa yang langsung melengos dari arah anak tangga. Dia nggak sadar kalau Liam lagi duduk di daerah pantri. Runa pikir pria itu lagi di luar rumah, soalnya setelah solat subuh, Liam langsung turun ke bawah.
"Apotek," balasnya singkat, membuat dahi Liam mencipta kernyitan.
"Lo sakit?" tanya pria itu spontan, namun beberapa detik kemudian dia baru memahami; tepatnya hanya menyimpulkan sendiri. "Sakit banget?"
"Apanya?" Runa malah bertanya balik dengan nada heran. Namun, melihat Liam yang sempat melirik ke arah kakinya, Runa pun menggeleng canggung. "Oh, not that one. Gue cuma mau beli morning pill."
Ya sebenarnya memang rada sakit juga, sih, tentu saja, kan? Yang semalam kan memang baru pertama kali untuknya. Wajar saja dirinya merasa sakit. Tapi, memangnya, ada obat yang menurunkan rasa sakit itu setelah melakukan hubungan seksual ya?
Kalau pun ada, Runa terlalu malu untuk sekadar membelinya. Takut dikatain newbie. Masa gituan doang sakit, sih?
"Oh," balasnya juga dengan nada canggung. "Gue inget semalem ngeluarin di luar. Perlu banget minum morning pill?"
Harus banget ya dibahas? batin Runa.
"Mencegah lebih baik daripada menyesal, kan?"
Tercipta keheningan saat mereka tak memutuskan tatapan satu sama lain. Maksud Runa, wanita itu akan merasa menyesal bila dirinya mengandung, begitu?
Entah kenapa, Liam merasa kesal saat mendengarnya. Namun, dia tidak boleh marah; tepatnya tidak boleh menghakimi sesuatu yang mungkin saja menjadi landasan mengapa Runa bisa mengatakan hal seperti itu.
"Gue aja yang beli, gue juga mau sekalian keluar. Nggak ada yang mau dibeli lagi selain morning pill?"
Liam beranjak dari bangku dan mengambil kunci mobil yang selalu ditaruh di meja ruang santai.
"Gue bisa sendiri kok."
"Mau titip yang lain, nggak?" tanyanya lagi; yang artinya Liam tidak membiarkan Runa keluar dari rumah.
Dia tahu, kok; dia pernah membaca artikel kalau hubungan seksual pertama bagi wanita itu cukup menyakitkan. Makanya, kan, tadi dia bertanya seperti itu--walau Runa sendiri tidak mengatakannya secara gamblang. Makanya, daripada kesulitan berjalan dan membuat Liam merasa bersalah, lebih baik dia yang keluar.
"Nasi uduk."
"Hah? Oh."
Kirain, Runa mau dibelikan apaaaa gitu ya, nggak tahunya minta dibeliin sarapan.
"Bubur aja gimana? Nggak bosen makan nasi uduk mulu?" tawar Liam.
"Nggak kenyang ih bubur mah."
"Ya udah, gue beli dua-duanya."
"Mubazir heh nanti!" omel wanita itu.
"Perut lo kan gentong, Na."
"NGEMENG APA LO BARUSAN?!"
***
"Heh? HEH?! NGAPAIN SIA?!"
Dengan santainya, Liam hanya menoleh sejenak dan tetap meneruskan untuk melepas pakaian atasnya. Runa sendiri sudah was-was sembari meremat guling yang bisa dirinya gunakan untuk memukul Liam kalau pria itu berani melakukan hal yang tidak-tidak.
Lagian, sudah di-unboxing juga, kan? Kenapa harus takut sih, Na?
"Lagi ngejahit," balas Liam dengan dengusan. "Ya lo ngeliat gue lagi ngapain, Na? Kayang?"
Dalam keadaan bagian atas tubuhnya yang telanjang, Liam sedikit menyibakkan selimut untuk masuk ke dalamnya. Namun, Runa justru beraksi berlebihan dengan sedikit memundurkan tubuhnya.
"A-anu gue masih sakit!"
"Hah? Apanya yang sakit?" ini Liam serius bertanya, eh malah Runa sendiri yang malu. Seketika, Liam baru paham, kemudian pria itu malah tertawa. "It's okay. Kita gelut lagi pas lo udah enakan aja."
Padahal, tujuan Liam buka baju tuh bukan karena dia lagi kepengin--ya tapi kalau misalkan Runa lagi mau sih ya nggak papa lah! Masa nolak, sih?
"Sejujurnya, dari dulu gue lebih seneng kalau tidur nggak pake baju, cuma mau kasih tau aja, sih," lanjutnya setelah masuk ke dalam selimut.
Iya, itu alasannya membuka baju, bukan mau mengajak Runa untuk ninaninu.
"Ah! Elah! Bikin kaget aja lo, A'!"
Guling yang dia pegang pun tetap ditabok ke arah Liam--ke arah perutnya. Nggak sakit, kok, cuma bikin kaget aja.
"Kenapa? Kecewa?" tanya Liam dengan nada mengejek. "Ayo aja gue mah. Tuh kondom udah gue beli. Tinggal prakteknya doang."
Telinga Runa terasa panas. Padahal, setelah bangun pagi tadi, mereka masih merasakan tensi yang canggung; berusaha untuk tidak membahas hal yang telah mereka lakukan semalam.
Eh, menjelang tidur, macan tutulnya malah keluar begitu. Runa jadi atut.
Dan, iya, tadi pagi dia keluar menuju apotek memang bertujuan untuk membeli morning pill sekalian sarapan mereka. Namun, selain itu, dia juga membeli stok kondom untuk dirinya. Ya walaupun kayaknya bakalan lebih enak tanpa menggunakan alat pelindung itu. Nggak tahu juga, sih, belum dicoba soalnya.
Wanita itu memilih untuk merebahkan diri. "Lagian, kenapa baru sekarang? Kemarin-kemarin juga tidur masih pake baju?"
"Ya kemarin-kemarin takutnya lo risi," jawabnya santai.
"Terus menurut Aa' sekarang gue nggak risi, gitu?"
"Nggak, kan?" Lah, nih orang malah nanya balik. "Kan lo udah liat gue dari atas sampe bawah."
"Ish!" Runa memukul lengan Liam. "Apaan sih lo omongannya dari tadi?!"
"By the way, lo minum morning pill dan minta gue pake pengaman, berarti lo mau nunda punya anak?"
"Duuuh!" Runa mendesah sebal. "Lo jangan kayak emak gue, deh, 'A."
Liam malah menukikkan alisnya. "Lah, kan gue cuma nanya, bukan nuntut. Sewot amat mbaknya."
"Kalau gue nggak mau punya anak, gimana?"
Duh? Apalagi ini?
Waktu mereka pertama bertemu saja, Runa mengatakan tidak ingin menikah; walaupun ujung-ujungnya mereka berdua sudah terikat sah secara negara dan agama. Dan sekarang, malah bilang tidak ingin punya anak?
"Kayaknya gue liat-liat lo sayang banget tuh sama si Juli?"
Liam tidak mau menuduh sembarangan. Sedikit-banyak, pria itu tahu bahwa Runa memiliki luka tak kasat mata yang diciptakan oleh keluarganya sendiri. Maka dari itulah Liam berusaha untuk menempatkan diri sebagai sosok yang tidak judgemental.
"Nggak pengen punya anak bukan berarti benci sama anak-anak kali," balasnya santai. Ya ada benarnya juga, sih.
"Childfree?" celetuk Liam.
Terdengar dengusan pelan dari Runa. "Jadi mama, ibu, bunda, atau sebutan lainnya itu berat. Gue nggak sanggup."
***