Dalam diam, Liam menyuapi sang istri dengan pandangannya yang kosong; seakan jiwanya melayang dari raganya. Sejak mengetahui Runa sudah siuman, Liam hanya berucap singkat dan tersenyum tipis; senyum yang jelas-jelas menyimpan luka di setiap sudutnya.
"Kamu nggak makan, 'A?" Runa berusaha membuka obrolan, sebab sepertinya pria itu memang tak berniat untuk melakukan konversasi yang panjang padanya.
"Aku nggak laper," jawab Liam seadanya.
"Semalem udah makan?"
Pria itu menggeleng pelan sebagai jawaban, mengabaikan rasa perih yang mulai menggerogoti lambungnya. Liam bahkan baru teringat jika semalam dirinya menaruh makanan yang dipesan oleh sang istri di meja pantri. Mungkin saat ini makanan tersebut sudah basi.
Hatinya teriris saat melihat bagaimana respons pria yang selama ini tak pernah tampak lemah di hadapannya itu. Liam bahkan masih mengenakan pakaian kerjanya; kendati saat ini dirinya benar-benar kelihatan lusuh seakan sudah tak terurus berhari-hari.
"Pulang dulu gih, 'A," suruh Runa. "Mandi, makan, sama istirahat sebentar. Semalem kamu nggak tidur, 'kan?"
Semalam, Runa harus berpura-pura tidur setelah Liam menyelesaikan luapan yang menyesakkan dadanya. Dia tidak ingin Liam mengetahui bahwa dirinya mendengar tangisan pria itu, dan dia juga tidak mau melihat bagaimana wajah yang mampu membuat rasa bersalahnya semakin memuncak.
"Ya udah, aku pulang dulu ya sebentar," ucapnya sembari beranjak, lalu mendekatkan diri untuk mengecup kening sang istri.
Runa terus saja memandangi daksa yang terpaksa untuk terus tampak kokoh—yang pada akhirnya menghilang setelah pintu ruangan tertutup.
Kelopak matanya tak lagi mampu menampung air mata; yang kini justru mengalir deras dan menjejakkan basah pada pipinya. Rasa bersalah menggelayuti wanita itu; menyalahkan diri sendiri akibat keteledorannya yang terus-terusan beraktivitas fisik berat; di saat dirinya bahkan juga tidak tahu bahwa terdapat denyut kecil yang tengah bertumbuh dalam kandungannya.
Kalau saja semalam dirinya mendengarkan ucapan sang suami, pasti hal ini tak akan terjadi, 'kan?
Rasanya, Runa seperti telah membunuh buah hatinya sendiri.
***
Runa dan Liam sepakat untuk tidak mengatakan hal ini pada siapa pun; termasuk pada keluarganya. Rasa simpati yang diberikan mungkin akan semakin memperluas luka yang masih basah, sehingga kedua orang itu memilih untuk menyimpan rapat peristiwa ini.
Di sisi lain, Liam menyuruhnya untuk mengambil cuti panjang, atau kalau bisa bahkan resign. Anehnya, tanpa melakukan perdebatan yang biasa wanita itu lakukan, Runa mematuhi perintah sang suami dan sesegera mungkin mengajukan surat pengunduran diri.
Namun, rasanya seperti ada yang berubah. Liam tampak lebih pendiam. Kendati garis senyumnya masih sering terukir, pria itu tak lagi mengajak sang istri untuk melakukan 'keributan' atau candaan seperti biasanya.
Sehari-hari setelah berhenti bekerja, melamun menjadi aktivitas yang mendominasi dalam waktu dua puluh empat jam. Rasanya, mengerjakan aktivitas rumah saja tidak cukup. Otaknya selalu teralih dan kembali mengingat masa di mana dirinya mendengar bagaimana tangisan kekecewaan sang suami.
Liam memang tak pernah mengatakan 'kecewa' secara langsung padanya. Namun, perlakuan pria itu akhir-akhir ini sudah cukup menjadi bukti bahwa sang suami memang masih menyimpan rasa kecewa.
Suasana seperti ini membuat lehernya bak terjerat tali yang erat, dan Runa sangat membenci perasaan semacam itu. Oleh sebabnya, malam ini Runa berusaha untuk berbicara empat mata dengan sang suami.