"Ru, lo nggak mau resign?"
Sang pemilik nama langsung melaserkan sorot matanya ke arah pria berbahu bidang tersebut. Saat ini, mereka lagi di kantor, bukan dinas di luar kota atau luar negeri. Kegiatan di luar negeri pun mulai dibatasi akibat pandemi.
"Maksud lo apaan?"
Kev tahu banget bagaimana respon si wanita dalam menanggapi pertanyaannya yang terdengar cukup konyol itu.
"Lo nggak sekali dua kali vertigo lho, Ru, apalagi posisinya pas kita lagi kerja."
"Lo mau pecat gue apa gimana?"
Kev pun berdecak. "Nggak gitu konsepnya munaroh. Lo kayaknya kudu banyak-banyak makan timun sama semangka, deh. Darah tinggi tau rasa lo, marah-marah mulu kerjaannya," keluh pria itu.
"Ya pertanyaan lo aja nyolot anjing."
Perasaan Runa nggak merasa punya kesalahan apa pun, kecuali sakit mendadak. Kalau sakit kan bukan termasuk hal yang direncanakan.
"Gue kan cuma nanya, lo-nya juga yang gampang kesulut," dengus Kev. "Gue cuma khawatir sama kesehatan lo. Gue sebenernya juga nggak rela kalau lo beneran mau resign, tapi gue bakalan jahat kalau ngebiarin lo di sini terus. Lingkungan kerja ini udah nggak sehat buat lo, Ru."
"Ya udah tau lo nggak rela, kenapa masih nyuruh resign segala?"
"Itu artinya gue peduli sama lo, sama kesehatan lo, jamblang. Ngeyel banget dah dibilangin." Tiada hentinya Kev mendengus. Runa ini memang batu banget kepalanya. "Lagian lo nggak capek apa?"
"Ya capeklah, siapa yang nggak capek kerja, cuy?" Cuma robot yang nggak punya rasa lelah. "Kalau ngepet halal, gue mending lebih milih ngepet dah. Lo yang jadi babinya tapi ya."
"Et babik lo!" Memang kurang ajar partner-nya yang satu ini. "Emangnya, apa sih yang lo cari, wahai independent woman? Gue liat-liat, suami lo kayaknya mumpuni. Ya walaupun tidak setara dengan sultan andara ya."
"Gini ya, wahai rakyat jelata," Runa menghela napas begitu panjang, seakan sudah mempersiapkan jawaban jauh-jauh hari jika dirinya mendapatkan pertanyaan macam itu. "Gue nggak mau bergantung sama laki-laki. Siapa yang tau kalo suatu saat nanti gue sama dia bakalan pisah? Siapa yang mau menjamin kehidupan gue selain gue sendiri? Gue sekarang pontang-panting banting tulang juga buat investasi gue sendiri di masa tua."
Saat mendengar jawaban tersebut, Kev sempat mengernyit. "Kok lo malah doa yang jelek, sih? Lo baru nikah lho, Ru, udah mikir yang jauh dan yang enggak-enggak aja."
Runa pun berdecak. "Itu kemungkinan yang nggak bisa diprediksi, jamaludin. Lagian, suami gue juga nggak ngelarang gue kerja. Kenapa lu yang ngotot pengen gue resign? Jangan bilang lo beneran mau lengserin gue, ya?!"
"Kagak." Lagian, tadi Kev memang cuma iseng nanya aja, eh yang ditanya malah tersinggung. "Kalau mau investasi masa tua mah, mending lu banyak ubah surat-surat penting jadi hak milik, lah, kayak tanah, rumah, dan lain-lain. Biar pas lu cerai, hata gono-gini-nya lu dapet banyak."
"Ih? Bagus juga ide lu, Pak?"
"Hah?" Padahal, Kev cuma bercanda. "Si anjing, lo beneran punya rencana mau cerai?"
"Kan elo yang ngasih gue saran, setan."
"Becanda doang gue munaroooh! Astaghfirullah aladzim. Nyebut lo!"
"Lo kristen, bego. Ngapa jadi lo yang nyebut?"
Kev pun memijat pangkal hidungnya. "Ya gimana, ya? Deket sama lo, gue jadi hapal istighfar."
***
"Punya motor kayaknya seru, ya?"
Dilihat-lihat, mereka hanya punya kendaraan roda empat; itu pun milik masing-masing. Tambah satu kendaraan roda dua kayaknya berguna, deh. Biar kalau mau pergi-pergi ke daerah yang dekat nggak terlalu ribet dan bisa cepat.