"Siapa Adit?"
"Dia ... psikiater aku."
Mendengar hal itu membuat hatinya meringis.
Ternyata selama ini istrinya tengah menderita; dan dirinya tak tahu apa-apa. Perasaan tak berguna sebagai seorang suami kembali menggelayuti pikirannya. Dia ingin bertanya, namun bibirnya terlalu kelu untuk sekadar mengucap.
Kenapa baru sekarang?
Kenapa baru sekarang Runa memberitahu hal ini?
Bagi mereka yang terjerembab dalam kelamnya pusaran kegelapan, tidak mudah untuk membuka titik kelemahan yang mereka miliki; bahkan pada orang terdekat sekali pun.
Perasaan takut saat mendapati tatapan penuh penilaian lebih mendominasi dibanding menutupi sisi kelemahannya tersebut. Belum lagi tidak sedikit orang yang mengatakan bahwa depresi terjadi hanya karena kurang iman.
Padahal apa yang mereka alami jauh lebih kompleks, bukan sekadar jauh dari Tuhan.
Liam menghela napas dengan pelan. Setelahnya, pria itu memajukan wajahnya dan menyatukan dahi mereka berdua sembari memejamkan mata.
"Maafin aku," lirih pria itu dengan nada penuh penyesalan.
Runa yang merasa bingung pun meraih tangan Liam yang bertengger di lehernya. "Kenapa tiba-tiba minta maaf?"
Liam tidak menjawab. Bahkan pria itu juga tidak membuka kelopak matanya. Namun bukan berarti dirinya tidak mendengar. Liam hanya sedang merenungi seberapa dalam luka yang dimiliki oleh sang istri hingga wanita itu membutuhkan pertolongan orang lain.
Tolong digarisbawahi; orang lain.
Bahkan orang lain yang dimaksud bukanlah dirinya.
"Maaf karena aku nggak pernah tau apa-apa tentang kamu."
Kali ini Runa yang terdiam. Pasalnya, isi kepalanya sejak tadi terkontaminasi dengan hal-hal negatif saat melihat bagaimana sang suami terus saja membisu.
Apakah pria itu akan mengatainya gila?
Apakah pria itu akan mengatakan bahwa dirinya jauh dari Tuhan?
Apakah setelah pernyataannya tersebut pria itu justru akan meninggalkannya?
Perumpamaan terakhir benar-benar membuatnya diselimuti ketakutan.
"Apa aku pernah bilang ini ke 'A Liam?" tanya Runa tiba-tiba tanpa sedikit pun menatap ke arah sang suami. Kedua netranya sengaja dialihkan ke arah lain, seakan sedang melamunkan sesuatu.
"Dulu aku takut nikah karena aku pikir semua laki-laki sama aja kayak ayah. Bagiku, nikah itu kayak bunuh diri. Tapi, dibanding takut dengan pernikahan, sekarang aku lebih takut ditinggalin." Runa menghela napas dengan tarikan pelan. "Dan sekarang mama udah pergi ... rasanya kayak kosong, 'A. Mau napas aja rasanya nyeri."
Liam dapat merasakan betapa perihnya luka yang dirasakan oleh sang istri lewat vokalnya yang lirih. Kalau diumpamakan, mungkin hari-hari yang dilewatinya akhir-akhir ini terasa seperti neraka.
"Menurut 'A Liam, lebih sakit yang mana? Diselingkuhin sama pasangan atau ditinggal pergi sama pasangan selama-lamanya?"
Lidah Liam terasa kelu saat mendapat lemparan pertanyaan tersebut. Dia tidak tahu ingin menjawab apa. Namun, menurutnya kedua opsi tersebut sama-sama memiliki potensi yang besar untuk menyakiti hati.
"Kalau aku bisa buat pilihan lain, aku lebih pilih jadi pihak yang pergi, biar aku nggak ngerasain sakitnya ditinggalin," sahut wanita itu kembali sembari mengulas senyum tipis, yang entah kenapa terasa menyakitkan saat melihat raut wajah istrinya tersebut.
Liam langsung merangsek maju untuk mendekap sang istri. Kendati tak ada tangisan yang menggema, pilu masih saja menyelimuti keduanya.
"Aku nggak akan pergi, dan kamu nggak boleh pergi," ucap Liam sembari menaruh penghidu di atas kepala sang istri.
Pria itu memang tidak bisa menjanjikan suatu hal yang sudah bersifat takdir di tangan Tuhan. Namun, jika dirinya memang diberikan pilihan, lebih baik dipisahkan oleh kematian dibanding dipisahkan karena keserakahan nafsu manusia.
Tanpa disadari, keduanya sudah saling bergantung satu sama lain dan memiliki ketakutan akan perpisahan yang bahkan belum tentu akan terjadi.
***
"Dit, kenalin, ini suami gue, Liam. 'A Liam, ini dokter Adit, kebetulan dia kakak kelasku pas SMA, kita berdua dulu satu ekskul fotografi."
"Ah, iya, kenalkan, saya Adit."
"Saya Liam."
Liam dan Adit pun saling berjabat tangan. Pada akhirnya, di sinilah dirinya duduk; di hadapan seseorang yang selama ini menjadi penolong istrinya.
"Gue turut berduka cita ya, Na," ucap Adit berbelasungkawa. "Maaf gue nggak tau dan nggak sempat buat dateng."
Sebelumnya, atas izin Runa, Liam menghubungi Adit mengenai kebutuhan obat tidur istrinya tersebut. Liam juga sempat sedikit menjelaskan bahwa kekambuhan insomnia sang istri dikarenakan kepergian ibunya.
"Nggak papa," jawab Runa sambil menggeleng pelan. "Lagian gue juga nggak ngasih tau lo, jadi wajar aja lo nggak dateng."
Dari nada bicara yang digunakan oleh Adit dan Runa, sepertinya mereka berdua memang cukup dekat.
"Finally, you bring your husband here," ucap Adit sembari tersenyum tipis. Setelahnya, pria itu menoleh ke arah Liam. "Maaf ya, Pak, kalau semisal saya bicaranya kurang formal. Sejujurnya saya seneng karena pada akhirnya Runa mau bawa seseorang ke sini, artinya dia percaya sama Anda."
"Butuh waktu cukup lama bagi Runa buat terbuka sama saya."
"Trust issue-nya Runa ini kayak batu besar, Pak. Sudah keras, sulit pula untuk dihancurkan. Beberapa kali Runa ke sini, dia sering cerita tentang Anda. I think you're such a good husband. Kesabaran Anda saat menghadapi Runa ibarat air yang bisa bisa bikin baru terkikis."
"Sok puitis banget kalimat lo," potong Runa sembari memutar bola matanya.
"Lho, suami lo juga berhak tau dong. Ini namanya progress, Na, karena pada akhirnya lo punya seseorang yang bisa lo percaya, nggak lagi semuanya lo pendam sendiri. Beruntung lo punya suami yang suportif."
Ada rasa kelegaan yang baru saja menyiram dada Liam. Kendati sebelumnya dia merasa tak berguna sebagai seorang suami, namun kenyataannya itu hanya perspektifnya saja.
"Na," Adit kembali mengalihkan tatapannya ke arah Runa. "Ibarat kata, lo ini udah naik satu level. Lo menaruh kepercayaan di suami lo aja udah progress yang bagus banget. Tapi lo tau nggak progress puncak yang paling sulit?"
Adit sengaja menjeda, namun pasangan suami istri tersebut tak ada yang membuka suara.
"Ikhlas, Na. Satu-satunya cara supaya hati lo damai itu ikhlas."
Runa hanya bisa terdiam. Liam yang melihat sang istri melamun pun berupaya mengirimkan kekuatan lewat genggaman tangannya.
"Gimana caranya supaya gue bisa ikhlas? Lo tau itu nggak gampang."
"Hadapin pencetusnya, Na. Selama ini lo selalu menghindar dari ayah lo dan bersikap nggak peduli, tapi di sisi lain lo masih nyimpen amarah."
Selama ini, Runa memang berusaha untuk tidak banyak berbicara dengan ayahnya. Jika dirinya boleh bersikap kurang ajar, Runa sudah berada di dalam tahap tidak respect lagi dengan ayahnya tersebut. Jika sudah seperti itu, bagaimana cara menghadapi ayahnya?
"Mungkin sebenernya lo itu butuh jawaban yang perlu lo denger dari ayah lo. Inget, lo udah nggak sendirian, lo punya suami yang selalu ngedukung lo."
Keheningan lebih mendominasi. Adit tahu itu tidak akan mudah, apalagi untuk seseorang yang memiliki luka sejak lama. Rasa sakit akan jauh lebih menghantam pada lukanya yang bahkan belum mengering.
***