tiga puluh sembilan

360 34 9
                                    

"Bunda sehat, kan?"

Saat ini, pasangan suami istri tersebut mengunjungi rumah orang tua Liam. Sesekali bergantian; minggu pertama rumah orang tua Runa, selanjutnya rumah orang tua si pria. Begitu seterusnya.

"Alhamdulillah Bunda sehat. Kamu kemarin sempet vertigo ya, Nak?"

Wanita itu terdiam sejenak. Pasti ibunya yang kasih tahu, atau mungkin ternyata Liam?

Si pria yang sedang goleran di karpet sembari menonton berita pun dapat merasakan laseran mata yang menusuk punggungnya. Dia tentu saja dapat mendengar pembicaraan dua wanita yang memilih duduk di sofa tersebut.

"Iya, Bun, emang lagi kurang fit aja," balas Runa seadanya.

"Kamu nggak mau berhenti kerja, Nak? Full ngurus rumah tangga? Kamu kayaknya kecapean, overworked, sampai vertigo begitu. Vertigo tuh sakit banget lho, Nak."

Runa mendumel dalam hati. Kenapa topik ini kembali muncul, sih? Bedanya, dia nggak bisa berkutik di hadapan mertuanya. Lah kalau Kev kan masih bisa dia sambit dan kata-katain balik.

Mana Liam cuma diam doang lagi, pengin banget Runa tendang tuh pantatnya dari belakang. Padahal di perjanjian awal, Runa sudah bilang dia akan menerima pernikahan dengan syarat dia bisa bebas untuk bekerja.

Hah. Menyatukan dua kepala dalam satu rumah tangga saja sudah susah, bagaimana dengan menyatukan kepala dari dua keluarga begini?

"Lim," panggil sang ibu. "Kamu nggak takut istrimu kepincut bule atau sebaliknya?"

Liam malah berdecak. "Mana ada yang mau sama boncel kecuali aku."

Dih?! Jadi maksudnya gue nggak laku, gitu?! kekinya dalam hati. Beneran minta ditendang pantatnya itu!

Perlu banget apa dia seret Kev ke sini? Orang macam Kev aja sempat kepincut sama Runa, apalagi bule-bule di luar sana yang kebanyakan sangat tertarik pada wanita dengan warna kulit yang eksotis.

Iya, kasarnya; Runa itu bukan termasuk beauty standard-nya orang-orang Indonesia, tapi dia masuk dalam beauty standard-nya para bule.

"Kamu nih," dumel Bunda. "Kasihan tuh istrimu."

"Dia kalau nggak kerja malah stres, Bun."

Runa tidak tahu kalimat tersebut termasuk pembelaan untuknya atau tidak. Yang jelas, sebenarnya ya dia kalau kerja juga bisa merasakan stres, akan tetapi kalau nggak kerja ya makin stres. Jadi, sama aja. Tapi, mending stres akibat kerja namun masih bisa mendapatkan penghasilan. Ngeluhnya bisa dilampiaskan dengan menghamburkan uang. Win-win solution.

"Ya kan bisa belajar masak, eksperimen di dapur."

Kebetulan, mertuanya memang tahu kalau Runa tidak bisa memasak. Tapi, mereka tidak tahu apa alasan mengapa wanita tersebut tidak ahli dalam urusan dapur. Untungnya, sang mertua bukan termasuk tipe yang saklek bahwa wanita harus bisa memasak.

"Aku bisa kok, Bun, dikit-dikit."

Kalau mengukur keahlian memasak, jelas Liam pemenangnya. Walau dirinya punya trauma di dapur, bukan berarti dirinya benar-benar lepas dari urusan memasak. Intinya sih kalau masakan standar seperti mie instan dan telur mata sapi dia juga bisa. Itu pun goreng telur pakai minyak yang sedikit; ya karena sumber traumanya dari minyak itu sendiri. Kalau memasak yang harus menggunakan minyak banyak, Runa nggak akan mau melakukannya.

"Hidup itu udah serba mudah, Bun. Klik klak klik, makanan juga bakalan sampe di depan rumah."

"Ya kalau beli mulu boros atuh. Selain itu, kalau masak sendiri kan kita tau kalau yang kita masak tuh higienis dan sehat."

whelve [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang