sembilan belas

312 37 3
                                    

"Aaargh!"

Liam memekik kaget saat merasakan pahanya perih dan ngilu. Runa pun ikut tersentak saat seseorang memeluk pinggangnya begitu agresif. Rupanya, Juli; si keponakannya yang menjadi pelaku pemisahan dua manusia tersebut; berusaha melepaskan tantenya dengan cara menggigit paha Liam.

"Om apain Tante Una?!" Gadis cilik itu bertanya penuh amarah, seakan hal yang barusan dilakukan oleh manusia dewasa itu adalah hal yang menakutkan.

Runa agak panik. Pasalnya, dia saja tidak menyadari bila keponakannya itu tengah terbangun dan keluar dari kamarnya. Wanita itu pun meraih wajah Juli agar tidak lagi menatap kemusuhan pada Liam yang masih meringis pelan dan mengusap tempat kejadian perkara.

"Uli kok kebangun sayang?"

"Nggak tau. Bangun sendiri."

Ternyata, apa yang dikatakan oleh adiknya tadi malam benar juga.

Wanita itu melirik ke arah Liam yang sedang menatap Juli penuh kekesalan. Pasti gigitan bocah berusia 4 tahun itu sakit sekali. Raut wajah Liam dan pekikannya tadi benar-benar mempresentasikan betapa kuatnya gigi-gigi Juli yang hampir saja dapat mengoyak otot pahanya.

"Minta maaf gih sama Om Liam. Tadi Tante Una nggak diapa-apain, kok. Uli cuma salah lihat. Buktinya Tante Una nggak kenapa-kenapa. Nggak ada yang sakit."

"Terus tadi ngapain kalau bukan gigit?"

Nah, kan. Bocah adalah makhluk yang paling menyebalkan, sebab manusia kecil dengan rentang usia segitu selalu banyak tanya dan banyak ingin tahu. Orang dewasa terkadang tidak bisa menjelaskan situasi yang sedang terjadi, seperti sekarang ini.

Tiba-tiba saja Liam mengusap kepala Juli. Sontak, Runa memalingkan pandangannya dan melihat si pria yang tengah tersenyum tipis. Cepat sekali raut wajahnya itu berubah. Padahal Runa yakin, Liam masih merasa kesakitan.

"Uli. Om Liam sama Tante Una itu kayak mama sama papa kamu," bocah kecil itu masih saja menatap Liam dengan aura kemusuhan. "Yang Om Liam lakuin tadi adalah salah satu bentuk kasih sayang. Sama kayak Uli yang lagi meluk Tante Una. Uli sayang kan sama Tante Una?"

Perlahan, mata bocah itu mulai membulat lucu, seakan lunak dengan perkataan Liam yang lemah lembut. Uli pun mengangguk-angguk pelan setelah mendapat pertanyaan tersebut. Tentu saja dia sayang dengan Tante Una-nya.

"Nah sama kayak Uli, Om Liam juga sayang sama Tante Una, kayak sayangnya papa ke mama kamu."

Ternyata profesinya sebagai dosen terpakai juga. Memang berbeda ya profesi sebagai pengajar itu. Runa saja sudah menyerah duluan dan tidak mau memberikan penjelasan pada bocah tersebut. Untungnya dengan mudah, Liam dapat memberikan penjelasan yang dapat dipahami oleh bocah macam dora tersebut.

Namun, Runa justru menarik salah satu sudut bibirnya; tersenyum mengejek. Sayang? Alasan macam apa itu? Pintar sekali pria itu dalam membuat bualan.

"Sekarang, Uli minta maaf sama Om Liam," suruh wanita itu lagi.

Juli sedikit merengut, lalu melepas pelukannya dari Runa. "Uli minta maaf ya, Om."

"Iya..." Liam melebarkan senyum tipisnya sembari mengelus kepala bocah tersebut.

"Dipeluk dong Om Liamnya."

Liam sudah sedikit membungkuk, membuka kedua lengannya kendati bocah itu masih tampak ragu. Namun, berkat dorongan Runa, pada akhirnya Juli mau memeluk om barunya itu. Liam pun terkekeh, memeluk sejenak bocah tersebut. Setelahnya, Juli kembali memeluk tantenya dengan erat.

"Ayo, Uli harus tidur lagi."

"Ih nggak mau Tanteeee!"

Runa langsung berdiri, menggendong bocah tersebut untuk menjauh dari ruang makan. Liam hanya menatap punggung wanita itu yang semakin menjauh di pandangannya, kemudian beranjak untuk membersihkan jejak-jejak santapan pagi buta mereka.

Sedangkan Runa mencoba untuk menenangkan Juli yang mulai merengek, enggan dibawa ke kamar orang tuanya. Pada akhirnya, Runa pasrah saja. Langkahnya melaju menuju ruang tamu dan duduk bersandar di sofa, masih dengan Juli yang kini berada di pangkuannya.

"Terus kalau nggak tidur, Uli mau ngapain?"

"Mau maiiin!"

Runa berdecak. "Mau kamu digondol wewegombel main jam segini?"

"Wewegombel itu apa?"

"Itu setan yang suka culik anak nakal, yang sukanya main terus, nggak mau tidur. Kayak Uli, bandel disuruh tidur nggak mau."

Juli langsung merapatkan tubuhnya, memeluk kembali dengan erat daksa tantenya. "Iiih! Tanteeee!"

Liam kembali bergabung, duduk tepat di sebelahnya sembari terkekeh pelan. "Nggak boleh nakut-nakutin anak kecil, tau. Ntar dia trauma."

"Ya masa ngebiarin ini anak melek terus?"

Maksud Runa, dia pengin balik ke kamarnya, kembali tidur. Tapi masa keponakannya ditinggal main sendiri? Nanti kalau ada apa-apa bagaimana? Dia juga yang bakalan kena getahnya.

"Sini," Liam mengelus puncak kepala bocah tersebut. "Uli main sama Om Liam, ya. Tante Una-nya lagi capek."

Juli tidak langsung menurut begitu saja. Dengan kepalanya yang bersandar di dada sang tante, Juli sedikit mengintip ke arah om barunya itu.

"Ayo sini, Nak."

Pada akhirnya, Juli pindah pangkuan. Awalnya anak itu agak sedikit kaku. Namun, mungkin berkat kepiawaian Liam dalam menghadapi anak kecil, bocah itu mulai terbiasa. Apalagi Juli tampak fokus saat Liam menjelaskan gambar di salah satu halaman majalah. Mending majalah bobo, ini majalah trubus. Hebat sekali Liam bisa membuat bocah seperti Juli tertarik dengan majalah tanaman tersebut.

"Bapak-able sekali anda, Pak Liam." Si pria hanya tersenyum tipis saat menanggapi wanita di sampingnya. "Kalau lagi ngajar dipanggil Bapak atau Prof?"

"Gue bukan guru besar," balas Liam dengan nada kalem. "Nih coba Uli lihat, keren kan tanamannya warna merah? Yang lainnya pada warna hijau," pria itu tak merasa terusik kendati Runa turut mengajaknya berbicara.

"Tapi kayaknya bakalan terdengar seksi kalau ada yang manggil 'Prof. Liam', apalagi kalau Aa' masih di bawah 40 tahun, bakalan jadi Guru Besar termuda kali ya?"

Yah, selama Runa kuliah, dirinya selalu saja melihat profesor yang usianya hampir mencapai renta; khas dengan rambutnya yang putih semua atau bahkan pitak sebagian saking pintarnya.

"Gue emang udah lama pengen lanjut ke S3, tapi yah gitu."

Runa malah mengernyit. "Gitu kenapa?"

"Biasa, Bunda."

Wanita itu masih belum paham. Padahal, mungkin, secara finansial Liam mumpuni untuk membiayai dirinya sendiri, bahkan jika pria itu ingin melanjutkan pendidikannya di luar negeri. Kenapa ibunya malah terkesan melarang?

"Gue disuruh nikah dulu, baru boleh ambil doktoral."

Hah? Syarat macam apa itu? Kok malah terkesan menghambat, ya? Padahal ini perihal pendidikan, tujuannya ingin menimba ilmu. Bukan foya-foya yang jelas nggak ada gunanya.

Kadang, Runa tidak mengerti dengan jalan pikiran orang tua. Ibunya sendiri saja sulit dipahami, gimana ibunya orang lain.

"Sekarang persyaratannya udah terpenuhi, kan? Gas aja langsung."

Liam pun menoleh ke arah Runa. "Lo ngebolehin?"

"Kenapa juga gue harus ngelarang?"

Runa pikir dirinya tak memiliki hak untuk melarang Liam hanya karena statusnya telah berubah menjadi istrinya. Walaupun wanita itu belum pernah mengatakan hal ini, Runa memang akan membebaskan Liam untuk melakukan hal yang pria itu inginkan, asalkan; dirinya juga dibebaskan untuk melakukan apa pun.

Lagipula, berkat menikah dengan dirinya, Liam bisa mencapai keinginannya yang tertunda itu, kan? Anggap saja pernikahan ini menguntungkan keduanya, kendati baru Liam saja yang merasakan 'manfaat' dari pernikahan ini.

***

whelve [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang