Runa membuka kelopak mata dengan perlahan. Tidak ada alarm, tidak ada juga sapaan pagi yang akhir-akhir ini selalu membangunkannya. Hanya ada perasaan sesak yang menyelusup di dada, membuatnya harus terbangun dan langsung mengambil posisi terduduk; berupaya menghilangkan degup anomali yang membuncah jantungnya.
Setelah mengembalikan kesadaran sekian persen, Runa menyadari bahwa dia hanya sendiri di kamar ini. Sisi ranjangnya terasa begitu dingin, seperti sudah ditinggalkan sejak lama oleh si pemilik.
Apa ini?
Kenapa kekosongan yang dirinya rasakan membuatnya sendu?
Seingatnya dia juga tidak bermimpi buruk, justru segalanya serba hitam seakan dirinya terjebak dalam kegelapan.
Semalam, Runa memang sempat membaca pesan yang muncul di notifikasi ponsel suaminya itu. Namun, saat sekarang dirinya tak lagi dapat melihat ponsel tersebut di nakas, kekecewaan justru menghampiri.
Apakah Liam benar-benar menghampiri wanita tersebut? Memenuhi keinginan rasa kerinduan sang mantan?
Runa berusaha tidak peduli dan menepis rasa sendu yang masih menyesakkan dadanya. Wanita itu pun meraih ponselnya di nakas, mengernyit sejenak saat terdapat belasan panggilan tak terjawab dari sang adik.
Seketika jantungnya berhenti berdetak, mematikan aliran darah ke seluruh tubuh hingga membuat tangannya terempas lunglai ke arah gravitasi. Sesak yang dirinya rasakan semenjak bangun tidur pun justru semakin mengimpit paru-parunya.
Runa masih berharap bila sang adik sedang mengatakan lelucon. Akan tetapi, dia tidak mungkin sejauh itu hanya untuk mengerjai Runa, 'kan?
Bahkan jemarinya tak lagi kuasa untuk menggenggam ponsel itu kembali. Wanita itu tak tahu harus berbuat apa, sebab semua persendiannya bak rapuh jika sedikit digerakkan.
Entah sudah berapa lama dirinya membisu dalam kekosongan, bahkan indra pendengarannya tak lagi mampu mendengar suara kedatangan sang suami yang menghampirinya begitu tergesa.
Liam baru saja mendapatkan kabar tersebut, hingga pada akhirnya tanpa perlu berpikir panjang lagi pria itu kembali ke kamar hotel untuk memastikan kondisi sang istri.
Tak ada raungan, atau bahkan tangisan dalam diam. Bahkan ini mungkin lebih buruk dibanding isi pikirannya mengenai reaksi sang istri yang nyatanya terlihat begitu tenang.
"Kita pulang sekarang, ya?"
Runa tidak menjawab, tidak juga mengalihkan netranya menuju sang suami. Matanya mengawang ke arah yang tak pasti, membuat Liam memaklumi kebisuan istrinya tersebut.
Liam tidak ingin bertanya mengenai kondisi sang istri, sebab tanpa jawaban pun pria itu tahu bahwa Runa tidak dalam kondisi yang baik-baik saja.
Maka dari itu, Liam bergegas sendiri merapikan barang-barang milik mereka di saat Runa masih sibuk dalam kekosongannya.
***
Keheningan tercipta begitu pekat. Fokus pria itu pun terbagi menjadi dua; yaitu pada jalan raya di hadapannya bersamaan dengan satu sosok yang kini menjelma menjadi patung; hanya terdiam dengan pandangan mengawang.
Wanita itu terlampau tenang saat ditimpa berita duka. Namun kebisuan yang tercipta justru semakin menguarkan tensi sendu yang terlalu menusuk relung.
Liam tidak ingin bertanya, bahkan untuk sekadar memberi kalimat penenang. Hal tersebut mungkin tak akan ada gunanya. Jadi, satu hal yang bisa dirinya lakukan adalah meraih salah satu tangan wanita itu; yang nyatanya kini seperti tak dialiri darah; dingin dan kaku.
Pria itu menggenggam begitu erat, berusaha mengafeksikan kehangatan. Runa pun tidak menolak, tidak juga membalas genggaman tersebut. Dirinya hanya bersikap pasrah bahkan jika tangannya dipelintir sekali pun.
Sesekali Liam melepas genggaman saat ingin memindahkan tuas transmisi.
Perjalanan dalam keheningan itu pun terasa begitu panjang dan melelahkan.
***
Liam terpaksa memarkirkan mobilnya di luar rumah sebab sudah banyak orang yang silih ganti berdatangan. Netranya menangkap bendera kuning yang terpasang di sisi gerbang rumah sang mertua yang sudah terbuka lebar. Mesin mobil bahkan sudah dirinya matikan sejak tadi, akan tetapi Runa tak melakukan pergerakan apa pun selain menatap bendera simbol kematian tersebut.
Liam membantu melepas sabuk pengaman yang melekat pada tubuh sang istri. Runa tak merespons apa pun selain mengalihkan pandangannya ke arah depan; menatap orang-orang yang berpakaian hitam berlalu lalang.
Pria itu pun memilih turun lebih dahulu, kemudian memutari mobil dan membuka sisi pintu penumpang. Liam menggenggam erat tangan sang istri bak memberikan kekuatan.
"Na?" panggil pria itu dengan nada pelan, Runa pun menoleh ke arah Liam. "Ayo."
Wanita itu mengangguk pelan, turun dari mobil dengan bantuan sang suami. Tanpa melepas genggaman, keduanya mulai memasuki area rumah. Para tetangga yang sudah datang hendak menghampiri; mengucap bela sungkawa. Namun wanita itu tampak tak acuh dan terus saja berjalan seakan tak ada orang di sekitarnya.
Riuh yang tercipta tak cukup menembus kebasnya rungu sang wanita. Netranya bak sedang menatap film keluaran lama tanpa suara.
Saat hendak mencapai ruang tengah, dirinya menemukan sang adik yang tengah tergugu; ditemani istrinya yang berusaha mengelus-elus punggung tegap pria tersebut.
Netra kedua saudara itu pun saling bertubrukan. Runa memilih untuk menghampiri terlebih dahulu, menatap betapa sembabnya mata sang adik, ditambah guratan kemerahan di sekeliling skleranya.
Runa melepas genggaman Liam, lalu duduk tepat di samping Deni. Tanpa aba-aba, pria itu pun memeluk sang kakak, menenggelamkan wajahnya pada bahu yang tampak tegar itu.
Runa tak elak langsung balik merengkuh; sesekali mengelus dan menepuk punggung itu. Sudah cukup lama dirinya tak melihat sang adik menangis tergugu. Mungkin terakhir kali saat mereka masih sering bermain dengan anak tetangga?
Entahlah, bahkan Runa sudah tak bisa mengingat kapan terakhir kali Deni terlihat lemah di matanya.
"Maaf ya gue baru dateng," ucap Runa pelan. Tangannya tak berhenti memberikan tepukan penenang. "Nggak boleh nangis berlebihan, nanti Mama makin sedih."
Bukannya semakin tenang, bahu wanita itu pun semakin basah. Di antara tiga saudara itu, memang Denilah yang paling dekat dengan sang ibu. Tak ayal jika pria bontot itu benar-benar merasa kehilangan.
"Gue belum siap ditinggal Mama, Run ...."
Terpaksa Runa melepas pelukan tersebut, mendorong bahu sang adik dan menyatukan netra keduanya.
"Nggak ada yang siap buat ditinggal Mama, Deni. Tapi ini takdir, kita nggak bisa berbuat apa-apa selain harus ikhlas. Relain kepergian Mama. Sekarang Mama udah kembali di tempat terbaik-Nya."
Deni tak lagi tergugu, kendati air matanya masih saja mengalir di pipi.
"Lo nggak sedih ditinggal Mama?" tanya pria itu dengan suara paraunya. Dia sangsi melihat Runa yang tak mengeluarkan air mata sama sekali.
"Gue harus nguatin bahu buat dua saudara gue."
Liam yang sedang berusaha menghubungi keluarganya pun tiba-tiba terdiam saat mendengar kalimat tersebut. Relungnya bak ditusuk pelan, mencipta rasa sakit tak kasat mata tepat di dadanya.
Rasa sendu pun berkabut. Dia benci melihat bagaimana Runa kembali berusaha tegar untuk menyimpan lukanya.
***
takut gue bikin scene ini.