lima puluh enam

207 25 0
                                    

Liam dan Runa masih menginap di rumah sang ibu. Hal ini memang atas keinginan sang istri, terutama dikarenakan Arin masih belum merencanakan untuk pulang. Wanita itu merasa bahwa hal ini menjadi kesempatan untuk berkumpul dengan saudaranya, mengingat Arin beserta suami dan anak-anaknya hanya pulang ke Jakarta pada saat libur lebaran saja.

"Kenapa Kak Arin ngeliatin aku kayak gitu?" tanya Runa yang merasa heran sebab sejak tadi Arin terus saja menatapnya tanpa berkedip.

Arin pun menggelengkan kepalanya. "Kakak nggak nyangka aja ngeliat kamu udah segede gini. Dulu kayaknya kamu suka banget kelayapan siang-siang ke lapangan merah. Kakak suruh pulang malah pundung."

Runa yang mendengar itu pun hanya bisa berdecak sebal. Mengobrol intens dengan kakaknya memang selalu mengundang nostalgia masa kecil mereka.

Tiba-tiba, terlintas satu pertanyaan di pikirannya.

"Kak, aku boleh tanya?"

"Tanya apa?"

"Kak Arin ... apa pernah punya masalah rumah tangga? Maksudku kayaknya sampai sekarang aku lihat Kak Arin sama Mas Bima anteng-anteng aja gitu."

Arin pun terkekeh saat mendengar pertanyaan adiknya tersebut. "Yang namanya rumah tangga itu pasti punya masalah, Run. Kakak sama Mas Bima kelihatan anteng-anteng aja karena kita berusaha untuk nutupin konflik. Jangan sampai orang tua atau mertua tau konflik yang kami punya. Sebisa mungkin masalah yang ada kami selesaikan berdua."

Runa hanya bisa terdiam saat mendengar jawaban dari kakaknya tersebut. Dia pikir, selama ini kehidupan rumah tangga sang kakak dengan suaminya berjalan sangat mulus. Nyatanya, apa yang terlihat belum tentu merepresentasikan keadaan secara keseluruhan.

Saat dirinya hendak kembali bertanya pada sang kakak, tiba-tiba bel rumah berbunyi. Runa pun langsung berinisiatif untuk beranjak dan berjalan menuju pintu rumah. 

Langkahnya dipercepat saat wanita itu mendengar bel yang kembali berbunyi; seakan tamu yang datang memiliki kepentingan mendesak hingga membuat dirinya ikut tergesa-gesa. 

Begitu Runa sampai di depan pintu, langsung saja dirinya menarik tuas dan melongokkan kepala untuk menatap tamu yang berkunjung ke rumahnya.

"Cari si ... apa?"

Rautnya berubah datar saat melihat sosok yang berdiri di hadapannya tersebut. Tanpa berkedip, netranya melirik ke arah bayi yang berada dalam dekapan wanita paruh baya tersebut. Refleks, tangannya yang masih memegang tuas pintu mengerat begitu kencang, menandakan bahwa dirinya sedang mencoba untuk menahan amarah. 

"Mau apa ke sini?" todong wanita itu tanpa berbasa-basi.

Mendapat pertanyaan tersebut membuat Nurma tersentak, sebab sepertinya wanita muda di hadapannya ini sudah mengenal dirinya.

"Bapak ada?"

Runa berusaha untuk tidak meledak.  "Buat apa Anda cari ke sini? Emangnya dia nggak pulang ke rumah kalian?"

Wanita paruh baya itu tidak menjawab, pun dia mulai memahami situasi bila anak dari istri pertama suaminya itu memang sudah mengetahui segalanya.

"Saya ..."

"Berani banget Anda ke sini. Nggak punya malu?"

Sejujurnya, Runa sudah dalam tahap tidak peduli dan tidak mau tahu bagaimana kehidupan sang ayah beserta selingkuhannya tersebut. Toh segalanya sudah tak ada artinya lagi semenjak kepergian sang ibu.

Akan tetapi, wanita paruh baya itu sudah berani menginjakkan kaki di teritorial miliknya, bahkan saat keluarganya masih berada di masa berkabung. Bukankah itu namanya tidak tahu diri dan tidak tahu malu?

whelve [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang