Helaan napas saling menyahut, padahal keduanya sedang tidak dalam fase berlomba. Barangkali, memang hanya karbon dioksida serta oksigen saja yang saling bergumul mesra di udara, sedangkan si pemilik embusan malah sibuk mencari cara agar bisa mengakhiri pertemuan yang bahkan baru dimulai lima menit lalu.
Kini, bahkan bukan lagi untuk merona sambil saling menunduk malu, memperkenalkan diri atau bahkan berbincang untuk saling mengetahui seluk-beluk kehidupan masing-masing, kendati bahkan salah satunya tak ingin mengulik atau bahkan sekadar menerima informasi akan hal itu. Keduanya bahkan sudah melewati angka tiga puluh dalam tahun kehidupan; yang tak lagi memerlukan basa-basi di tiap pertemuan untuk sekadar meningkatkan ketertarikan.
"Udah berapa kali dijodohin?"
Si pria menangkap rona senewen dari lawan jenis yang duduk tepat di seberangnya. Agaknya, bukan pada detik ini saja, melainkan sejak awal dirinya bertanya pasal nama untuk memastikan atas pertemuan yang sudah ditentukan para ibunda, lalu menarik kursi dan duduk tanpa memesan apapun, kendati sang pria bahkan sudah memesankan sesuatu yang mungkin akan disukai wanita secara umum. Padahal, seharusnya, dirinya yang menampangkan raut jengkel, sebab telah dibuat menunggu lebih dari tiga puluh menit lamanya.
Dan, ya, kalimat tanya itu tak lantas muncul tanpa sebab, bila pemandangan yang ia tangkap dari wanita di hadapannya saja terus menitikkan rasa bosan, tak ingin mencipta konversasi, dan sama sekali tak menaruh secuil atensi pada pria yang bahkan sedari tadi selalu mendapat lirikan di meja lain, hingga dirinya menyimpulkan bahwa wanita itu sudah berkali-kali menjadi percobaan kelinci orang tuanya.
Si wanita tampak menghitung, kendati masih berlaku tak terlalu acuh karena memang hanya satu yang diinginkannya; pulang.
"Lo yang kelima."
Sudut bibir Liam menukik, gatal untuk tidak terkekeh sebelum si wanita kembali menyuarakan vokal.
"Eh, enam. Lupa, ada yang nggak keitung satu orang."
Dan pria itu pun melepas gelak, memecah ketegangan yang terus saja tercipta--kendati dirinya sejak awal sudah berusaha untuk mencairkan suasana; hanya karena ingin menghargai saja.
"Lucu? Receh banget lo, gitu aja pake ketawa," semburnya sembari bersedekap, mendapati sang pria yang kembali mencipta hening akibat sindiran yang dilempar padanya.
Runa?
Wanita itu memang memiliki kelakar yang judes, jutek, dan sinonim-sinonim lainnya. Namun, bila memang hari ini Runa tak bertopeng untuk menutupi jati diri, cecap yang baru saja ia hunuskan pada pria di hadapannya itu memang hanya untuk memperburuk harga diri; image; dan lain sebagainya, dengan satu tujuan yang ia miliki; membuat pria itu menolak perjodohan tolol ibunya.
Bagi dirinya, bila memang kisah dibalik perjodohan ini terkait masa lalu antara kedua orang tua, seharusnya diselesaikan saat itu saja, tak perlu menyeret sang anak untuk dijodohkan.
Dan bila bukan sebab itu pula, dirinya juga tak peduli. Mau sebanyak cara apapun sang ibu berusaha membuat pertemuan semacam ini, jawabannya akan selalu sama.
"Terus? Yang sebelum saya, kamu yang tolak atau kamunya yang ditolak?"
Kendati dirinya sempat terkena skak mat dari wanita, Liam berusaha tetap menetralkan suasana, walau bahkan dirinya tak perlu melakukan hal itu. Hanya saja, walau dirinya juga berusaha untuk menolak perjodohan ini; yang sepertinya akan membuahkan hasil baik, Liam cukup penasaran dengan cerita perjodohan-perjodohan lalu milik Runa.
Kenapa sampai sebanyak itu?
Apa karena tidak cocok?
Atau terlalu memiliki standar yang tinggi?
Tahu sendiri, kan, bila perempuan berpendidikan yang lebih tinggi terlalu disegani banyak pria; sebab selalu dikatakan memiliki standar di atas rata-rata agar setidaknya dapat mengimbangi dirinya yang sudah berada di puncak kehidupan.
Ah, atau sebab prianya saja yang terlalu memiliki insekuritas diri terhadap wanita berpendidikan dan berpenghasilan tinggi?
Apalagi dengan wanita yang terlalu mandiri.
Sebab dirinya seorang pengamat, Liam dapat menyimpulkan secara singkat bagaimana karakter wanita di hadapannya itu; yang sedikitnya sudah ia jelaskan sebelumnya. Tapi, bagi dirinya, wanita-wanita semacam itu seharusnya disimpan bagai permata. Tak melulu harus pria yang mendominasi, lindung-melindungi bisa saja dilakukan keduanya; bila memang egoisme manusia berada di titik bumi.
Sayangnya, sulit, kan?
Bagaimana pun, kebanyakan pria mencari wanita yang agaknya lemah; dengan dalih bisa dilindungi dan menjadi pemimpin yang mencolok.
Sayangnya, kesan lemah bahkan tak tercipta di rona milik wanita ini.
Dirinya memang tipe manusia yang selalu menjaga harga diri, tidak suka merendah; lebih senang meroket agar tidak mudah dijatuhkan.
"Gue, lah."
Tegas nan lugas. Wanita ini memang benar-benar memiliki karakter yang kuat.
Liam ber-oh ria, dengan tambahan anggukkan kecil di kepala. Baiklah, sampai saat ini, dirinya mendapati tarikan kesimpulan bila si wanita berfrekuensi satu dengannya; alias menolak perjodohan ini.
"Berarti kali ini kamu nggak setuju lagi? Dengan perjodohan kita?"
Si wanita terdiam sejenak, saat ini raut senewennya sedikit melunak, kendati lebih mirip seperti merasa bersalah. "Nggak papa kan ya kalau gue tolak? Lo juga nggak mau, kan? Lo nggak sakit hati, kan?"
Deal.
Keduanya menolak perjodohan ini, dan Liam dapat tersenyum lega. Dirinya tidak perlu bersusah-payah menemukan alasan untuk menolak perjodohan ini karena lawan jenisnya saja juga nggak mau. Bila keduanya menolak, masa orang tua tetap mau memaksa?
"We are in the same boat."
Akhirnya si wanita dapat terkekeh dengan bebas, memecah rahang tegas yang selalu tampak judes di pandangan lawan bicaranya. Kendati dirinya memang galak, ya tidak selalu sih. Hanya dalam keadaan-keadaan tertentu dirinya dapat meledakkan diri.
"By the way, kenapa lo nggak mau?"
Runa bisa lebih santai, sebab tujuannya sudah tercapai. Tinggal bilang pada ibunya bahwa sang pria juga tak menginginkan, serta menambahkan alasan yang mungkin pria itu miliki sebagai landasan penolakannya.
"Saya punya pacar."
Oh, klise sekali. Agaknya Runa berusaha untuk merespon dengan mengangguk, walau tak membutuhkan alasan yang rinci mengapa juga pria itu bersedia melakukan pertemuan dengan dirinya saat ini bila sudah memiliki kekasih.
"Kalau kamu?"
Tanpa perlu menimbang jawaban, bila penjelasan sebelumnya yang Liam pikir dapat menjadi salah satu alasan si wanita, namun cecap yang dirinya dengar justru membuat si pria cukup tersentak.
"Gue emang nggak mau nikah."
Kok bisa?
🔀⏪▶⏩🔁