Hari ini, mereka berkunjung ke rumah mertua; mertuanya si Liam alias mboknya Runa. Ini pun disuruh sama mamanya, bukan atas inisiatif Runa sendiri. Apalagi pas dibilang lupa rumah utama, Runa jadi merasa durhaka. Jadi, ya terpaksa, akhir pekan dihabiskan di rumah sang ibu, cuma buat absen muka biar mamanya bahagia.
"Gimana sama Lim?"
Biasa, girls talk. Nggak mungkin mamanya nyangkut-nyangkutin nama Liam kalau menantunya ada di sini. Liam lagi asyik ngobrol sama Deni, adiknya Runa.
"Gimana aku harus menjawab pertanyaan yang tidak jelas?" Runa membeo suara yang sering muncul dalam reels instagramnya. Kayaknya sih ith dari tiktok, tapi muncul juga di instagram.
"Ish! Kamu nih!"
"Ya gimana, Ma? Mama udah liat sendiri orangnya sehat wal'afiat."
Nggak mungkinlah ya dia membocorkan urusan ranjang; maksudnya kejadian yang membuat Liam sampai terjun dari kasur. Bikin malu dan pasti nanti dirinya diomelin. Hapal banget dia sama kelakuan mamanya.
"Kamu masak sehari-hari?"
"Mustahil," kekeh Runa.
"Lah terus makan apa setiap hari?"
"Ya makan nasi, dong."
Runa ini suka banget bikin mamanya keki sendiri. Kadang dia suka bingung, anaknya ini dapat keturunan slengean dari mana.
"Sekarang serba online, Mah. Ada grebfut, gofut. Jangan kudet gitu dong. Kita kan harus menyesuaikan zaman. Lagian, sekalian bantuin penjual juga, biar dagangannya laku," lanjut si anak.
"Ya kalau beli terus emangnya nggak boros?"
"Mending boros daripada kecelakaan lagi di dapur," sungut Runa. Tiba-tiba, dirinya baru teringat kalau sang anak memang tidak bisa dan tidak mau belajar memasak karena alasan itu. Mamanya jadi kembali merasa bersalah karena kejadian tersebut termasuk bagian dari kelalaiannya.
"Ya udah," kali ini sang ibu terdengar pasrah. "Tapi Lim nggak keberatan, kan?"
Runa menggeleng. "Belum pernah komplain sampai sekarang, tapi dia tau kalau aku emang nggak bisa masak dan nggak mau belajar masak."
Runa tidak benar-benar lepas tangan masalah isi perut, kok. Tiap pagi, Runa memanggang roti menggunakan toaster, selainya tinggal pilih. Dia pasti selalu mencampur selai roti untuk Liam, misal satu sisi roti pakai selai stroberi, satunya lagi dikasih selai cokelat. Pria itu sendiri yang meminta dibuatkan begitu.
Karena mereka berdua juga suka kopi, tiap pagi Runa membuat dua cangkir. Satu cangkir kopi hitam tanpa gula untuk Liam, satunya kopi hitam pakai creamer untuk dirinya sendiri.
Kadang kalau bosan, Runa bikin overnight oatmeal. Liam pernah coba, tapi nggak doyan, jadi mau nggak mau dia minta beliin nasi uduk aja.
"Perkiraan lahiran kapan, Van?"
Kebetulan, adik iparnya juga ada di situ. Ya biasalah, kumpul-kumpul hari minggu, kan memang adik iparnya ini juga tinggal di rumah sini. Kecuali kakaknya yang ikut sama suaminya tinggal di Lombok.
"Minggu depan, Kak."
"Wow. Cepet juga." Runa juga tidak terlalu memerhatikan, sih. Tahu-tahu saja, adik iparnya ini hamil lagi, eh sebentar lagi mau lahiran. "Si Juli udah bisa tidur sendiri? Pakai kamarku aja, kasihan kan dikit lagi ada debay. Biar Juli juga bisa mandiri."
Lagian, kamarnya itu juga jarang dipakai, apalagi setelah menikah. Kalau bisa dibuat kos-kosan aja sekalian saking nggak pernah ditempatin lagi.
Melihat menantu perempuannya yang lagi hamil besar itu, sang ibu teringat sesuatu.
"Na, kamu nggak ada niatan nunda, kan?"
Runa mengernyit, nggak paham dengan maksud mamanya. Namun, beberapa saat kemudian, dia hendak berdecak, tapi nggak jadi karena takut dosa. Akhirnya, Runa balas berdeham saja. Dia sudah tahu apa yang mamanya bakal omongin kalau dia main ke rumah.
"Jadi iya atau enggak?"
"Itu loh nggak lama Mama mau punya cucu lagi. Kok malah nagih ke aku, sih?" tanya Runa dengan nada sewot sembari menunjuk perut Vanka.
"Ya beda, Na."
"Apa bedanya? Kan sama-sama ngelahirin manusia. Emangnya kalau aku hamil, nanti yang lahir taneman janda bolong yang harganya bisa jutaan itu?"
"Hush!" Si ibu menggeplak bibir anaknya. "Kamu kalau ngomong disaring kenapa sih, Na. Nggak bagus ngomong-ngomong kayak gitu."
"Ya Mama juga jangan nagih-nagih, dong," Runa tersulut emosi. "Aku udah nurut ke Mama buat nikah. Permintaan Mama udah terealisasikan, kan? Cukuplah, Ma. Tolong. Ini urusan rumah tanggaku."
Runa sadar bila ucapannya itu memang keterlaluan, apalagi ibunya tersentak diam saat mendengar suara protesnya tersebut. Tapi, tidak dapat dipungkiri, Runa memang kesal bila sang ibu terus saja menyuruh ini-itu; yang kebanyakan tentang hal yang tidak disukai oleh Runa. Dia pikir, setelah menikah, dirinya akan merasa lebih bebas. Tetapi, nyatanya sama saja.
***
"Minta maaf dulu sama Mama," Liam memeringati sebelum mereka beranjak pulang.
Runa mengernyit. Dia tahu dari mana? Perasaan tadi Liam nggak ada di dekat-dekat dia deh saat bersiteru dengan mamanya.
Satu-satunya pelaku penyebaran, siapa lagi kalau bukan si adik ipar? Pasti dia cerita sama suaminya, lalu adik setannya itu bersikap ember bocor ke Liam.
"Lo nggak boleh gitu ke Mama," sahut Liam lagi saat sejak tadi Runa tidak membalasnya. Wanita itu memilih untuk melengos.
Runa menghela napas panjang, lalu berkata, "ya."
"Minta maafnya yang bener," Liam mencekal lengan Runa sebelum wanita itu melangkah pergi. Namun sesegera mungkin, Runa menepis tangan Liam dan beranjak menjauh.
Liam sudah pamit tadi, makanya dia menunggu di mobil. Sebelumnya, pria itu juga sudah meminta maaf pada sang mertua atas nama Runa. Tapi, menurutnya belum afdhol kalau nggak Runa sendiri yang meminta maaf.
Nggak lama, Runa masuk ke dalam mobil dengan raut kelamnya. Dari cara dia menutup pintu mobil saja, Liam paham bila istrinya itu sedang kesal.
"Udah minta maafnya?"
"Hm."
"Lain kali jangan begitu. Seburuk-buruknya orang tua, lo nggak boleh memperlakukan orang tua kayak gitu. Ngerti?"
Runa hanya berdecak, hal itu turut membuat Liam kesal. Pasalnya, jelas-jelas di sini Runa juga salah. Tapi wanita itu malah bersikap seperti orang yang paling benar.
"Lo kayak anak kecil tau nggak? Nggak inget udah kepala tiga?"
"Kaget lo tau gue kayak gini?" tantang Runa dengan rahangnya yang mengetat. Sumpah, ini cuma masalah sepele, tapi juga bisa membuat mereka saling bergelut emosi. "Kalau nggak tau apa-apa, mending diem deh."
Liam agak sedikit tercengang. Posisinya sebagai seorang suami, dia hanya mau Runa refleksi diri bahwa kelakuannya tadi itu adalah hal yang salah. Tapi malah jadi besar begini.
"Oke."
Liam nggak mau tersulut lagi, akhirnya dia mengaminkan apa yang diinginkan oleh Runa. Setelahnya, mereka nggak berbicara lagi bahkan setelah sampai ke rumah. Entah siapa yang mau mengalah lebih dulu.
Mereka sama-sama sudah berkepala tiga, tapi ternyata ego masih menguasai hati masing-masing. Kalau begini jadinya, yang kayak anak kecil itu siapa?
***