dua puluh tiga

303 39 0
                                    

"Kenapa? Jijik?"

Liam tidak menjawab, hanya mengamati bekas luka besar yang tercetak pada sisi luar paha Runa.

"Tolong, Kang, matanya dijaga," desis Runa setelah menarik turun kembali celananya sebab pria itu terus saja menatap daerah lukanya--atau pahanya? Liam pun segera memindahkan pandangannya dan berdeham pelan.

"Lah emang kenapa? Kan nggak dosa?"

"Ya dosa, lah!"

Liam malah mengernyit, lalu menyentil dahi wanita tersebut hingga dirinya mengaduh. "Kan kita udah muhrim, si bego ih."

"Eh? Oh? Iya juga, ya? Kok gue lupa?" Runa menyengir sembari mengelus bekas sentilan di dahinya, kelihatan banget idiotnya. "Gue nggak bego, ih! Cuma lupa!"

Seakan ketegangan yang baru saja terjadi mengendur secara tiba-tiba. Runa kembali melahap sisa gigitannya tadi, lalu beralih membuka bungkus makanan yang satunya. Kelihatan banget baru dimasak, asap tipisnya masih menguar, euy.

"Lupa apaan baru seminggu?" Pria itu pun berdecak.

"Saya kelamaan melajang, jadi lebih keinget kalau saya masih lajang," balasnya santai.

Liam mendecih. "Lajang kok bangga."

"Oh iya jelas, dong," sahutnya langsung, "daripada pacaran bertahun-tahun malah numpuk dosa? Eh ujung-ujungnya putus. Udah dosa, bikin uring-uringan pula, hahahaha."

Langsung saja pria itu melipat kedua tangannya di depan perut, tak lupa mata sipitnya yang memicing ke arah wanita yang masih asyik mengunyah itu.

"Situ nyindir?"

"Kok nyindir?" Runa malah berbalik tanya. "Itu kan kenyataan, bukan sindiran."

Berarti, jelas saja wanita itu memang sedang berbicara tentang dirinya. Untung Liam sabar.

"Itu kena apa?" tanya Liam, yang sebenarnya merupakan sebuah pengalihan isu. Tapi, sejak melihat itu, dia sungguh penasaran, sih.

"Hm?"

"Bekas lukanya."

"Oh. Minyak panas."

"Pas waktu?"

"SMP."

Lama juga ternyata. Bahkan sampai sekarang, bekas luka itu tidak kunjung menghilang. Melihat besarnya bekas luka tersebut, pasti Runa trauma untuk bermain di area dapur.

"Tapi bentukannya lucu, kayak tato sapi. Lihat lagi, dong?"

"Hm?!" Runa pun menggeram kesal.

"Iya, sapi. Dah gitu suka banget ngunyah lagi, nggak berhenti-berhenti dari tadi. Mirip banget udah lo ama sapi. Masih satu spesies, yah?"

Karena tidak terima, Runa langsung memberi bogem mentah ke arah perut Liam. Tidak tanggung-tanggung pukulannya itu, hingga membuat Liam mengaduh sembari menekuk tubuh.

"Aduh! Ya Allah! Usus gue pindah!"

"Pala lo pindah! Rasain, tuh!"

Selanjutnya, Runa memilih untuk beranjak sembari membawa dua bungkus makanan tersebut. Kalau berada di dekat Liam memang sulit banget menciptakan suasana yang damai. Pria itu senang sekali mencari keributan dengan Runa. Profesinya saja yang terlihat sangat berwibawa, tapi kelakuannya macam bocah pencari perhatian.

"Ih sapi! Mau ke mana?! Makan di sini aja, sih!" teriaknya saat Runa terus saja berjalan menjauh dari radius pria tersebut.

Sambil terkekeh pelan dengan iringan ringisan dari perutnya, Liam mengikuti jejak sang istri yang kini duduk di daerah pantri. Ternyata, wanita itu sedang menuangkan saus dari martabak telur ke dalam mangkok, tidak lupa dengan raut menye-menye-nya yang jelas ditunjukkan untuk Liam.

whelve [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang