Rasanya memuakkan, bahkan kepalanya terasa ingin pecah. Namun jika hal ini dibiarkan terus menerus, mungkin dirinya bisa semakin menggila. Kedatangan wanita itu menjadi pemicu amarahnya yang semakin memuncak.
Malam ini, Runa ingin menyudahi semuanya; menyelesaikan rasa sakit yang selama ini dirinya tanggung sendiri, kendati wanita itu juga tidak tahu apakah setelah ini semuanya benar-benar akan berakhir atau justru kembali tercipta goresan di luka lamanya.
"Aku temenin, ya?" tawar Liam sebelum Runa hendak beranjak untuk menemui sang ayah.
Wanita itu menggeleng pelan; memberikan penolakan. "Jujur aku malu, 'A, sama kamu."
Liam yang mendengar hal tersebut langsung mengerutkan keningnya. "Malu kenapa?"
Runa terdiam sejenak. Seharusnya tanpa wanita itu menjelaskan pun Liam pasti sudah mengerti. "Aku malu karena punya orang tua kayak ayah. Emangnya 'A Liam nggak malu punya mertua kayak ayah?"
Liam tak langsung membalas. Pria itu meletakkan kedua tangannya pada lengan sang istri; memberikan sedikit penekanan yang menandakan gesture kesungguhan. "Kalau aku malu, aku nggak akan nawarin diri buat nemenin kamu. Kalau aku malu, aku nggak akan mau gantiin kamu buat temuin ibu-ibu tadi. Kalau aku malu, aku nggak akan ada di sisi kamu sampai sekarang. Paham?"
Runa membalas tatapan Liam yang penuh dengan kesungguhan. Dia mengakui, mungkin bila tidak ada pria itu di sisinya; kakinya tak akan lagi bisa berpijak dengan kokoh; atau mungkin dia memilih untuk menyusul sang ibu.
Tanpa sadar, dirinya sudah berada dalam hangatnya pelukan sang suami. Dengan gerakan pelan, Liam memberikan tepukan pada punggung wanita itu sembari berbisik menenangkan.
"Kamu berhak bahagia, istri aku berhak bahagia."
Bahagia, ya? Apakah dirinya pantas untuk mendapatkan hal tersebut?
***
Runa menatap pria paruh baya yang tengah memainkan ponselnya di area taman belakang. Perlahan, wanita itu menghirup dan menghela napas begitu panjang, lalu kembali mengambil langkah untuk menghampiri pria yang selama ini dirinya panggil ayah tersebut.
"Ayah."
Bahkan untuk memanggil nama itu rasanya begitu sulit, tak ada kehangatan dalam nadanya yang terlontar pada kata tersebut.
Yang dipanggil pun mengalihkan pandangannya dari ponsel; menemukan anak keduanya yang menatap dengan raut datar.
"Ada apa?"
"Runa mau ngobrol sama Ayah," ucap wanita itu sembari mengambil posisi duduk tepat di hadapan sang ayah.
Tanpa meminta izin terlebih dahulu, Runa meraih kotak rokok milik ayahnya di atas meja; mengambil satu batang rokok dan menyelipkannya di sela bibir. Sebelum sang ayah melempar kata protes, Runa sudah menyalakan pemantik untuk membakar ujungnya.
"Sejak kapan kamu ngerokok?"
Melihat bagaimana sang anak dengan luwesnya menyelipkan batang rokok di bibirnya, pria itu dapat memastikan bila Runa telah merokok sejak lama.
Sembari mengembuskan napas panjang untuk mengeluarkan asap rokok yang telah dirinya hirup, Runa memutar bola mata ke arah kanan atas; sedang mengingat-ingat kapan pertama kali dirinya mencoba batang nikotin tersebut.
"Dari semenjak Ayah selingkuh di belakang Mama," ucap wanita itu dengan raut datarnya. "Kayaknya waktu itu aku masih SMA. Lama banget, 'kan?"
Kali ini Runa menarik sudut bibirnya; mencipta senyuman penuh sarkas yang khusus ditujukan untuk sang ayah.