"By the way, Na, bensin sekarang naiknya parah banget," keluh pria itu.
Runa mengangguk; menyetujui kalimat pria itu. "Tau 'kan pombensin swasta sebelah? Awalnya lebih murah dari pirtilite, eh sekarang malah dinaikin harganya."
"Imbasnya pasti bahan pokok pada naik juga," Liam menjeda sejenak. "Kita terlalu boros nggak sih punya dua mobil? Gue mulai aktif ngajar di kampus lagi. Mulai besok, gue anter lo ke kantor aja gimana?"
"Terus gue pulangnya gimana? Naik ojek online juga lebih boros kali."
"Ya nanti gue jemput, sayangku." Yak, nerinding bulu kuduk Runa saat mendengar ucapan terakhir dari mulut Liam. "Kampus gue sama kantor lo 'kan searah jalan pulang."
"Terus mobil yang satunya nganggur gitu?"
"Gue rencananya mau jual mobil sih, dan kayaknya gue beneran mau beli motor, deh. Boleh, nggak?"
Runa menoleh ke arah pria itu. "Kenapa harus izin dulu ke gue?"
Liam menatap balik netra wanita tersebut. "Ya lo 'kan istri gue. Kalau istri nggak ridho tuh pasti ada aja halangannya, Na."
Padahal, itu sekadar kalimat sederhana yang mungkin tidak terlalu memiliki arti. Namun, kenapa dadanya saat ini justru berdesir saat mendengar alasan izin dari suaminya tersebut?
Liam menjentikkan jemarinya tepat di depan wajah sang istri. "Malah bengong lagi. Gimana, Na? Boleh nggak?"
"Beli mah beli aja, duit 'kan ya duit lo sendiri, 'A."
Pria itu berdeham. "Ya udah, yang penting udah dapet acc. Thank you, wife."
Runa?
Bahkan wanita itu terlalu bingung untuk sekadar membalas atau bahkan merespons.
***
Pagi ini, bahkan sebelum Runa menyentuh area dapur, dirinya sudah dapat menghirup aroma kopi menyerbak penghidunya. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Liam?
Tadinya, Runa pikir bahwa kali ini Liam memang membuat kopi hanya untuk dirinya sendiri. Kenyataannya, yang wanita itu lihat di meja sudah ada satu cangkir kopi hitam dan satu kopi susu, beserta pancake yang masih menguarkan asap tipis.
Pandangannya pun berpindah pada area dapur, di mana dapat dirinya lihat bahwa Liam masih menyibukkan diri memasak sisa bahan pancake.
"Morning," ucap Liam tiba-tiba yang bahkan saat ini masih memunggungi Runa, membuat wanita itu terperanjat.
Padahal, seharusnya Liamlah yang kaget, sebab bahkan Runa turun ke lantai dua tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.
"Lo tau gue di sini?"
"Taulah," Liam masih belum mau merotasikan tubuhnya, "Gue 'kan punya mata di belakang kepala."
Wanita itu pun berdecak. "Pale lo."
Liam hanya bisa tertawa, lalu barulah memutar tubuh sembari membawa teflon untuk menaruh pancake terakhir yang dirinya buat. "Gue hapal wangi badan lo, makanya gue tau."
"Tajem amat itu hidung?"
Pria itu hanya tersenyum tipis, memilih untuk tidak membalas ucapan Runa dengan menaruh teflon di wastafel. Setelahnya, barulah ia mendekat ke arah sang istri yang tengah duduk dan menyibukkan diri dengan bermain ponsel.
Tanpa aba-aba, Liam mengecup dengan cepat pada birai wanita itu, membuat si pemilik bibir terkesiap dan melotot ke arah pelaku.
"Apa-apaan?!"