sembilan

343 45 3
                                    

Tidak ada yang bisa menghentikan Runa, termasuk Liam sendiri. Dirinya tak bisa memikirkan kegilaan apa yang akan dipajankan wanita tersebut pada kekasihnya. Toh, Runa sudah berdalih tidak akan macam-macam. Lagipula, sedari awal dirinyalah yang mengajak wanita itu dan berniat untuk mengantarkannya pulang. Agaknya, sedikit tidak enak hati bila meninggalkannya begitu saja, kendati bahkan Runa tak merasa masalah akan hal tersebut.

"Cewek lo kerja apaan, A'?"

Liam hanya melirik sebentar. Melihat Runa yang agak antusias membuatnya sedikit takut.

"Model."

Wanita itu pun mendelik; macam mengejek. "Idih? Dosen pacaran sama model? Bisa gitu? Gimana jalan ceritanya?"

"Ya dunia ini luas, Boncel. Gue mau pacaran sama Miss Universe juga bisa."

"Sok laku banget, najis."

Liam pun terkekeh, sedangkan Runa kembali mengajukan pertanyaan yang membuatnya cukup penasaran.

"Lo udah ngasih tau belum ke pacar lo kalau lo lagi dijodohin?"

Pria itu terdiam sejenak. Padahal, ajuan pertanyaan wanita tersebut tak bersifat angka yang membutuhkan waktu untuk menjawab pertanyaannya.

"Belum?" Nadanya terdengar ragu.

"KOK BELUM SIH?!"

Jelas saja wanita itu geram. Secara langsung, seharusnya kekasih Liam memiliki andil untuk membatalkan perjodohan ini. Bisa saja kan ternyata pacarnya tersebut bersikukuh untuk mempertahankan hubungannya dengan Liam? Sehingga, Runa tak perlu repot-repot mencari alasan lain untuk menolak perjodohan tersebut.

Sikap Liam membuatnya sedikit marah. Pasalnya, bukankah hal tersebut sama saja dengan dirinya yang ingin tetap menjalankan perjodohan ini hingga berakhir pada pernikahan? Kali ini Runa bahkan yakin, Liam sama sekali belum berbicara apapun pada ibunya untuk segera membatalkan perjodohan mereka.

"Usaha apa yang udah lo lakuin buat ngebatalin perjodohan ini, A'?" Runa bahkan sampai memiringkan tubuhnya--terlihat sekali kialnya yang sedang menahan amarah, menodong pria tersebut dengan pertanyaan yang baru dirinya ingat ingin dilampiaskan pada Liam saat mencapai rumah makan tadi.

"Run, tenang, Run. Pasang dulu sabuk pengaman lo. Bahaya, Runa."

Pria itu bahkan baru sadar bila penumpang di sampingnya tak menggunakan sabuk pengaman. Kendati begitu, Liam paham bila Runa sedang kesal, dan dirinya sedang mencoba untuk mengalihkan situasi tersebut.

"Lo sebenernya udah ngomong belum sih sama tante?" desaknya kembali, membuat Liam semakin merapatkan bilah ranumnya untuk tidak mengatakan sesuatu yang dapat memuncakkan amarah wanita tersebut.

Tanpa membalas pun, Runa sudah tahu dengan jawabannya.

Wanita itu pun berdecak, kembali memosisikan tubuhnya dengan sedikit membanting punggung pada sandaran kursi. Memang, ya; today is the worst day ever!

"Gue mau ketemu sama tante," tandasnya penuh ketegasan, membuat Liam menoleh sementara.

"Buat apa?"

"Ya buat ngehasut emak lo, lah! Apalagi emangnya?!"

Melihat Runa yang berapi-api seperti barusan, sepertinya mempertemukan wanita ini dengan sang ibu memiliki kemungkinan kasus terburuk; misalnya sang ibu yang kembali kambuh. Tidak, tidak. Liam tidak akan membiarkannya.

"Runa, apa lo takut sama pernikahan?"

Mungkin sang pria terlalu lama untuk menganalisis; bila wanita di sampingnya ini mungkin saja memiliki ketakutan akan pernikahan hingga terus saja mendesak untuk membatalkan perjodohan ini.

"Nggak bisa gitu!" Runa masih ngegas. "Lo daritadi bahkan nggak jawab pertanyaan gue, A', kok sekarang malah ngalihin ke yang lain?"

Nah, kan, malah jadi berantem.

"Gini, ya," lagi dan lagi, Runa mengubah posisinya untuk menghadap ke arah Liam. "Gue sama elo, misal akhirnya beneran nikah. Tapi, emangnya bisa bertahan sampe berapa lama di saat gue aja nggak cinta sama lo, dan..." Runa sedikit membelalakkan kelopak matanya. "...jangan-jangan lo udah cinta ya sama gue?!"

"Jangan ngarang lo, Boncel!"

"Ya terus kenapa?!" Kedua tangannya menggeram penuh gemas. "Kenapa sampe sekarang nggak ada progress pembatalan dari pihak elo, A'?!"

Liam menghela napas begitu berat. "Semua butuh proses, Boncel... nggak bisa langsung begitu aja. Kondisi Bunda juga sekarang masih ngedrop, nggak mungkin gue kasih tau pas keadaan nyokap lagi kayak gitu."

Kali ini Runa terdiam, macam energi yang tertandas habis. Mau bagaimana pun, dirinya masih punya sifat manusiawi, mana mungkin mau memaksakan kehendak dalam keadaan seperti itu?

Ah, memang lemah sekali kau Runa.

"Kalau begitu, ganti strategi."

"..."

"Elo, kalau diundang ke acara keluarga gue, apapun itu; tolak langsung! Bilang kek ada acara lain atau punya kesibukan lain."

"Ya kan nggak enak, Ncel..."

"Ya justru emang itu tujuannya, Kang Dadang!" Runa mendengus kesal. "Dengan lo yang terus nurut sama mereka, itu malah meningkatkan nilai plus elo di hadapan keluarga gue. Setelah ini, lo nggak usah ikut lagi ke acara-acara keluarga gue kalau disuruh. Begitu pun juga gue nanti. Sebisa mungkin gue akan menghindar di acara keluarga lo. Catet nih ya baik-baik di otak! Nggak ada alasan lagi buat semakin memperpanjang waktu," diktenya panjang lebar.

Kalau dilihat-lihat, sepertinya Liam sulit membuat pergerakan tersendiri untuk membujuk sang ibu. Jadi, mau nggak mau Runa harus mengubah metodenya untuk membatalkan perjodohan ini.

"Dijawab atuh, A'!" Runa memukul lengan pria di sampingnya, sebab pria itu terus saja diam. "Elo mah, susah banget sih diajak kerjasama?!"

"Iya, iya...."

Akhirnya Liam mengalah. Padahal, dirinya memang nggak enakan orangnya. Ya, semoga saja ke depannya Liam memang beneran sibuk, jadi dirinya bisa memiliki alasan pasti untuk menghindari berbagai acara keluarga tersebut.

"Terus..." Runa mengetuk-ngetuk bibirnya, kembali memikirkan strategi selanjutnya; sebab satu saja tidak akan cukup. "Lo harus kasih tau pacar lo, hari ini juga."

"Lho? Kok gitu?"

Runa pun berdecak. "Gini deh ya, A', cewek lo punya peran yang sangat penting di sini. Barangkali pas tau lo mau dijodohin, dia jadi tergugah mau kawin sama lo. Harusnya, lo juga kasih dia pengertian kalo dia masih bisa ngejar karier pas udah nikah sama lo. Selesai, kan? Case closed."

Sesungguhnya, apa yang dikatakan oleh Runa memang ada benarnya. Memang semudah itu, tapi nggak tahu kalau praktiknya langsung bagaimana.

"Kalau dia tetep nggak mau, gimana?"

Masalahnya, Liam juga sudah pernah membahas ini dengan sang kekasih, yang berakhir dengan penolakan dan sedikit adu mulut di antara keduanya. Padahal, Liam merasa sudah banyak mengalah dengan kekasihnya tersebut, serta memberikan pengertian tak terhingga. Namun, tetap saja, kekasihnya itu kekeuh mempertahankan kariernya dan menyuruh Liam untuk menunggu.

"Jawabannya cuma satu; ya berarti dia bukan jodoh lo. Lo mau nunggu yang nggak pasti gitu, A'? Cari yang lain, lah! Yang mau sama lo. Lagian, secara fisik dan finansial, siapa sih yang nggak mau sama lo? Gaet noh mahasiswa-mahasiswa lo, gue yakin banyak yang ngantri."

Liam semakin terdiam, kembali mengulang-ulang kalimat yang baru saja diutarakan oleh Runa.

Yah, kalau mau sombong sedikit, memang lumayan banyak sih mahasiswa yang terlihat mengaguminya, namun tetap saja Liam harus mempertegas profesionalitasnya dalam bekerja. Jadi, hal tersebut hanya dianggapnya sebagai angin segar yang berlalu begitu saja.

"Ya kalau gitu, kenapa nggak elo aja, Ncel? Katanya, nggak ada yang nggak mau sama gue, berarti artinya lo juga tertarik sama gue, kan?"

whelve [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang