Bagi Runa, ini adalah hari tercepat yang pernah dilewati olehnya. Tidak terasa dengan rangkaian kegiatan sejak pagi, bahkan saat ini kegelapan sudah membingkai langit, kendati tidak ada bintang maupun bulan yang menghiasi. Keduanya kini terjebak dalam kebisuan, melalangbuanakan pandangan ke arah tak menentu. Tadinya, mereka hendak pulang ke apartemen Liam--ini sih membual saja, sejujurnya mereka sepakat untuk pulang ke apartemen masing-masing, tapi sang mama dan bunda mengatakan untuk menginap saja di rumah, di kamar Runa yang dulu. Katanya, kasihan seharian sudah melakukan acara ini-itu. Jadi, lebih baik menginap dulu saja. Toh sudah sah, dan halal. Tidak perlu ada yang diributkan.
"Ini nggak papa gue tidur di sini?"
"Gue punya baskom kucing, tinggal diisi pasir. Mau tidur di situ?" Nadanya terdengar sarkas. Dibilang sensitif, ya, wanita itu memang sedang dalam fase senggol bacok. Apalagi ini hari pertama dirinya datang bulan.
"Tega amat," Liam meliriknya dengan pedas.
"Nggaklah, bercanda."
Liam menghela napas. "Gue mandi duluan, ya? Apa lo yang mau duluan?"
"Aa' duluan, deh. Bawa handuk sama baju ganti, kan?"
"Baju bawa, handuk yang enggak. Pinjem dong?"
Runa pun berdecak. Dirinya beranjak dari ranjang, menghampiri lemari dan membuka salah satu pintunya. Tampak tumpukan handuk dan dirinya mengambil lipatan teratas, lalu memberikannya pada Liam.
Tanpa mengucap apa pun lagi, Runa kembali mengambil satu handuk, tak lupa serta pakaian santainya untuk tidur. Dirinya memilih untuk membersihkan tubuh di kamar mandi bawah dibanding harus menunggu Liam selesai. Kedua kelopak matanya sudah sulit untuk diajak kompromi hanya sekadar menunggu giliran mandi dengan pria itu. Bahkan, tadinya dia ingin langsung tidur saja dan akan bersikap bodo amat dengan tubuh lengketnya. Tapi, huh, Liam saja mandi, masa dirinya tidak?
Gitu-gitu dia juga masih punya malu. Apalagi baru kali ini dirinya tidur satu ranjang dengan seorang pria.
Selesai berkutat dengan membersihkan tubuh, Runa keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit kepalanya. Baru berjalan beberapa langkah, si adik tengilnya berceletuk minta digampar.
"Nanti jangan terlalu berisik. Anak gue telinganya pada sensitif."
Awalnya sang kakak tidak paham. Tapi, setelah melihat adiknya itu terkekeh usil, Runa hanya membalas dengan menampilkan dua jari tengahnya pada Deni, kemudian berlalu begitu saja di saat tawa adiknya itu semakin kencang.
Padahal, Runa sudah berusaha menyingkirkan hal tersebut dalam pikirannya. Toh, hari ini dirinya juga sedang berhalangan dan Liam juga sudah tahu akan hal itu. Tapi sialannya, adik brengseknya itu memang kurang ajar sekali. Mulutnya minta di sekolahin, kalau perlu dari tingkat taman kanak-kanak.
Dan sialannya lagi, bahkan kepalanya terasa sangat segar kembali, seakan beban dan rasa lelahnya ikut tersingkir macam lengket keringat tubuhnya. Runa bahkan yakin, dirinya tidak akan bisa cepat untuk tertidur.
Masuk ke dalam kamar, Liam sudah bersandar setengah duduk dan berselonjor di salah satu sisi ranjang. Pria itu sempat menoleh ke arahnya sekilas, lalu kembali fokus pada ponsel di genggaman. Merasa tak perlu berbicara apa pun, Runa menekan saklar, mematikan lampu di kamar. Kendati matanya sudah segar kembali, Runa akan tetap berusaha untuk bisa tidur lebih cepat.
"Mau langsung tidur?"
Kendati lampu kamar sudah dimatikan, Liam masih bisa melihat pergerakan si wanita yang sedang melapisi bantalnya dengan handuk.
"Hm nggak mungkin kan gue matiin lampu terus malah makan."
"Rambutnya nggak dikeringin dulu? Ntar lo pusing."
"Nggak kok, udah biasa. Lagian, nggak ada hair dryer juga di sini."
Liam tidak lagi bertanya, Runa juga tidak lagi menanggapi. Suasana kamar bahkan terasa mencekam kendati ada dua penghuni di sana. Yang satu sibuk berusaha untuk tidur, sedangkan yang satunya lagi sibuk membalas pesan teman-temannya.
"Mau pindahan kapan?"
Matanya kembali terbuka. Dengan tergesa, Runa memiringkan daksanya pada Liam Liam yang kini pria tersebut tengah menoleh kaget ke arah wanita tersebut.
"A', orang tua lo kayaknya terlalu berlebihan deh. Orang mah nikah dikasih hadiah kulkas kek, mejikom kek, seprai kek. Lah ini? Rumah?!"
Liam juga baru diberitahu, berbarengan dengan Runa selepas acara makan-makan selesai. Pria itu sama sekali tidak mengetahui rencana orang tuanya. Tidak tahu pula bentukan rumahnya seperti apa. Yang dirinya tahu, letak perumahan itu terdapat di kawasan yang cukup elit.
Tanpa mertuanya memberikan hadiah berupa rumah pun, Runa yakin bila Liam juga mampu membeli rumah sendiri, kendati tidak seyakin bisa membeli perumahan elit tersebut.
"Ya mau gimana? Udah dibeli juga, tanpa cicilan pula. Rejeki nggak boleh ditolak ye kan."
"Ya iya sih," Runa merengut, lalu kembali ke posisinya untuk merebahkan diri, menatap langit kamar. "Gue seminggu cuti sih, ya paling hari-hari itu. Dan kayaknya nggak bisa sehari langsung pindahan."
"Mau dibantuin?"
Kali ini, Liam sudah mematikan ponselnya, menaruh di bawah bantal, menyamakan posisi tubuhnya seperti Runa.
"Nggak perlu. Bisa sendiri."
"Oke."
Kendati perjodohan, pernikahan keduanya memang sangat resmi, tidak ada kontrak pula yang mengikat keduanya. Tapi, anehnya, semua terasa begitu asing, gamang, dan kaku. Apa memang rasanya harus begini?
Sepertinya memang harus begini, sebab tidak ada cinta yang mengikat keduanya sejak awal. Tidak seperti adiknya maupun kakaknya yang sudah berpacaran cukup lama, hingga pada akhirnya memutuskan untuk menikah dengan pasangannya masing-masing. Perasaan mereka pasti bahagia setelah menyatukan hubungan dalam pernikahan, bukannya malah merasa gamang seperti dirinya saat ini.
Lagipula, siapa yang berani jamin bila Liam benar-benar sudah putus dengan kekasihnya tersebut? Bila sudah putus pun, masih ada kemungkinan belum bisa melupakannya, kan?
Runa pun juga begitu. Rasanya, dia masih belum menerima bila masa lajangnya sudah terlepas sejak tadi pagi. Dirinya merasa bahwa masa bebasnya perlahan akan terenggut. Rasanya seperti mainan kesukaannya direbut paksa oleh orang lain.
"Lo kalau lagi pacaran emang kaku begini, ya?" Runa memecah suasana, membuat pria di sampingnya itu menolehkan kepala.
"Lo juga kalau lagi pacaran suka kaku begini? Atau ternyata malah belum pernah pacaran?"
Si wanita mendengus kesal. Bukannya menjawab, malah membeo pertanyaan yang sama, ditambah pertanyaan yang menusuk pula.
"Lo maunya kita kayak gimana?" Liam kembali bertanya. Tadi dia cuma bercanda saja, habis suasananya sepi banget kayak hutan.
"Ya kayak biasanya aja. Cuma bedanya sekarang kita udah satu rumah, dan satu kamar."
"Hmm begitu ya."
Tak ada lagi konversasi yang menggaung. Bahkan, helaan napas saja terasa begitu keras terdengar. Perlahan, satu per satu dari mereka mulai saling memunggungi, berusaha meraih mimpi secepat mungkin sebab hanya itulah cara termudah untuk melenyapkan apa yang sudah terjadi hari ini--kendati bila dalam keadaan terbangun kembali, memori itu masih ada.
***