enam puluh

272 33 3
                                    

"Kenapa minta maaf? Lo merasa bersalah?" timpal Deni dengan nada sarkas.

"Deni."

Arin kembali memperingati, namun hal tersebut tak membuat Deni gentar sama sekali.

"Sejak kapan lo tau?"

Runa tahu suatu saat dirinya pasti akan mendapatkan pertanyaan macam itu. "SMA kelas tiga, mungkin? Berarti lo masih SMP."

Deni mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuhnya, meremat seprai dalam genggamannya yang cukup kuat.

"Kenapa lo baru kasih tau sekarang? Kenapa dari dulu lo nggak pernah bilang?"

Runa tersenyum pias mendengar pertanyaan tersebut. "Mama ..." sahutnya dengan nada pelan. "Mama yang suruh gue buat nggak kasih tau kalian. Dulu gue udah pernah mau kasih tau kalian, tapi Mama ngelarang gue. Bahkan gue sampai bikin pilihan untuk keluar dari rumah atau kasih tau tentang kelakuan ayah ke kalian, tapi mama cuma bisa diem. It's just ... mama terlalu sayang sama kalian, sampai gue udah pergi pun mama nggak pernah berusaha buat gue tetap tinggal di rumah."

Runa merasakan rematan di tangannya. Dia hanya melirik ke arah tangan sang kakak yang mungkin sedang berusaha memberinya kekuatan. Namun sepertinya sia-sia saja. Obrolan seperti ini justru semakin menghabiskan energinya.

"Tapi di sisi lain gue bersyukur, setidaknya gue merasa lebih bebas setelah keluar dari rumah." Runa menghela napas dengan pelan. "Kalau bisa milih, kayaknya gue lebih milih buat jadi kalian yang nggak tau apa-apa. Setidaknya, mungkin gue masih bisa ngerasain hidup tenang, nggak punya trust issue sama pasangan, atau khawatir soal masa depan, walaupun ujungnya kita sama-sama hancur."

Isakan Arin kembali terdengar, dia bahkan tak mampu untuk sekadar berkata. Sedangkan Deni memilih untuk mengalihkan pandangan ke arah lain. Dirinya sedikit mendongakkan kepala sebab pria itu tak ingin kedua kakaknya melihat tetesan bening mengalir di pipinya.

Mau sedewasa apa pun mereka, ketiganya tetaplah seorang anak yang terluka akibat keegoisan serta ketamakan hati orang tua.

Luka akibat kepergian sang ibu saja belum mengering, dan saat ini mereka justru kembali digoreskan luka yang lebih dalam.

Namun Arin dan Deni sadar, Runa pasti jauh lebih terluka sebab telah memendam hal ini belasan tahun lamanya.

"Maaf," Deni kembali bersuara. Kali ini pria tersebut menunduk, tak lagi peduli bila kedua kakak perempuannya itu melihat tetesan air mata miliknya yang terjatuh membasahi lantai. "Gue yang lebih lama tinggal di rumah ini, tapi gue nggak tau apa-apa. Gue satu-satunya anak laki-laki di rumah ini, tapi gue nggak bisa ngelindungin kalian."

Runa terdiam saat mendengar penuturan adik lelakinya itu. Deni; pria yang dirinya kenal sebagai sosok tak acuh, sosok yang bahkan sering beradu mulut dengannya; kini menunduk dengan lemah, bahkan tanpa ragu mengeluarkan air mata di hadapannya.

"Kak Runa ..." Tatapannya teralihkan saat mendengar Deni memanggilnya dengan embel kata 'kak', di mana hal tersebut menjadi hal yang langka untuk didengar rungunya. "Maaf kalau selama ini gue nggak pernah peka. Maaf karena gue nggak tau lo menderita terlalu lama. Maaf ..."

"Den," Runa langsung menyela ucapan pria itu. "Nggak perlu minta maaf. Bukan lo yang salah." Wanita itu menghela napas sejenak. "Seharusnya gue yang terima kasih sama lo dan Vanka karena udah jagain mama di sini. Maaf ... karena gue malah pilih buat kabur dari rumah."

"Maafin Kakak, Run ..." Kali ini Arin bersuara kendati dirinya masih sesenggukkan. Arin kembali memeluk Runa sebab wanita itu benar-benar merasa bersalah. Tiba-tiba dirinya merasa tidak becus sebagai seseorang kakak yang paling tua.

Tiba-tiba Runa tertawa pelan, merasa lucu sekaligus miris dengan hal yang menimpa ketiga bersaudara ini. "Kenapa kita jadi ajang saling minta maaf, ya? Harusnya orang yang punya kewajiban untuk minta maaf itu ayah, 'kan? Apa tadi dia minta maaf sama kalian pas gue lagi nggak sadar diri?"

Arin dan Deni hanya terdiam. Namun tanpa keduanya menyahut pun, Runa sudah tahu jawabannya.

***

Liam memang sengaja memberikan waktu pada tiga bersaudara tersebut untuk saling meleburkan emosi satu sama lain. Namun bukan berarti Liam benar-benar pergi meninggalkan mereka bertiga. Pria itu masih setia menunggu di area depan kamar, hingga Arin serta Deni pun keluar dari kamar sang istri.

Tak ada teriakan, tak ada jeritan. Namun, wajah sembap dari dua iparnya tersebut menunjukkan bahwa mereka sama-sama terluka.

Setelahnya, Liam pun segera masuk dan menghampiri sang istri yang kini sedang bersandar di kepala ranjang; menatap tanpa arah bahkan tak berkedip sedikit pun saat Liam mendekati dirinya.

"Hei," sapa Liam sembari menggenggam tangan wanita tersebut. Dirinya berusaha untuk menarik atensi agar Runa tak lagi menatap mengawang. "Capek?"

Awalnya Runa tak lagi ingin menangis, dia sudah terlalu lelah. Namun pertanyaan sederhana itu justru kembali memantik titik sensitifnya.

Liam pun langsung menaiki ranjang dan menarik wanita itu dalam dekapan.

"Let it out, sayang, jangan ditahan," ucap sang pria yang membuat Runa menyengkram baju milik suaminya. Dalam isakannya, Runa berusaha untuk meredam tangisannya di dada sang pria. "Kamu hebat hari ini. Kamu hebat udah mau ngelawan trauma kamu. Makasih karena udah berusaha semaksimal mungkin."

"K-kenapa Ayah j-jahat banget, 'A ...?" Kendati terbata, Runa berusaha untuk mengeluarkan isi hatinya. "Kenapa A-ayah jahat banget sama M-mama?"

Liam tidak bisa menjawab. Walaupun sejak awal dia menunggu obrolan antara anak dan ayah itu, Liam tidak ingin menguping; sehingga dia tidak tahu hal apa saja yang dapat memicu sang istri menjadi seperti ini.

Pun bukan dirinya tak ingin menanggapi. Liam merasa bahwa hanya dengan mendengarkan menjadi salah satu cara untuk menenangkan wanita tersebut. Namun bukan berarti Liam benar-benar hanya mengambil sikap diam. Pria itu tak henti-hentinya memberikan afeksi lewat sentuhan tangan atau mengecup puncak kepala sang istri.

"Aku yang sebagai anaknya aja sakit h-hati pas tau alasannya ..." Runa menjeda sejenak. "K-kalau mama tau, p-pasti mama bakalan sakit hati banget, 'kan?"

Entah dirinya dapat melewati trauma itu dengan baik atau tidak. Berhadapan dengan pencetus stressor memang benar-benar menguras habis energinya.

Namun, yang jelas, untuk saat ini ketakutan justru kembali melanda dirinya.

Apakah rumah tangga miliknya akan baik-baik saja untuk tahun-menahun ke depannya?

Apakah Liam akan terus mencintai dirinya jika fisiknya tak lagi menarik dalam pandangan?

Apakah ... pria itu tidak lelah menghadapi wanita sakit seperti dirinya?

Jujur, Runa takut sekali, sebab dirinya sudah terlalu bergantung pada pria itu.

Jika memang suatu saat Liam meninggalkan dirinya, kepada siapa lagi dirinya bisa bersandar?

***

whelve [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang