Dirinya menyesal telah menghidupkan kembali nyawa ponsel miliknya; mendapati banyak panggilan tak terjawab, juga notifikasi pesan. Namun, tak perlu lagi dilihat satu per satu, dirinya sudah mengetahui siapa yang menjadi peneror ponselnya kali ini.
Tentu saja dari ibu negara tercinta.
Sesaat, ponselnya kembali berdering, tapi baru kali pertama nama tersebut muncul setelah beberapa hari absen dalam layar ponselnya. Sebenarnya, ia malas mengangkat panggilan tersebut; sebab pasti berujung pada keluarganya yang memohon pada pria itu.
"Aish."
Terpaksa.
"Lo di mana, Boncel?"
Sapaan yang amat ramah.
Duh, kebal deh pokoknya kalau dikatain sama Liam, karena bahkan dirinya juga suka dibully sama cowok itu dari zaman dia masih suka pakai kolor corak Upin dan Ipin.
Sampai saat ini, keduanya masih berhubungan dengan baik, walau tidak seintim sebagaimana yang para ibunda inginkan. Lagipula, para ibu-ibu itu juga tak dapat melihat perkembangan keduanya secara langsung.
Berjalan saja sesuai alur. Runa percaya, bahwa Liam akan menepati janjinya untuk membatalkan perjodohan ini.
"Taksi," balasnya parau.
Runa bahkan lupa bahwa dirinya belum menyentuh air mineral sejak semalam, membuat tenggorokannya sangat kering dan berujung tersendat. Berbicara saja rasanya sangat malas.
"Lo sakit?"
"Ngapain nelpon?"
Yah, sebenarnya nggak sakit juga, sih, hanya lemas dan kelelahan. Tapi, toh dirinya tak perlu untuk membeberkan keadaannya kali ini pada Liam.
"Lo ke mana deh semingguan ini ngilang? Ke alam barzah lo hah?!"
Runa tak menanggapi kendati dirinya tahu bahwa Liam hanya bercanda, tapi nggak ada lucu-lucunya sama sekali. Dia bahkan hanya menguap saking mengantuknya.
"Hmmm.... emangnya gue perlu lapor ke elo, ya?" Runa kembali dengan sifat menyebalkannya. "Dah, ah, gue lagi males ngomong banyak. Kalau emak gue nelpon situ, bilangin anaknya ini baik-baik aja, lagi pengin hibernasi, nggak mau diganggu. Mabok tau nggak mabok abis turun dari pesawat? Apalagi sekarang nyium bau stella jeruk di taksi, bye!"
Yah, dirinya memang nggak mengabarkan apapun bahkan pada keluarga, terkait dinasnya yang seminggu lalu bertujuan di negara Jepang.
Sebenarnya, sudah sering sih dirinya tak memberi sekadar kabar kepergiannya, sebab itu hanya menyusahkannya saja, dengan alasan utama; pasti ada yang ribet minta oleh-oleh. Padahal, di sana ya dia bekerja, bukan jalan-jalan seperti apa yang dipikirkan oleh orang lain.
Jadi, untuk minggu ini, mangkir di pertemuan keluarga sepertinya lebih baik, sebab tubuhnya benar-benar terasa remuk; dan hanya membutuhkan kasur serta ketenangan waktu untuk memulihkan tenaganya.
🌜🌛
"Itu anak kebiasaan, deh, kalau pergi pasti nggak pernah bilang-bilang," omel mertuanya, jelas-jelas pelaku lagu nggak ada di sini, tapi dirinya yang kena imbas. "Coba kamu telpon lagi, Lim, suruh itu anak pulang ke sini."
Liam memang sedang mampir ke rumah mertuanya ini, tapi tentu saja karena disuruh oleh bundanya. Pokoknya, ada saja yang membuatnya harus menyambangi rumah ini. Padahal, dirinya saja sudah tak bertemu sapa dengan Runa lebih dari seminggu lamanya.
"Kayaknya dia matiin hapenya, Tante, udah nggak kesambung juga pas saya telpon lagi."
Sebenarnya, pria itu berbohong. Sebab, berdasarkan ketajaman rungunya tadi, dirinya merasa bahwa Runa dalam kondisi yang sangat melelahkan, apalagi suaranya terdengar seperti sedang di ujung sakaratul maut. Jadi, mungkin lebih baik wanita itu jangan diganggu dulu, dan tetap membiarkannya untuk beristirahat di apartemennya sendiri.
"Dia tuh kalau hibernssi, suka keenakan dan bablas, makannya juga pasti dilewatin. Nggak heran makin lama tuh anak makin kecil aja badannya."
Liam terdiam sejenak. Susah juga ya mengawasi anak jika tidak ada di rumahnya sendiri. Dia bahkan bingung, kenapa juga Runa menyewa apartemen? Di saat bahkan secara hukum wanita itu masih berada dalam tanggung jawab kedua orang tuanya, kendati Runa juga sudah bekerja dan dapat menyanggupi kehidupannya sendiri.
Ah, kayak lo nggak punya apartemen sendiri aja, Lim.
Selama belum kawin, anak masih menjadi tanggung jawab orang tua.
Tapi, bagi pria berduit macam Liam, dirinya lebih ke arah tahu diri untuk tidak lagi menyusahi orang tua, maka dari itu dirinya membeli apartemen; sekaligus sebagai hunian masa depan bersama sang calon istri; yang masih berada dalam ambang ketidakjelasan itu.
"Kamu bisa anterin makanan ke apartemennya Runa, Lim? Udah tau kan apartemennya di mana?"
Ah, terkutuklah untuk dirinya yang sulit untuk melakukan penolakan, apalagi pada orang yang lebih tua. Tapi, kalau dipikir-pikir, sepertinya lebih baik begitu daripada harus berlama-lama di sini, mengingat, yang ingin ditemui saja tak menunjukan presensinya di rumah ini.
"Iya, Tante, saya tau. Biar saya anterin makanannya."
🌛🌜
Agaknya, kembali berhubungan dengan wanita itu, setelah sekian lama berjarak dengan lebih dari dua dekade, Liam sedikit bisa memahami karakter Runa. Sejujurnya, tidak jauh berbeda saat keduanya masih dalam masa di mana tidur siang yang selalu dikeluhkan anak-anak, tapi dirindukan oleh para orang dewasa.
Sejujurnya, ia tak menyesal juga, saat mengetahui siapa calon istrinya ini, dengan kata lain dirinya bersyukur dapat kembali bertemu si boncel; bocah yang selalu mengusiknya, juga bocah yang paling suka dirinya bully karena keseringan bermain dengan laki-laki.
Tapi, owh, Liam sempat berjengit saat mendapati pintu apartemen dibuka setelah dirinya menekan bel berkali-kali, menatap sang pemilik hunian yang hanya menggunakan tanktop dan celana olahraga yang dirinya yakini merupakan celana olahraga SMA-nya.
Yah, mau sebagaimana tomboynya seorang wanita, bila berpakaian minim, tetaplah dapat menarik atensi matanya untuk takjub.
Liam juga seorang pria dewasa, yang dapat melotot saat perlihatkan pemandangan seperti ini.
Wanita itu menyipit, khas sekali seperti terpaksa untuk bangun dari tidur. Bahkan sepertinya ia tak mengenali siapa yang baru saja mengganggu aktivitas tidurnya dengan terus menekan bel.
"Gue ganggu?"
Butuh beberapa detik, akhirnya kelopak matanya tersebut sedikit melebar; sadar untuk mengetahui pria di hadapannya.
Dirinya membuka mulut, namun tersadar bila saja tenggorokannya tak mumpuni untuk memvokalkan suara. Runa menggerak-gerakkan tangannya, sembari membuka mulut hanya untuk mengeja ucapan.
"Hah? Lo ngapa, Ncel?"
Runa mendesah pelan. Wanita itu kemudian menunjuk mulut, lalu melakukan gerakan seperti menggorok leher, dan melambai-lambaikan tangan; gue-nggak-bisa-ngomong.
Akhirnya, Liam paham. Kemudian, dirinya menunjukkan apa yang dibawa oleh tangannya.
"Dari Tante, nitip ke gue."
Wanita itu memicing ke arah rantang yang dibawa oleh Liam. Tanpa bertanya lagi, yah dirinya juga tak bisa mengeluarkan suara, Runa mengambil rantang tersebut.
"Kata Tante harus diabisin sekarang juga."
"...."
"Jadi, gue tungguin lo ngabisin makanan itu, baru gue bisa pulang, buat sekalian laporan sama Tante."
Runa kembali mendesah, sembari memutar bola matanya. Terpaksa, dirinya membuka lebar pintu apartemen, membiarkan pria itu masuk ke huniannya. Padahal, dirinya bisa saja untuk mengusir Liam saat itu juga. Namun, dirinya tak memiliki tenaga yang lebih untuk berdebat kusir dengan Liam yang pasti akan terus memaksa dirinya untuk mengikuti keinginan pria itu.
🔀⏪▶⏩🔁