"Gimana, Lim? Anak Mama banyak bikin ulah, ya?"
Liam hanya bisa tersenyum tipis. Dia tidak mungkin langsung mengiyakan pertanyaan mertuanya tersebut, kendati memang benar adanya. Akan tetapi, toh semuanya masih bisa dirinya kendalikan. Jadi, masalah rumah tangganya; baik itu kecil atau besar; memang tidak perlu dirinya beberkan, termasuk pada orang tua mau pun mertuanya sendiri.
"Kami baik-baik aja kok, Ma," balas Liam dengan nada pelan.
"Syukurlah kalau begitu," sang ibu mertua menghela napas dengan berat. "Dari sekian laki-laki yang coba Mama kenalin ke Runa, dia cuma luluh sama kamu. Mama tuh takut banget kalau Runa beneran nggak mau nikah sama sekali, takut Runa masih sendiri pas Mama udah nggak ada."
"Jangan ngomong kayak gitu, Ma," sela Liam langsung.
Mendengar ucapan sang mertua mengingatkannya pada pertemuan pertama dengan wanita yang saat ini sudah sah menjadi istrinya. Bukankah saat itu Runa memang mengatakan tidak ingin menikah? Bahkan wanita itu mengucap rasa syukur saat keduanya sama-sama tidak ingin menjalin perjodohan yang sudah direncanakan kedua orang tua mereka.
"Ya Alhamdulillah Mama masih di sini, masih bisa jadi saksi anak-anak Mama menikah semua, apalagi Runa. Mama lega banget rasanya."
Liam dapat melihat binar bahagia dari mata sang ibu mertua, seakan tiada lagi keinginan yang wanita paruh baya itu mau selain melihat semua anaknya sudah memiliki keluarga sendiri.
"Dari ketiga anak Mama, cuma Runa yang paling keras kepala, nggak mau kalah. Mungkin kamu juga sering lihat Mama sama Runa adu argumentasi, ya?" Wanita paruh baya itu malah terkekeh pelan. "Mama sadar mungkin sikap keras kepalanya itu juga karena kesalahan Mama dan ayahnya. Kami kurang kasih perhatian ke Runa, dan efeknya baru terasa ketika dia dewasa. Bukan lagi keras kepala, tapi hatinya juga mulai keras."
Liam tidak bisa membalas apa pun. Yang dikatakan oleh mertuanya memanglah benar. Pertahanan hati sang istri memang sulit sekali untuk dirobohkan, seakan dirinya dilarang untuk menyelami isi hati wanita tersebut. Apakah alasannya memang hanya karena itu? Atau ada hal yang lain?
"Sampai sekarang Runa masih aktif ngerokok ya, Lim?"
Pertanyaan sang ibu mertua membuatnya terkejut, pun pria itu tak langsung menjawab; seakan itu adalah rahasia yang harus dirinya simpan.
"Mama tau kok kalau dia ngerokok," lanjut paruh baya tersebut tanpa menunggu jawaban Liam. "Sejujurnya Mama marah pas pertama kali tau Runa ketahuan ngerokok. Apalagi dia perempuan. Bagi Mama, ngerokok buat perempuan itu hal yang tabu. Tapi akhirnya Mama berusaha pura-pura nggak tau, karena Mama sadar, Runa mungkin cuma mau melepas stres lewat rokok."
Tapi apa? Apa alasan 'stres' yang sepertinya selalu menggelayuti isi kepala wanita tersebut?
"Suatu saat mungkin Runa akan cerita sama kamu, Lim. Mama minta maaf kalau keluarga kami nggak sempurna untuk kamu," Liam mengernyit saat mendengar tutur kalimat tersebut. "Mama benar-benar berharap Runa bisa luluh sama kamu. Jadi, Mama boleh minta tolong, Lim? Tolong jaga anak Mama, ya? Tolong bersabar kalau Runa sudah mengeluarkan sifat keras kepalanya. Tolong ... jadi rumah yang nyaman untuk anak Mama ya, Lim? Karena Mama tau, kami nggak bisa menciptakan hal itu untuk Runa."
***
Liam tak dapat menghitung seberapa lama sang istri menangis, sehingga dirinya membawa wanita itu untuk duduk di atas ranjang; meletakkan posisi kaki Runa di atas pahanya agar dirinya masih leluasa untuk memeluk wanita tersebut dari arah samping.
Kendati saat ini Runa sudah tak lagi menangis, dirinya masih betah untuk menyandarkan kepala di bahu pria tersebut. Deru napas Liam yang terdengar dalam rungu membuatnya cukup tenang.
"Kangen mama," lirih sang istri dengan pelan. Dua kata tersebut seakan mengandung belati yang baru saja menusuk relungnya.
Liam semakin menguatkan rengkuhannya; seakan tengah menghantarkan kekuatan di dalamnya.
"Mama ... beneran udah nggak ada ya, 'A?" tanya wanita itu dengan suara paraunya. Liam tidak menjawab, pria itu hanya berusaha mengusap jejak air mata yang melewati pipi sang istri. "Kenapa nggak aku dulu aja yang pergi? Kenapa harus mama duluan?"
"Hush. Nggak boleh ngomong kayak gitu," tegur sang suami dengan nada pelan. "Mama pergi lebih dulu karena udah ketetapan mutlak, nggak bisa diubah. Sedih boleh, itu wajar. Tapi harus ikhlas, ya? Suatu saat pasti kita ketemu lagi sama mama."
Runa tahu bahwa suaminya itu sedang berusaha menguatkan dirinya, kendati saat ini rungunya terlalu pias untuk sekadar mendengar kalimat yang menenangkan.
"Dah, sekarang waktunya istirahat, ya? Badan kamu pasti capek karena kamu bawa aktivitas terus." Runa hanya bisa menghela napas dengan berat, kemudian menurunkan kedua kakinya dari atas paha Liam.
Pasangan suami istri itu beranjak menuju kamar mandi; menyikat gigi serta membersihkan wajah sebagai rutinitas sebelum tidur. Tak ada ucapan yang terlontar. Kendati begitu, mata Liam terus saja mengawasinya; seakan pria itu takut tiba-tiba sang istri ambruk tak bertenaga.
Untungnya hal itu tak terjadi. Lantas keduanya kembali menuju ranjang. Liam mematikan lampu utama terlebih dahulu dan membiarkan lampu yang berada di nakas tetap menyala. Setelahnya pria itu menyusul masuk ke dalam selimut bersama sang istri.
Seperti biasa, Runa memilih untuk memunggunginya. Namun Liam tak membiarkan momen itu untuk membuat jarak di antara keduanya. Hingga pada akhirnya ia merengkuh sang istri dari belakang, membawanya ke dalam dekapan hangat.
Dengan nada rendah miliknya, Liam pun mulai bersenandung dalam dehaman. Mencoba membawakan lullaby untuk membuat istrinya terlelap.
Tubuh Runa tidak bergerak sama sekali, hingga Liam menghentikan senandungnya. Dia mencoba untuk mengintip apakah Runa sudah tertidur atau belum. Namun dirinya justru mendapati sang istri yang masih membuka kelopak matanya.
"Belum bisa tidur?"
"Hmm."
Liam menghela napas dengan pelan, lalu berusaha untuk membalikkan tubuh wanita itu untuk menghadap ke arahnya. Pria itu merapikan rambut yang menutupi sebagian wajah sang istri, menyelipkannya ke belakang telinga. Kemudian tangannya menangkup sisi wajah Runa, mengusap ibu jari tepat di bawah mata wanita tersebut.
Dalam keremangan kamar, Liam dapat melihat bagaimana lelahnya mata sang istri. Liam tahu kalau akhir-akhir ini Runa kembali insomnia. Dia juga sudah berusaha untuk membantu wanita itu tertidur dengan cara menepuk-nepuki punggung, bokong, atau mengelus kepala. Namun justru berakhir dengan dirinya yang terlelap lebih dahulu.
"Mau aku bikinin susu?" tawar pria itu.
Runa pun menggeleng. Dia merasa bahwa susu tak akan mempan untuk membuatnya tertidur. Jadi, percuma saja.
"Terus gimana? Kamu nggak kasihan sama tubuh kamu? Tubuhmu juga perlu istirahat, Na."
Kalau memang bisa tidur, Runa juga akan melakukannya sejak awal. Bahkan saat ini tubuhnya seperti sedang melakukan demo akibat tak pernah diistirahatkan. Di sisi lain, matanya juga terasa begitu lelah, namun otaknya terus saja berjalan; seakan melarangnya untuk tertidur.
"Aku butuh ... obat."
Liam mengernyitkan dahinya. Apakah insomnia yang dialami oleh Runa sudah mencapai akut hingga hanya obat yang dapat menghilangkan penyakitnya tersebut?
"'Aa bisa hubungin Adit?" Runa bertanya dengan nada cemas. Namun dia rasa ini adalah waktu yang tepat untuk memberitahu suaminya.
"Siapa Adit?"
"Dia ... psikiater aku."
***
mungkin akan selesai dalam 2 sampai 3 part lagi