Liam layaknya seorang pengasuh balita. Dia malah ribet bolak-balik sendiri untuk mengawasi Runa yang bahkan sama sekali tidak bergerak dari posisi tidurnya. Wanita itu sudah terlelap setelah cukup lama mencoba untuk tertidur. Tahu nggak sih rasanya pusing ditambah capek tapi otak masih jalan? Ya begitulah. Makanya, cuma obat satu-satunya yang bisa ngebuat Runa pulas seperti sekarang.
Karena Liam juga capek bolak-balik ke kamar, akhirnya pria itu memutuskan untuk bekerja di kamar. Dia sudah selesai mengajar belasan menit lalu untuk kelas sore. Saat ini, dia hanya mengerjakan pengurusan jurnal yang sepertinya tidak akan mengganggu pulasnya si putri tidur.
Sumpah, beneran. Runa kayak lagi simulasi mati. Satu indikator yang ngebuat Liam yakin kalau wanita itu masih hidup adalah dari dadanya yang naik-turun perlahan; maksudnya dia masih bernapas, gitu. Ke mana weh pikiranmu.
Sudah waktunya makan malam, dan waktunya Runa untuk minum obat. Liam sudah memesan bubur ayam lewat aplikasi online. Malas juga kalau masak sendiri, takut gagal dan malah nggak kemakan.
Tidak hanya membeli untuk dirinya saja, tapi dia juga membelikannya untuk Runa. Mau dilihat bagaimana pun, buah tidak akan dapat mencukupi kebutuhan energi.
Liam sudah membawa dua mangkok bubur ke kamar. Dia mau makan di kamar juga, sekalian mengontrol wanita itu agar menghabiskan makanannya.
"Na?" panggil Liam setelah menaruh dua mangkok bubur yang dibawa olehnya. Saat melihat dahi Runa yang banyak menitikkan anak keringat, Liam reflek mengusapkan tangannya pada dahi wanita itu--hingga membuat Runa mulai terusik dari tidurnya.
"Bangun, Na. Makan dulu, ayo, biar bisa minum obat."
Runa tidak menjawab, bahkan tidak membuka kelopak matanya. Namun, wanita itu mengeluarkan raut terganggu sekaligus meringis.
"Ayo bangun dulu, makan, terus minum obat. Abis itu baru boleh tidur lagi."
"Pusing ..."
"Iya," respon Liam dengan nada sabar. "Makanya makan dulu, baru minum obat biar pusingnya ilang."
Liam membantu menyangga kepala wanita itu dengan tambahan bantal. Niatnya memang ingin menyuapi, biar sekalian bisa dipaksa. Kalau nggak begini, mungkin satu sendok pun nggak akan masuk ke dalam mulut.
"Minum dulu," Liam menyodorkan gelas ke arah bibir Runa. Sambil tetap memejam, Runa pun turut memegang gelas tersebut walau si pria terus saja membantunya untuk minum.
"Nah, waktunya makan."
Barulah wanita itu membuka mata dan melirik nakas di sampingnya. Sejujurnya, dia sudah dapat mencium wangi kari dari bumbu bubur ayam tersebut, belum lagi bubur merupakan salah satu makanan favoritnya yang nggak bakalan bikin bosan di lidah. Sayangnya, kali ini lidahnya lagi sedang demo; mengacaukan indera perasanya hingga membuat dirinya pun tak tertarik mencicip makanan favoritnya tersebut.
"Aaaa."
"Pisang aja."
Liam berdecak, sudah tahu kalau Runa bakalan begini. "Pisang mulu. Situ saudaranya monyet, yah?"
Kalau lagi mode sehat, pasti Runa bakalan mencak-mencak. Sayangnya, Liam masih aman karena wanita itu hanya menatapnya dengan raut datar.
"Makan bubur dulu, baru pisang. Ini loh enak, nggak perlu susah-susah ngunyah, tinggal lep."
Untuk bubur milik Runa, Liam sengaja memesan polosan tanpa toping. Cuma dikasih bumbunya aja, biar Runa nggak kesusahan untuk mengunyah. Cuma, kalau memang wanita itu mau dengan topingnya juga, Liam tinggal kasih miliknya aja.
"Enek."
"Dicoba dulu sepuluh suap, baru nanti boleh makan pisang."
Sepuluh suap apanya? Segitu mah bisa menghabiskan satu mangkok bubur.
Runa pasrah, membiarkan Liam yang terus saja menyuapinya walaupun dia sudah melakukan gerakan tutup mulut.
***
Tidur Liam terusik, antara mimpi atau memang kenyataan. Dia pikir, ini masih di alam bawah sadarnya atau bahkan sedang mengalami lucid dream. Namun, setelah melihat sekeliling dan menajamkan indera pendengaran, dia yakin bahwa tangisan yang didengar olehnya berasal dari Runa.
Liam segera terduduk, mendekat ke arah Runa dan menyingkirkan rambut yang sedikit menutupi wajah wanita itu. "Hei, hei, kenapa nangis?"
Pria itu mulai panik lantaran Runa tidak sedikit pun membuka kelopak matanya. Namun, melihat Runa terus saja menyengkram rambutnya, Liam berpikir bahwa istrinya itu kembali dilanda rasa pusing.
Langsung saja Liam mengelus kepala wanita itu, sembari berdesis pelan untuk menenangkan sang istri. "Ssssssh pusing lagi, ya? Iya, sabar, nanti pusingnya hilang."
Runa masih saja meringis. Kendati kepalanya sudah dielus-elus oleh Liam, kedua tangannya masih saja menarik surainya sendiri; merasa frustasi sebab pusingnya tak kunjung menghilang.
"Jangan ditarik begitu, nanti makin pusing," Liam mencoba melepaskan cengkraman tangan Runa dari rambutnya. Untung saja wanita itu menurut walau masih terisak. "Ayo, berhenti dulu nangisnya, biar pusingnya juga berhenti," tangannya tak luput untuk terus mengelus kepala wanita itu.
Liam berpikir bahwa Runa merupakan salah satu wanita dengan karakter yang kuat; terkesan arogan dan cuek. Namun nyatanya, dia juga manusia yang bisa menangis. Liam sendiri merasa nggak tega mendengar isakan istrinya tersebut.
"Mau minum obat pusingnya lagi?"
"Hng ..."
Liam memang sudah diberitahu mengenai peraturan meminum obat, apalagi dia sendiri yang menebus obat milik Runa tersebut. Cuma, kalau melihat kondisi istrinya yang kesakitan, dia jadi ikut-ikutan sedih.
Liam bangkit dari kasur, memutarinya menuju nakas di samping Runa. Sebelumnya, dia menyalakan lampu terlebih dahulu, baru melihat-lihat mana obat yang dikhususkan untuk rasa pusing. Untung saja Liam sudah menyiapkan teko beserta gelas di nakas, sehingga dirinya tak perlu repot-repot lagi keluar kamar.
Setelahnya, Liam membantu Runa untuk duduk, membantu memegangi gelas saat Runa meraih obat tersebut untuk diminum.
Setelah meminum obat, Runa kembali ke posisi tidur. Liam pun mematikan lampu dan kembali berbaring di sisi Runa.
"Sini, biar tidurnya enak."
Liam menyelipkan tangan kanannya di leher sang istri, kembali mengelus pelan kepalanya sembari mendekap. Tangan kirinya pun turut menepuk-nepuk bahu Runa. Untungnya wanita itu tidak protes selagi Liam semakin memotong jarak di antara mereka berdua.
"Di mata gue, lo tetep kayak anak kecil, Na," lirihnya pelan. "Jangan kelamaan sakit, biar kita bisa debat lagi."
Perlahan, tidak ada lagi isakan dari sang istri. Napasnya juga mulai teratur, menandakan bila wanita itu sudah menjemput lelapnya kembali.
"Cepet sembuh," Liam mengecup dahi wanita itu lalu ikut terlelap tanpa melepaskan dekapannya.
***