Belum. Semuanya belum selesai, namun rasanya Runa ingin menghancurkan diri sampai menjadi serpihan tak berarti.
Isakan tangisnya tak mampu mengurangi sesak yang menekan dada. Runa kira dirinya mampu menghadapi semuanya seorang diri. Namun nyatanya dia terlalu naif.
Saat mendengar alasan itu saja rasanya Runa sakit hati bukan main, bagaimana jika mama yang mendengarnya secara langsung?
Tuhan, tolong bawa mama ke surga, bawa mama pergi yang jauh. Jangan biarkan mama mendengar ini semua.
Perlahan, Runa melepas kedua tangannya; memperlihatkan wajahnya yang merah dan sembap.
"Sekarang Ayah nelantarin ibu dan anak itu? Sampai mereka dateng ngemis-ngemis ke sini karena udah nggak dapet nafkah dari Ayah? Atau ternyata Ayah ada istri baru lagi ... karena alasan yang sama?"
Lagi dan lagi pria paruh baya itu tak membuka suara. Runa mendongakkan kepalanya sembari tertawa miris. Ingin rasanya dia berteriak, namun dirinya tak ingin membuat kegaduhan yang dapat menarik atensi kedua saudaranya menuju ke taman belakang rumah.
Dirinya kembali menutupi wajah dengan kedua tangan, berusaha meredam suara tangisnya yang sesenggukan.
"Run-a malu, Y-yah, punya orang t-tua kayak A-yah ..." ucapnya terbata-bata, namun kalimat itu dapat terdengar dengan jelas dalam rungu pria paruh baya di hadapannya tersebut.
Secara tidak langsung, ayahnya menjadikan wanita sebagai objek pemuas nafsu belaka. Memikirkan hal tersebut membuat perutnya terasa seperti diaduk-aduk, bahkan saat ini belakang kepalanya seperti sedang ditusuk paku yang dihantam dengan palu.
Runa kembali melepas kedua tangannya; berusaha tampak tegar kendati raut wajahnya merepresentasikan titik terlemahnya.
"Kenapa lo ngomong begitu ke Ayah?"
Wanita itu sempat berhenti bernapas tatkala mendengar suara yang sangat dikenali olehnya, membuat Runa menurunkan kedua tangannya dari wajah dan refleks menoleh ke sumber suara.
Bukan, bahkan bukan hanya Deni yang berdiri dengan raut wajah bingungnya. Di sana juga ada sosok Arin yang turut berekspresi sama.
Awalnya kedua bersaudara itu baru saja keluar dari ruang kamar masing-masing, hendak beranjak menuju ke arah dapur. Namun saat melihat Liam yang tengah berdiri di ambang pintu menuju taman belakang, membuat keduanya penasaran, hingga dua bersaudara itu mendengar isakan yang sangat jelas mereka kenali.
Runa pun tersenyum pias menatap dua saudaranya tersebut. Kalau sudah begini, lebih baik memang dibongkar sekalian saja, 'kan?
"Sini, Kak, Den," ajak Runa dengan nada paraunya. "Ayah mau ngomong sesuatu yang penting buat kalian, buat kita. Iya 'kan, Yah?"
Runa kembali menoleh ke arah sang ayah, memberikan tatapan mengejek yang membuat pria paruh baya itu tak mampu sekadar berucap kata.
Arin dan Deni tak memilih untuk membalas, sebab mereka merasa bahwa konversasi antara Runa dengan ayah cukuplah serius. Kedua bersaudara itu pun lantas melajukan langkahnya dan mengambil posisi duduk mengapit Runa.
"Sok atuh, Yah," Runa memulai pembicaraan. "Mumpung Kak Arin sama Deni ada di sini, mereka ada di depan Ayah. Rasanya nggak adil 'kan kalau cuma Runa yang tau?"
Runa mengangkat sudut bibirnya tatkala pria paruh baya itu masih saja membungkam mulutnya.
Pengecut. Ayahnya pria yang pengecut.
"Ini ada masalah apa? Kenapa lo nangis, Run?" Deni yang tak sabaran pun kali ini turut bersuara. "Apa ini ada hubungannya sama mama?"
Tepat sasaran, sehingga yang bisa Runa lakukan hanya berdeham tanpa sedikit pun memindahkan tatapannya pada sang ayah.
"Tapi cuma Ayah yang berhak ngasih penjelasan. Iya 'kan, Yah?" todong Runa lagi, namun pria paruh baya itu sama sekali tak memiliki keberanian untuk mengakui dosa yang telah diperbuat olehnya. "Masa harus Runa yang kasih tau mereka? Yang berbuat 'kan Ayah, bukan Runa."
Arin dan Deni dapat merasakan tensi kuat yang melingkupi suasana. Bahkan kedua bersaudara itu juga sadar dengan nada sarkas yang digunakan oleh Runa.
"Ayah ini laki-laki apa bukan?" Runa masih berusaha untuk membuat sang ayah terpojok. "Pengecut banget."
"Runa," Arin berusaha memperingati. Dia sendiri juga tidak tahu penjelasan apa yang harus dirinya dengar. Namun dia rasa Runa mulai kelewat batas dengan ucapannya. "Kamu kenapa begini, sih?"
Runa tertawa geli saat mendengar pertanyaan sang kakak. "Aku? Begini? Karena Ayah."
Hening kembali mendominasi, namun pertanyaan demi pertanyaan justru mulai bermunculan di benak Arin dan Deni.
Hingga pada akhirnya, Runa pun menghela napas panjang sembari mendongak; berusaha mencari kekuatan lebih untuk membuatnya tetap terlihat tegar kendati jiwanya sudah hancur berantakan. Jujur saja dia sudah tak mampu untuk sekadar berada di satu lingkungan dengan sang ayah. Dia membutuhkan sandaran; dia membutuhkan Liam.
"Kalian mau tau?" Runa kembali bersuara. "Keponakan-keponakan aku yang masih kecil; Juli, Sarah, Vino; punya tante baru, tante yang bahkan usianya lebih kecil dari Juli, Vino, apalagi Sarah. Lucu ya keluarga kita?"
Deni dan Arin berusaha mencerna ucapan Runa. Sahutan demi sahutan pun mulai bermunculan, namun rungunya justru terasa senyap seakan keduanya tak bersuara kendati bibir mereka bergerak untuk melanturkan banyak pertanyaan.
Memori terakhir yang dapat dirinya ingat hanyalah kegelapan dan kesunyian yang merenggut raganya.
Wanita itu sudah mencapai batas kelemahannya.
***
Aroma minyak kayu putih menyeruak di penghidunya, membuat sensori ambang sadarnya mulai aktif kembali. Perlahan, Runa membuka kelopak matanya, menyadari bahwa kini dirinya berada di dalam ruangan miliknya.
Bukan hanya dari aroma minyak kayu putih saja yang mampu menyadarkannya dari alam bawah sadar. Dirinya turut mendengar isakan kecil disertai pelukan erat yang mendekap tubuhnya.
Runa menoleh sejenak, menyadari bahwa seseorang yang memeluknya bukanlah Liam, melainkan sang kakak. Perlahan, wanita itu membawa tangannya menuju lengan Arin, menepuknya dengan gerakan pelan.
"Kenapa Kakak nangis?" tanya Runa dengan suara paraunya.
Arin yang baru menyadari Runa sudah siuman pun langsung menghentikan isakannya. Namun itu hanya sementara, setelahnya wanita itu kembali melanjutkan isakannya yang kali ini terdengar lebih kencang.
Pelukan Arin semakin mengencang, sedangkan Runa hanya bisa menatap langit-langit kamarnya dengan perasaan yang hampa.
Apakah saat ini dirinya sudah merasa lega? Atau justru bertambah goresan di luka lamanya yang bahkan belum mengering sampai saat ini?
Arin masih saja menangis di saat pintu ruangannya terbuka, menampakkan sosok Deni yang tengah membawa segelas air putih. Deni sempat berhenti di ambang pintu tatkala menyadari bila Runa telah sadarkan diri. Setelahnya, pria itu kembali melangkah dan berjalan menuju sisi ranjang.
"Kak Arin, berhenti dulu. Biarin Runa minum."
Perlahan, Arin berusaha untuk menghentikan tangisannya. Wanita itu juga melepas pelukannya, kemudian berusaha duduk dan membantu Runa untuk bersandar di kepala ranjang.
Tanpa kembali berucap, Deni hanya menyodorkan gelas yang berada di genggamannya. Arin meraih gelas tersebut, membantu Runa dengan mendekatkan gelas ke arah mulut wanita itu.
Di saat Runa masih menenggak air, Deni pun mendaratkan bokongnya di sisi ranjang. Tujuannya ke ruangan ini memang bukan sekadar membawakan air minum untuk sang kakak.
"Udah lebih enakan? Udah bisa diajak ngobrol?"
"Deni ..." Arin berusaha menghentikan niat adik bontotnya tersebut.
Bukan apa-apa. Mungkin mereka berdua memang terguncang setelah mengetahui perbuatan sang ayah yang selama ini selalu tersimpan rapat. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa Runa menjadi salah satu pihak yang justru memiliki luka lebih dalam.
Runa menghela napas cukup dalam sembari menunduk. "Maaf ..."
***