Barangkali, benang takdir memang sedang mengusutkan diri, berusaha untuk menyusahkan manusia yang memilikinya. Runa tak tahu dosa besar apa yang dilakukannya dahulu kala, hingga kini ia mendapati takdir buruk rupa yang semakin menyulitkan kehidupannya.
Ah, lagipula, siapa juga yang bisa mengenal orang di masa lalu, saat kini yang ditemuinya justru sudah dalam bentuk matur? Tak ada lagi binar bocah, kendati pria di sampingnya ini bahkan masih cocok untuk duduk di bangku perkuliahan semester pertama. Nampak polos, tapi ternyata sudah cocok untuk memiliki dua buntut.
Yah, siapa yang sadar kalau ternyata ia juga sedang membicarakan dirinya sendiri?
"Canggung," ucapnya memecah keheningan, sebab telah memisahkan diri dari para wanita paruh baya. "Dari dulu nggak pernah item, kenapa sekarang malah makin bening?"
Sungguh. Sejujurnya, banyak sekali kalimat yang bercokol dalam pikirannya. Namun, hanya kalimat barusan yang mungkin dapat menghilangkan atmosfir kecanggungan di antara keduanya.
Nggak tahu, ya, merasa canggung saja, padahal keduanya sudah beradu debat tanpa merasa malu pagi tadi.
Padahal kalau diingat-ingat, keduanya memang begitu dekat saat masih kecil; sebenarnya sih Runa yang sering mengintilinya di saat dirinya merasa tak asyik bila bermain dengan teman sesama jenisnya.
Entah bermain layangan, kelereng, bola kasti, atau permainan fisik lainnya, Runa tak pernah absen dengan kegiatan para bocah laki-laki di kompleksnya. Sayang, dua tahun kemudian, ia harus pindah rumah secara buru-buru, hingga tak sempat pamit dengan para teman mainnya tersebut.
"Lu--"
"Runa, A', sekarang panggil gue Runa. Lo emang masih ribet ngeja huruf R? Kayaknya enggak, deh."
"Sori nggak kenal kamu dari awal."
"Ngapain minta maaf?" Wanita itu justru mendelik, tak paham dengan sikap Liam barusan. "Gue juga nggak kenal elo kali pas kemarin ketemu. Geer banget lo kalau gue inget sama lo! Hahaha! Plis deh, A', nggak usah jaga image di depan gue. Walaupun cuma dua tahun, gue masih inget borok lo, hahahaha--"
"Bangke ya emang lo dasar."
Lalu, keduanya saling melempar tawa.
"Geli gue denger lo pake kamu-kamuan. Biasa aja kali, bukan bocah lagi ini."
Liam pun berdecak. "Kebiasaan profesi dosen, makanya jadi formal."
"Apaan dosen ngomongnya pake bangke?"
"Itu hanya untuk orang yang nggak tahu diri macam Anda, Boncel."
"Gue nggak boncel, ya!"
"Tapi gue lebih tinggi daripada lo, Boncel."
"Tinggi lo bahkan bukan standar buat laki-laki, A', berkacalah."
"Lo lebih pendek dari gue, berarti lo boncel."
Tolong ingatkan kedua orang ini, bahkan para keponakan lebih anteng daripada manusia-manusia berumur lebih dari tiga puluh tahun ini.
"Ncel, lo nggak berubah deh."
"Apanya?"
"Masih keliatan keling. Main layangan mulu ya?"
"Weh sialan ngana!"
Runa tetaplah Runa, yang memang sering main tangan. Bahkan perut pria di sampingnya sudah menjadi samsak untuk sikutnya yang tajam, tak memedulikan bagaimana jeritan seorang Liam yang bahkan memiliki vokal bass mendalam.
"Anjir lo! Belum jadi istri aja udah KDRT duluan!"
Runa pun mendecih. "Siapa juga yang mau jadi istri lo? Geer!"