Lantaran mendapati deringan panggilan yang sejujurnya sengaja ia abaikan belasan kali, pesan singkat yang terbaca lewat notifikasi akhirnya dapat menggegaskan diri meninggalkan unit apartemen dengan kondisi yang sangat apa adanya; sesederhana mungkin; celana bahan selutut dengan kaus kebesaran; yang merupakan setelan piyama lelapnya semalam. Mungkin memang terkesan sangat tidak sopan, tapi peduli apa?
Jujur saja, ini sangat mengganggu waktu serta ketenangannya di akhir minggu. Seharusnya dari semalam, dirinya menonaktifkan ponsel guna menghindari hal-hal luar biasa seperti ini. Bila keesokannya mendapati ceramah khas ibu-ibu sebab terus saja mengabaikan, bilang saja kalau baterainya sudah drop dan terlalu malas mengisi daya, daripada telepon tak diinginkan tetap tersambung dan semakin menyulitkan dirinya dalam mencari berbagai alasan guna menghindar.
Mungkin, ini juga murni kesalahan dirinya, sebab belum berbicara apapun pada ibunya terkait pertemuan kemarin malam, karena tiba-tiba saja ia mendapati...
Calon mertuanya datang!
Ah, maksudnya, mantan calon mertua. Katanya, hanya sang ibunda saja. Namun, hal itu tetap membuat Runa ketar-ketir bercampur kesal sendiri.
Masalah yang paling krusial, bahkan dirinya tak memiliki akses untuk menghubungi pria itu.
Lagipula, kemarin malam, mereka sudah lempar sepakat dan membuat keputusan final; dengan kata lain tak perlu juga saling bertukar nomor ponsel atau media sosial. Keduanya tak lagi memiliki alasan untuk kembali bertemu, kecuali saat ini, yang mencipta pening di ubun-ubun.
Akan tetapi, apa maksud dari mantan calon mertuanya tersebut dengan datang ke kediaman orang tuanya? Bermaksud ingin bertemu dengannya pula tanpa ada pemberitahuan sebelumnya; alias sangat amat dadakan macam tahu bulat abang-abang.
"Ash! Bangke! Woh ay! Setan!"
Ada motor yang menyalip saja sudah semakin menekan angkaranya untuk disembur dalam bentuk kosakata kasar. Kalau saja dirinya tak terburu-buru, pedal bahkan akan terus ia injak untuk mengejar pengemudi tersebut, guna melempar serapah kekesalannya.
Sesampainya di pekarangan rumah, Runa melihat mobil asing yang turut berhenti di sampingnya, yang selanjutnya mengeluarkan penumpangnya dari balik sisi kemudi. Keduanya sempat bersibobrok pandangan kendati kaca film mobilnya cukup gelap.
Setelahnya, sesegera mungkin dirinya keluar dari mobil dan menghampiri si empu mata yang masih tak melepas pandangannya.
"Lo belum bilang ke nyokap lo?!"
Tak lagi peduli dengan tingkat kesopanan kendati si pria lebih tua darinya, langsung saja dirinya menyembur kalimat, yang justru mendapati pandangan dari si lawan jenis yang menatapnya dari atas hingga bawah; sempat terkesima saat melihat bagaimana penampilan si wanita saat ini, yang bahkan tampak seperti anak SMA dengan tubuh mungilnya. Berbeda dengan wanita yang ia temui semalam; kendati manusianya sama.
Tapi, Liam, sungguh, itu sangat tidak penting untuk saat ini.
Si pria menggeleng lemah, agaknya merasa bersalah sebab memang dirinya belum membicarakan apapun pada ibunda. Mengetahui sang bunda mampir ke rumah mantan calon mertua saja baru sekitar puluhan menit yang lalu; alias diberitahu secara dadakan.
Tetapi, bukan berarti tidak akan memberitahu. Hanya saja, memang sebab dirinya sudah memiliki unit apartemen sendiri, Liam tak sempat berbicara dengan sang bunda. Itu pun, dirinya bakal berbicara secara langsung, tak mau via telepon untuk mengurangi kejadian-kejadian yang sangat ia hindari.
Keduanya sama, kan?
"Setan! Gue juga belum ngomong!"
"Ya udah! Ini kesalahan kita berdua!"
"Terus? Ini gimana?!"
Keduanya mencoba mencari solusi sekilat mungkin, berdiskusi dalam pikiran masing-masing untuk mencari titik terang, karena nggak mungkin kembali mengulur-ulur waktu yang dapat membuat kedua mantan calon besan itu memutuskan sesuatu yang sangat bahkan sangat merugikan bagi anak-anak mereka.
"Ya udah, sih! Bilang aja kita berdua nolak. Lo kan juga punya alasan yang valid, kan?"
Runa dengan poin tajamnya memang sangat mudah untuk dicerna. Namun tidak bagi Liam yang harus bergerilya secara halus demi sang bunda.
"Ibu saya punya penyakit jantung."
Runa berkacak pinggang, menukikkan salah satu alisnya; masih setia dengan pandangan senewen khas miliknya. "Terus?"
"Kamu pikir saya mau buat ibu saya masuk ke IGD setelah mendengar anaknya menolak perjodohan ini?"
"Urusannya sama gue apa?" Runa masih kekeuh, kendati dirinya terkesan jahat untuk mengabaikan kesehatan orang lain.
Lagipula, wanita itu sangat benci dengan orang yang tidak memiliki pendirian; semalam berkata apa, pagi ini berkata apa. Dan tanpa membutuhkan penjelasan yang panjang pun, dirinya sudah dan sangat memahami maksud dari kalimat tersirat Liam barusan.
Liam berdecak sebal. Menyatukan isi kepala yang keras seperti wanita di hadapannya ini memang terlalu sulit. Apalagi semalam si wanita sudah mendeklarkan bahwa dirinya memang tak memikiki keinginan untuk menikah. Makin susah, kan?
"Saya boleh minta tolong? Tolong kamu coba untuk terima perjodohan ini dulu. Pelan-pelan, nanti gimana caranya saya akan ngomong ke ibu kalau perjodohan ini nggak bisa dilanjutin."
Panik bercampur resah terefleksi pada dirinya yang menggigit labium terbawah. Harusnya dirinya dapat memprediksi faktor-faktor penghambat dalam menolak perjodohan ini; yang berawalan sangat mulus. Kejadian semalam tampak terlalu fana; tak mungkin semulus itu dalam menolak kekonyolan serta kekolotan orang tua mereka berdua; kendati hidupnya saja selalu memiliki cabang masalah.
"Tapi intinya kita nggak nikah, kan?"
Si pria membisu sejenak; mencipta senyap di antara keduanya. Jujur, banyak pertanyaan yang tercokol dalam pikirannya saat mendengar si wanita yang jelas-jelas mengatakan tidak ingin menikah, baik kemarin malam atau bahkan barusan; seperti menyatakan bahwa memiliki rumah tangga sendiri bukanlah suatu capaian hidup.
Sebegitukah dirinya tidak mau menikah?
Sepertinya, penolakan yang dirinya terima juga bukan perihal kekurangan yang Liam miliki; memangnya, dia memiliki cacat apa?
Menjadi pengusaha muda yang sukses membuatnya sudah cukup mapan dan matang dalam memimpin rumah tangga. Bahkan, si calon istri tak perlu bersusah payah mencari cuan karena Liam mampu menyanggupi bahkan hingga mereka memiliki belasan anak. Sulit untuk menolak pria seperti dirinya; yang ternyata telah mengalami penolakan pertama oleh Runa yang jelas-jelas tak menaruh rasa kagum sedikit pun padanya.
Namun, jika dilihat dari pengalaman wanita itu dalam menolak perjodohan hingga lima kali, dengan dirinya yang dijadikan sebagai baris keenam, sepertinya ini bukan perihal ketidaksempurnaan seorang Liam yang sesungguhnya dirinya sendiri belum mengetahui apa kekurangannya.
Sesungguhnya, pria itu juga tidak peduli dan benar-benar tidak merasa tersinggung dengan penolakan gamblang dari wanita itu; yang keduanya bahkan dari awal sudah memiliki tujuan yang sama; bersepakat untuk tidak melanjutkan rencana kolot para orang tua. Mungkin terkesan tidak sopan atau bahkan durhaka. Hanya saja, memaksakan hal seperti ini... bukankah seorang anak juga memiliki hak untuk memilih? Hak kebebasan?
"Saya jamin enggak. Percaya sama saya."
"Emangnya lo Tuhan?! Musyrik percaya sama lo!"
🔀⏪▶⏩🔁